Chào các bạn! Truyen4U chính thức đã quay trở lại rồi đây!^^. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền Truyen4U.Com này nhé! Mãi yêu... ♥

Empat; Perundingan

Seorang wanita berambut hitam panjang membuka pintu. Saat mengetahui yang datang ternyata Seijuro serta Nisha, wanita yang memiliki wajah semirip Nisha itu sangat kegirangan.

"Araa, tepat sekali, aku baru saja berbelanja tahu. Akan Mama buatkan sup tofu untuk pangeran tampan ini."

Sup tofu adalah makanan yang difavoritkan Seijuro. Hubungan mereka memang sudah sedekat ini bingga wanita itu sangat ramah. Tak hanya sosok Nakano Arisa, anggota keluarga yang lain juga begitu. Seijuro diterima dengan baik di sini.

"Aku tidak nafsu makan," tolak Seijuro.

"Eh? Kenapa? Ada masalah dengan Nisha-kun?"

"Bukan dia, tapi ayahku yang bajingan itu."

Peka kalau anak itu tengah dirundung pilu, Arisa pun mempersilakannya masuk, "Masuklah, tenangkan pikiranmu."

Kedua remaja itu memasuki rumah dan duduk di ruang tamu.
Arisa ikut duduk di sebelah Seijuro, lalu mengusap punggungnya dengan lembut.

"Punggungmu tambah besar, ya? Sebentar lagi akan dewasa, lalu menikah dengan Nisha-kun, hahaha."

Seijuro mencoba tersenyum meski hatinya masih sakit. Setelah yang terjadi di hari ini, masa depannys terasa abu-abu. Mungkinkah hubungannya dengan gadis itu terus berlanjut? Entahlah.

Nisha menautkan alisnya, memberi gestur pada sang Ibu kalau jangan membahas itu. Arisa langsung mengerti, lalu mengatur situasi untuk memperjelas masalah ini.

"Kami ke belakang sebentar untuk menyiapkan makan siang, ya? Ayo, Nisha-kun."

Kedua perempuan bermarga Nakano itu meninggalkan ruang tamu, menyisakan Akashi muda yang suasana hatinya masih tidak baik. Pemuda itu menyandarkan tubuhnya di sofa.

"Ada apa ini Nisha-kun?" tanya Arisa penasaran. Tangannya dengan lihai memotong tahu menjadi bentuk dadu. Ucapannya untuk mengajak Nisha tadi sebatas bualan semata. Hanya dirinya yang memasak karena Nisha bisanya cuma mengacau.

"Ayahnya dekat dengan wanita lain. Foto mereka tak sengaja tersebar di twitter, dan itu membuatnya murka. Sei-kun tak sudi wanita itu menggantikan Ibunya."

"Pasti berat sekali di posisinya, tapi Mama akan membuatnya mengerti."

Arisa pun menyelesaikan masakan, senentara Nisha malah memakan buah mangga di kulkas. Saat semuanya sudah matang, mereka mengusungnya ke meja makan. Arisa mengajak Seijuro turut serta.

"Makanlah, Mama sedih loh kalau Sei-kun tak menyentuhnya."

Seijuro pun luluh, ia akhirnya mau ikut bergabung menyantap makan siang. Hanya ada mereka saja di sini. Ayahnya Nisha sedang bekerja, dan Kakaknya masih di kampus.

Saat telah menyelesaikan makan siangnya, Nisha beranjak dari kursi dan membawa mangkuk kotornya. "Aku ke atas dulu."

Sengaja, untuk memberi ruang mereka bicara empat mata.

Arisa pun berbicara pada Seijuro.
"Aku sudah mendengar semuanya dari Nisha-kun. Coba, Mama juga ingin mendengar dari sisimu."

Amarah Seijuro kembali meluap. Pemuda itu menjawab dengan menggebu-gebu.

"Aku sangat kesal. Bisa-bisanya Ayahku dekat dengan wanita lain. Kenapa semudah itu dia menggantikan sosok Ibuku? Aku tak senang. Terlebih aku tak tahu wanita itu seperti apa. Bisa saja dia hanya mengincar kekuasaannya."

