4. Mirror and Raggedy Ann
Dua sahabat itu masih harus menunggu Lucy untuk menyelesaikan shift-nya. Waktu yang cukup untuk menghabiskan minuman mereka.
Akhirnya, shift wanita itu selesai, Frank dan Lewis membayar minuman mereka. Setelah mereka mengucapkan terima kasih kepada bapak barista berwajah ramah, barulah mereka bersama-sama keluar dari toko.
Di luar gedung, langit tampak berawan. Dan orang-orang masih berlalu-lalang.
"Hmm, baiklah, sebaiknya kita bergegas, sebelum gelap?"
Sang Penulis melempar pandangan ke Lucy. Gadis itu membelakangi mereka. Sama sekali tidak menoleh.
Aneh.
"Uh? Miss Lucy—?"
Deg.
Huh?
Pandangan Frank menggelap sedetik.
Dia berkedip.
Jalanan menghilang.
Apa yang—
Dia sudah tidak ada di depan gedung.
Eh?
Tempat apa ini?!!
Mereka tidak ada lagi di kota yang ramai. Melainkan di sebuah lantai bermotif papan catur tanpa dinding. Udara dan sekitar didominasi warna kemerahan.
Terlihat beberapa benda acak berserakan. Bola, kotak kado, mainan. Semuanya dalam skala yang lebih besar dari di dunia nyata.
"Woah! Tempat apa ini?"
Frank mendesah. Setidaknya Lewis ada di sini bersamanya. Ah, ngomong-ngomong soal yang bersamanya—
"Miss Lucy—?!"
Dengan panik, Frank berbalik.
Matanya membulat.
Tampak gadis berambut merah itu berdiri tidak jauh. Kepala agak menunduk. Tangan terlipat di belakang punggung.
Bukan itu yang membuat Frank terkejut.
Tepat di belakang Lucy, ada sebuah boneka besar. Tubuhnya tampak dibuat dari perca. Menggunakan baju berenda dan memiliki gaya rambut sama dengan Lucy. Dua tangan jingga besar melayang di kanan kirinya.
"Uh, Miss Lucy? Ada apa ini?" tanya Frank ragu.
"Apa yang kalian mau dengan mantan anggota Guild?"
Pertanyaan itu membuat Frank tersentak. "Eh? Apa?"
"Dari organisasi mana kalian?! Apa yang kalian mau dari kami?!"
Frank mengangkat kedua tangannya dalam posisi menyerah. "Ah, Miss! Kupikir anda salah paham—"
"Woah! Apa ini ability-mu?!"
Lewis, tolong jangan sekarang.
"Keren sekali! Ah, apa seluruh tempat ini ability? Boneka itu juga? Wow! Ability kita mirip!"
Hal ini tampak membuat Lucy terlonjak. Dia menatap Lewis seakan kawan Frank yang tidak bisa diam itu menumbuhkan kepala kedua.
Sebelum sang gadis tersadar, tangannya terkibas—
Bersamaan dengan tangan jingga sang boneka menggapai Frank.
"Oh, sialan—"
Frank memekik. Tubuhnya kini tergenggam tangan besar. Kaki menggantung di udara.
"Ms. Lucy! Kita bisa bicara baik-baik—"
"Diam!" Bentak sang gadis. "Sekali lagi kutanya, apa maumu dengan anggota guild?!"
"Kami tidak—"
"Frank!"
Pandangan pria itu menangkap Lewis berlari. Matanya membelalak ketika melihat tangan sang kawan mengeluarkan cermin saku. Jemari sudah menembus permukaan kaca yang seharusnya keras. Seakan hanya menyentuh air.
Dari sana, ability Lewis aktif.
Sebilah pedang ditarik keluar.
Vorpal sword.
"TUNGGU, LEWIS!"
Senjata terayun, mengincar Lucy.
BATS!
Segelondong kain jingga menghalangi. Menghentikan pedang Lewis. Mata Frank semakin melebar.
Tangan yang satunya!
"Hebat! Amazing! Ability-mu sangat menakjubkan, Miss!"
Pujian dari Lewis itu berkoar. Jika tangan Frank tidak terjebak, dia pasti sudah menepuk jidat.
Lewis ini! Kalau soal ability, dia tidak pernah paham waktu dan tempat!