Jeda sejenak sebelum Seijuro melanjutkan lagi.

"Dan Mama tahu? Dia membuat kesepakatan yang licik: dia mau menerima hubunganku dengan syarat aku juga harus menerimanya. Dia tahu kelemahanku. Kalau aku menolak, dia juga enggan menerima. Licik sekali, bukan?"

Arisa turut merasa terluka mendengarnya.

Pantas saja Seijuro sangat kesal.

"Sou ka. Lalu, Sei-kun pernah mengobrol dari hati ke hati dengan ayahmu? Seperti yang biasa kita lakukan?"

"Tidak pernah. Obrolan kami hanya seputar pekerjaan, prestasi dan ambisi. Sebelum Ibu meninggal juga tak pernah. Aku lebih dekat dengan Ibuku."

"Mungkin dia gengsi cerita denganmu. Dia tak mau terlihat rapuh di depan anaknya yang jagoan ini."

Arisa mengamit tangan Seijuro, lalu mengusapnya dengan lembut. Seijuro memejamkan mata karena sangat tenang.

"Begini Sei-kun. Ayahmu itu sudah lama hidup dalam kesendirian. Dia butuh rumah dan tempat berbagi cerita. Di usianya yang sekarang, dia sangat butuh teman hidup yang bisa memahaminya. Mungkin wanita itu yang sanggup melakukannya."

"Psikolog juga bisa begitu."

"Tentu beda, Sei-kun." Arisa pun bertanya, "Setelah mengenal Nisha-kun dan keluarga ini, seberapa sering Sei-kun mengunjungi psikolog?"

Seijuro merenung sejenak.

"... Sudah sangat jarang."

"Itulah perbedaannya. Kalau sudah menemukan sosok yang bisa dijadikan rumah, untuk apa repot-repot membuat janji temu dengan psikolog? Ayahmu itu orang yang hebat dan pintar. Mama yakin, dia takkan salah memilih wanita untuk melanjutkan hidupnya. Di atas sana, Ibumu juga pasti sedih kalau ayahmu selalu memendam sendiri sampai sesak."

"Tapi tetap saja ... aku tidak bisa."

Arisa melepas genggaman tangan itu, lalu melepas cincin kawinnya dengan Nakano Hikaru. Setelah itu, Arisa menunjukkan jarinya yang kosong.

"Anggaplah kalau Mama bukan bagian keluarga Nakano. Bagaimana kalau Mama yang di posisi wanita itu? Sei-kun mau terima sosok Kurokawa Arisa atau tidak?"

"Kalau itu, aku bisa terima dengan lapang dada," jawab Seijuro tanpa pikir panjang. Siapa pula yang tak mau Ibu seperti Arisa?

Arisa terkekeh.

"Kenapa kau malah menerimaku semudah itu? Padahal posisinya aku wanita lain juga, bukan Ibunya kekasihmu."

"Karena sosok Mama Arisa nyaris sama seperti Ibuku."

Arisa mengangguk paham.

"Kesimpulannya, Sei-kun hanya butuh waktu untuk mengenal wanita itu lebih dalam. Kalau ternyata dia sama seperti Ibumu, kau bisa menerimanya."

"Tapi-"

"Pulanglah dan renungkan nasihat Mama. Sadarlah kalau ayahmu menyetujui hubungan kalian karena mengharap balasan. Kalau kau tidak menyetujui hubungannya, dia juga tak akan setuju dengan Nisha-kun. Pilihannya antara keegoisanmu atau cintamu."

"Sekarang aku sudah tak peduli lagi dengan Ayah. Aku bisa melakukan apa saja, termasuk menentang-"

Oh, cukup. Arisa tak mau putrinya terjebak dalam situasi itu.

"Jauhi Nisha-kun sampai keluargamu benar-benar bisa menerimanya dengan baik."

✨⭐✨

Berkat ancaman Arisa, Akashi Seijuro harus rela membuang keegoisannya. Maka, di malam ini ia menemui ayahnya di kamar.

"Aku ingin bicara."

Walau masih jengkel karena masalah beberapa hari lalu, Masaomi tetap mendengarkan putranya. Mungkin saja yang dikatakan Nisha benar: Seijuro pasti mau mendengarkan Ibunya.

Kedua orang berambut merah itu duduk di sofa. Dengan kamar yang begitu luasnya, sudah tak heran jika benda itu ada di kamar tidur.

"Apa kau bisa memegang ucapanmu? Kau benar-benar tak akan mengusik hubunganku kalau aku menerima wanita itu?" tanya Seijuro, menuntut kepastian.

"Aku tak pernah ingkar dengan kata-kataku. Satu lagi, dia punya nama: Hoshinori."

Seijuro terdiam cukup lama lalu menjawab dengan tekad yang bulat. "Baiklah, aku setuju dengan kesepakatan itu."

"Kau melakukan ini demi gadis itu seorang?" Masaomi tak habis pikir. Dia kira, Seijuro tetap akan keras hati hingga napas terakhirnya.

"Tentu saja."

Sudut bibir Masaomi mengurva.

"Kita ini sama, Seijuro." Masaomi memandang langit kamarnya.
"Ya, kita sama-sama merahasiakan hubungan karena takut ditentang. Padahal solusinya mudah, kita hanya harus saling belajar menerima."

Seijuro ikut memandang langit. Suasana di sana sangat senyap dalam waktu yang lama, hanya ada detakan jarum jam yang berbunyi. Pada akhirnya, Seijuro yang memecah hening.

"Soal waktu itu, maafkan aku, Otou-san."

Disaksikan oleh rembulan yang terang dari balik jendela, kedua lelaki yang menyandang itu pun berpelukan sebagai simbol permintaan maaf. Imajiner Shiori muncul dengan tersenyum, lalu menghilang lagi.

"Beberapa hari lalu, aku bermimpi bertemu Ibumu."

Seijuro menyimak dengan saksama. Sebab, segala hal tentang Ibunya membuatnya bahagia.

"Dia bilang, tak masalah kalau aku melanjutkan hidupku, dia malah senang. Namun, di kehidupan selanjutnya dia berjanji kalau kami takkan terpisah lagi."

Kalimat itu terdengar seperti karangan fiktif belaka. Namun, karena dirinya juga pernah didatangi sosok Shiori di mimpi, Seijuro jadi percaya. Terlebih lagi saat mengingat nasihat Arisa yang mengatakan Ayahnya sangat butuh teman hidup.

"Karena kedatangannya pula, aku mulai belajar untuk menerima kekasihmu dengan sepenuh hati. Dia tahu kalau Nakano Nisha sangat mengubah hidupmu ke arah lebih baik. Dia berpesan: semoga kau selalu bahagia dan Ibunya selalu sayang padanya. Percaya atau tidak, itu pesannya padaku."

Seijuro membuka ponselnya, menampilkan layar kunci yang bergambar lukisan semi realis dirinya bersama sang Ibunda. Saat melihat lukisan itu, hatinya terasa hangat. Lukisan itu seperti punya magis.

"Apa kau tahu lukisan yang sangat kau sayangi itu karya siapa?"

Seijuro menggeleng.

"Suka tidak suka, itu adalah lukisan Shii."

✨⭐✨

Setelah berunding dengan berbagai pihak, Akashi Seijuro akhirnya hisa berpikir jernih. Hari ini, ia meminta maaf dengan Shii dengan agenda makan malam bersama di mansionnya. Tak hanya mereka, Nakano Nisha juga turut serta diundang.

Sebenarnya Shii takut untuk bertemu Seijuro lagi. Namun, setelah diyakinkan Masaomi, wanita itu pun setuju.

Dua perempuan yang kelak akan menjadi Nyonya rumah ini terduduk di ruang tamu. Jika biasanya laki-laki yang menunggu perempuan, maka di sini malah sebaliknya. Kedua Akashi itu ingin tampil dengan maksimal tanpa celah.

"Jadi, nama tante Shii, ya?" Nisha mencoba mengakrabkan diri.

"Iya. Kalau namamu?"

"Nakano Nisha desu. Panggil depan atau marga tak masalah, tapi aku lebih suka -kun."