Fran merutuk. Namun, dia bisa melihat sang kawan tersenyum lebar. Seperti dari telinga ke telinga. Dan dia sudah cukup lama mengenal temannya untuk tahu apa arti senyuman itu.
"Sayang, ya?" Lewis terkekeh. Mata cokelat beradu dengan biru milik Lucy.
"Bukan kau saja yang memiliki pocket dimension."
Prediksi Frank benar.
Tangan Lewis bergerak cepat. Mengangkat cerminnya. Bayangan Lucy terpapar disana dan—
Sang gadis hilang.
Dan boneka jatuh. Seperti marionet tanpa tangan.
"Oh wow," gumam Lewis. Melirik ke cermin sakunya. Tipe yang sering digunakan oleh perempuan untuk make-up. Frank ingat dia membeli benda itu di salah satu pasar loak ketika mereka mengunjungi Barcelona beberapa tahun lalu.
"Aku tidak tahu ability-mu bekerja dalam ruangan yang dibuat oleh ability lain," ucap Frank.
"Aku juga tidak!" celetuk Lewis. Senyum merekah di wajah. "You learn something new everyday!"
Frank tertawa kecil. Sudah paham akan binar di mata Lewis. Dia memang selalu bersemangat setiap kali menemukan hal baru. Tetapi, semangat itu bisa berakhir dengan rentet bahasan yang tiada habis. Jadi, Frank memutus sebelum itu dimulai.
"Baiklah, kita tidak boleh membuat seorang lady menunggu, no?"
Cengiran Lewis melebar.
"Tentu!" ucapnya. Riang seperti biasa. Seperti dia tidak baru saja secara impulsif mencoba melawan boneka raksasa.
"Kau boleh pergi duluan, Frankie!"
"Eh—"
Mata Frank beradu dengan wajahnya sendiri di cermin.
Sekedip kemudian—
Dia ada di Wonderland.
***
Seperti biasa, dia bangun di padang rumput.
Ini bukan kali pertama dia masuk dalam ability Lewis. Bisa dibilang, terlalu sering, malah. Kawannya itu terlampau lebih suka menggunakan Wonderland sebagai tempat diskusi daripada bertarung.
Namun, walau Frank terbiasa, Lucy tidak.
Tidak jauh darinya, sang gadis tersungkur. Memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Frank ingat dia juga seperti itu ketika pertama kali digeret Lewis ke dalam dunia cerminnya. Pusing dan mual adalah efek samping normal.
"Oh? Apa dia baik-baik saja?"
Frank mendesah. Mengamati Lucy yang tampak masih linglung, tetapi waspada. Dia lalu menghadap ke Lewis. Tubuh sang kawan sudah bergetar dengan antusiasme. Yang lebih tinggi memijit batang hidungnya.
"Oke, sebelum kau pindah ke mode kutu buku, ayo kita luruskan beberapa hal!" Frank menyela. Dia berpaling ke Lucy yang masih tampak bingung.
"Miss Lucy, percayalah. Kami disini bukan untuk mencari anggota Guild. Kami disini hanya untuk Poe."
"Huh? Kenapa?"
"Poe teman kami. Kami hanya ingin tahu kabarnya. Itu saja!"
Seperti tersadar, gadis itu tampak tersentak pelan. Wajah menunduk dan memerah. Hampir sewarna rambutnya.
"Ah, uh—begitu ternyata," gumam si gadis. "Maaf, aku dulu anggota Guild, dan aku... panik."
"Ketika kalian mencari mantan anggota Guild lain. Kupikir-kami jadi buronan. Atau semacamnya..."
Frank terkekeh kecil. Bagaimanapun, gadis di depannya ini masih muda. Pasti hal-hal berat sudah terjadi di hidupnya, sampai dia harus masuk ke organisasi seperti The Guild.
"Tidak masalah! Kami harusnya menjelaskan lebih banyak soal niat kami juga," balas Lewis. Dia menggaruk rambut cokelat tua di kepalanya.
"Jadi... uh, aku boleh mendokumentasikan ability-mu?" tanyanya.
"Dokumentasi?"
"Ya, ini hobiku. Tenang! Aku tidak akan menyebarkannya!"
Lucy berdehum. Mengelus dagunya. Sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah."
"Oh! Apa kau tidak keberatan menjawab beberapa pertanyaan?"
"Uh, tentu."
***
Mereka berakhir duduk lesehan di padang rumput. Lucy menjawab pertanyaan yang dilemparkan Lewis sebaik mungkin. Sementara Frank hanya bersila dan mendengarkan. Sekali-kali berdehum atau mengangguk.
"Baiklah!" ucap Lewis sembari menutup bukunya. "Sepertinya sudah cukup. Terima kasih banyak, Miss Lucy!"
Setelah buku kembali aman dalam saku, kembali mengeluarkan cerminnya.
"Nah! Saatnya pergi! Pegangan yang erat!"
Kali ini, Lucy dan Frank lebih siap. Ketika mereka membuka mata, mereka sudah kembali berada di dalam ruang buatan ability Lucy.
"Ability anda sangat menarik Miss," puji Frank. Tersenyum simpul. "Ini juga akan jadi revelasi baru untuk sahabatku. Kami tidak tahu kemampuannya bisa dipakai dalam dimensi kantong orang lain! Dia basti sangat senang."
Benar saja, Lewis muncul. Seperti dimuntahkan oleh ke kosongan. Seringai lebar terpatri di wajah. Frank terkekeh dan menggelengkan kepala. Kemudian melirik ke jam tangannya. Jam menunjukkan pukul lima sore. Obrolan mereka tadi memang cukup lama.
"Sepertinya kita harus mencari Edgar besok—"
"Oh, tidak!" Lucy menyela. "Waktu di luar berhenti selama kita di sini. Kita masih punya waktu."
Frank dan Lewis bertukar pandang. Senyum lega menemukan jalan ke wajah mereka berdua.
"Baiklah, semoga kau masih tidak keberatan mengantar kami."
Lucy terkikik kecil. Menutupi mulut dengan tangan. Agak tersipu. Dia memainkan ujung roknya.
"Kalian lihat pintu itu?"
Kedua pria itu menoleh. Memandang pintu putih dengan ornamen dan stained glass cantik yang tadinya tidak berada di sana.
"Pintu itu langsung mengarah ke depan mansion Poe. Aku tadi sudah bilang salah satu aspek abilityku adalah teleportasi."
Sekali lagi, Lewis menggumamkan 'woah'. Frank turut terpana karena kagum.
"Terima kasih banyak, Miss." ucap Frank. Dia mengulurkan tangan. Yang disambut dengan ragu oleh gadis itu.
"Kau sudah mau repot-repot. Sekali lagi, terima kasih."
"Tidak perlu," gumam Lucy. "Aku juga minta maaf lagi. Soal yang tadi..."
"Oh, jangan!" Lewis tertawa. "Kalau kau tidak menarik kami kemari, aku tidak akan tahu kalau kau pengguna ability!"
Lucy tersenyum. Sebelum Lewis dan Frank sempat melangkah keluar. Gadis itu memanggil sekali lagi.
"Ah, Mr. Lewis?"
"Hmm?"
"Anda bilang abilitymu mirip seperti punyaku? Apakah anda—uh, dapat memunculkan... sesuatu juga?"
Mata Lucy tergeret pada boneka tambal sulam raksasa yang ada di dekat mereka. Tampak jinak sekarang. Mirip boneka biasa.
Lewis tertawa kecil. Dia menepuk pundak gadis itu dengan lembut. Mulut tersenyum lebar.
"Ya, Jabberwock dan Jubjub. Tapi sayang mereka tidak seimut raggedy ann milikmu ini."
Wajah Lucy bersemu. Mungkin tidak terbiasa dengan orang memuji ability-nya. Bahkan memanggil itu imut. Memang, hanya Lewis yang bisa mengapresiasi boneka yang hampir melumatnya beberapa jam lalu.
Lewis masih tampak senang. Dia berkata lagi. "Kami beberapa hari di Yokohama. Aku bisa tunjukkan, kalau kau mau?"
Wajah Lucy semakin memerah. Kini ada penasaran juga di wajahnya. Dia mengangguk kecil. Frank dan Lewis melemparkan ekspresi lembut. Mereka mengucapkan sampai jumpa. Sebelum Lewis mendorong pintu terbuka.
"Gadis yang manis," komentar Frank.
Lewis mengangguk setuju. "Dan ability-nya mengagumkan!"