"Baiklah, Nisha-kun."

"Awalnya kukira nama tante itu Salmon. Soalnya mata dan rambutmu seperti Salmon. Pffttt." Nisha membungkam mulutnya sendiri. Lalu meminta maaf, "Aaaa, gomen, gomen."

"Kau sangat lucu, ya?" Mendengar suara langkah kaki, Shii pun berbisik pada Nisha, "Pstt. Mereka sudah datang."

Setelah dua pasangan itu beetemu, suasananya jadi sangat canggung. Kencan ganda adalah hal yang menyenangkan jika dilakukan teman seumuran. Namun, kalau bersama orang tua ... situasi ini sangat aneh.

Apa yang harus dilakukan?

Memuji penampilan? Coret.

Kedua Akashi itu hanya berani di belakang, tapi sama-sama gengsi jika di depan orang lain.

Masaomi yang lelah dengan kebisuan ini pun memimpin. "Mari ke meja makan, semuanya sudah disiapkan."

Kedua pasangan itu pun berkumpul di satu meja makan. Saat menyadari bahwa di antara hidangan itu ada daging Salmon, Nisha menahan diri untuk tidak tertawa.

"Kenapa?" Seijuro yang berada tepat di depan Nisha melihat jelas bahwa gadisnya itu menahan tawa.

"Tidak ada, Sei," elak Nisha.

"Ada apa, Nakano-san?" Gantian Masaomi yang bertanya karena penasaran.

Karena Masaomi bertanya dengan suara berat dan dingin begitu, Nisha bergidik ngeri. Nisha masih belum terbiasa dengan pria itu.

"Daging Salmon itu. Dia mengatakan daging Salmon mirip denganku," jelas Shii. Wajah Nisha mendadak pusat pasi.

Masaomi memandang daging ikan Salmon dan rambut Shii secara bergantian.

"Kurasa memang iya," kata Masaomi, ikut-ikutan meledek.

"Maaf, aku jadi tidak tega mengambilnya."

Perkataan Nisha membuat semua orang di sana tertawa. Walau tawanya masih tidak begitu lepas dan terbahak, tapi suasana meja makan ini kembali jadi hangat setelah sekian lama. Masaomi berharap akan selalu seperti ini.

Mereka pun menikmati hidangan dengan perasaan bahagia dan tidak canggung lagi. Bahkan, kedua pasangan itu saling suap-suapan.

Setelah sesi makan malam selesai, Seijuro berbicara dengan Shii.

"Hoshinori-san."

"I-iya?" sahut Shii dengan gugup.

"Bisa bicara empat mata saja?"

Shii sangat gugup, tapi Masaomi meyakinkannya dengan gestur mengangguk. Wanita itu pun setuju. "Baiklah."

Keduanya pun pergi ke luar. Seijuro mengajak Shii ke taman, menikmati angin malam yang menyejukkan.

"Soal perkataan kasarku tempo hari, aku minta maaf," ucap Seijuro dengan setulusnya.

"Tak masalah." Shii menerima maafnya dengan hati yang lapang.
"Ada di posisimu tidak mudah. Maafkan aku karena hadir di antara kalian."

"Tak perlu menyalahkan dirimu. Kau hanya perlu menjadi teman hidup yang baik untuk ayah."

Shii mengangguk dengan canggung.

"Kau ... pelukis yang menggambar aku dengan Ibuku?"

"Itu benar."

"Kalau kau sudah resmi menjadi Nyonya rumah ini." Seijuro menggantung ucapannya untuk beberapa saat karena sangat malu.
"... Bisakah kau buatkan sebuah galeri dengan lukisanmu untukku?"

Shii mengangguk dan tersenyum.

"Tentu saja."

Sementara yang masih di dalam juga turut bicara empat mata.

"Nakano-san," panggil Masaomi.

"I-ya?" jawab Nisha dengan sangat gugup persis seperti Shii.

"Buatlah rumah ini selalu hangat."

Nisha mengukir senyum terbaiknya. "Tentu. Dan terima kasih sudah menerimaku, aku sangat bahagia."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com