"Kau pikir semua ability mengagumkan, Lewis."
***
"Wah," gumam Frank. "Rumah ini besar juga, ya?"
Baru saja keluar dari pintu Anne's Room-nama ruang ability Lucy tadi-mereka langsung disapa dengan mansion besar dengan gaya klasik. Bisa dibilang, selera Poe sekali.
"Buku Poe memang terkenal, kan? Bayaran di Guild mungkin banyak juga," celetuk Lewis.
Dia melangkah dan menekan bel yang ada di samping pintu. Bunyinya menggema sejenak. Sebelum akhirnya hening.
Dan seseorang berseru dari dalam.
"Tidak ada orang di rumah!"
Frank dan Lewis saling lirik. Bertukar senyuman geli.
Bohongnya cerdas sekali.
"Ayolah!" Lewis akhirnya mengetuk pintu dengan keras. "Kami tahu kau di dalam, Poe!"
Terdengar suara orang terpekik. Diikuti suara desisan. Pasti Karl. Ah, rakun itu memang selalu setia bersama tuannya.
"Poe," kali ini Frank yang memanggil. "Apa kau tidak mau menyapa temanmu? Kami datang dari jauh, lho!"
Diam sebentar.
Suara di dalam menyahut lagi.
"Frank? Lewis?"
"Bugger, menurutmu siapa lagi?" Lewis terkekeh. "Buka pintunya!"
Akhirnya, setelah beberapa saat, pintu kayu besar itu akhirnya berderit dan bergeser.
Baru separuh terbuka, Lewis langsung menerjang dan memeluk tuan rumah yang ada dibaliknya. Membuat Poe nyaris terjengkal.
"Poe! Kami ka~ngen!"
Pria berambut hitam itu tertawa kecil. Membalas pelukannya dengan hangat.
Frank tersenyum. Sementara itu, Karl merangkak mendekati sepatu pria berambut cokelat muda itu. Mengendus sepatunya. Frank membungkuk. Menggendong si rakun ke pelukannya.
"Kami rindu kau juga, Karl."
"Kalian—kalian benar-benar disini," gumam Poe setelah Lewis melepasnya.
Frank tertawa kecil. Memberikan Karl ke Lewis sebelum memberikan pria canggung itu pelukan juga.
"Tentu saja, kami khawatir!" ucap Frank. Ekspresi geli terukir di wajahnya.
"Tetapi, kekhawatiran itu sepertinya tidak perlu, kau tampak kerasan di sini."
"Eh, uh, ya." Poe menggaruk rambutnya. Poni yang menutupi mata membuat kedua sahabat itu tidak tahu si penulis melirik kemana.
"Aku, uhm, bertemu Edogawa Ranpo, jadi—"
"Tunggu? Orang yang kau bilang bisa mengalahkanmu? Yang kau tulis di surat?" tanya Frank. Poe mengangguk kecil. Semburat merah muncul di pipinya.
"Gosh, surat—! Maaf soal itu Frank. Aku pasti terdengar seperti, uh, anak remaja yang naksir kakak kelasnya."
"Pfft, tidak separah itu," ucap Frank. "Jadi... dia temanmu sekarang, huh?"
"Rival!" koreksi Poe.
Pria itu memunduk. Tangannya menggenggam tumpukan kertas yang baru sekarang disadari oleh Frank.
"Aku... hari ini sebenarnya akan berkunjung ke kantornya. Aku ingin tahu pendapat Ranpo-san soal naskah baru ini."
"Ah? Kau menjadikan detektif terhebat di dunia beta-reader-mu?" goda Frank. Menyikut kawannya itu pelan. "Impresif, Edgar."
"Bukan begitu!"
Selagi Poe menggumamkan hal kacau dan tidak jelas, Frank dan Lewis tertawa. Kadang teman introvert mereka yang satu ini sangat gampang digoda.
"Oh!" ucap Lewis tiba-tiba. Mata perak tampak mengerling jenaka.
"Bagaimana kalau kami ikut?"
"E-eh?!"
"Ah, benar! Kami juga ingin bertemu temanmu, Poe. Ini pertama kalinya kau suka rela bertemu seseorang."
"Rival! Dia rivalku!"
"Rival—teman—terserah. Ajak kami juga, Poe!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com