Chào các bạn! Truyen4U chính thức đã quay trở lại rồi đây!^^. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền Truyen4U.Com này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10

Benar saja, pada pagi hari, seseorang sudah mengetuk pintu kamar Reina. Si gadis yang masih setengah sadar harus terseok-seok berjalan untuk membukanya.

Harusnya dia tidak terkejut melihat Gojo yang berdiri di depan sana.

"Loh? Kau belum siap-siap?"

"Siap... siap?"

Gojo mengangguk. "Reina-chan, aku sudah bilang, hari ini kau harus pergi."

"Kemana?" tanya Reina. Suaranya masih pekat dengan kantuk. "Dan yang lain mana?"

"Yang lain tidak ikut," kata Gojo santai. "Hanya kau sendiri kali ini."

"Lalu, kemananya?"

Gojo tersenyum.

"Itu kejutan~!"

Dia mencubit pipi Reina. Gadis itu bahkan terlalu lelah untuk merasa malu. Dia memukul tangan Gojo menjauh. Menggerutu di balik napasnya. Wajah merengut.

Sang guru tertawa. "Bersemangatlah sedikit Reina-chan! Nah, kau siap-siap dulu. Aku tunggu di depan, ya!"

Dengan itu, si pria albino langsung melengos pergi.

Reina hanya bisa mendesah. Gojo memang seenaknya. Tapi toh, dia masih murid yang baik dan tidak akan melawan perintah guru. Jadi, dia segera beranjak. Semoga cuci muka bisa membuatnya bangun.

***

Angin pagi di sekolah cukup sejuk. Tangan Reina masuk dalam saku jaket agar tetap hangat. Mereka memang di daerah pegunungan, jadi wajar kalau udaranya dingin. Apalagi pada pagi seperti ini.

Reina menemui Gojo di depan gerbang masuk. Di sana tampak juga Ijichi yang berdiri dengan canggung. Sepertinya agak sedikit gugup.

"Ah, Itu dia! Reina-chan~!" Pria berpenutup mata melambaikan tangan. Reina mendekat sembari tersenyum kecil melihat antusiasme guru itu.

"Wah, kau bahkan sudah dapat seragam. Yaga-sensei cepat juga!" ucap Pria itu.

Reina menunduk melihat pakaian yang dia kenakan. Di bawah jaketnya, ada seragam hitam SMK Jujutsu. Kerahnya tinggi. Dengan kancing insignia sekolah yang terlihat berkilat. Bajunya lengkap dengan rok hitam dan stoking abu-abu.

Syukurlah kode pakaian SMK Jujutsu tidak ketat. Jadi dia masih bisa memakai jaket. Dan dia dengan senang hati mengucapkan selamat tinggal pada dasi SMA Tunas Terpadu yang ruwet.

"Yeah, ini tidak buruk..." gumam Reina. Dia kembali mengangkat kepalanya. Kemudian menoleh ke Ijichi.

"Senang bertemu denganmu lagi, Ijichi-san."

"Tentu saja Kamiya—ah, maksudku, Reina-sama," ucapnya. "Apa-apa kita berangkat sekarang?"

Bibir Reina manyun. "Aku masih belum tau kita akan kemana—"

"Iya. Kita berangkat sekarang!" sela Gojo. Dia mulai mendorong punggung Reina ke arah mobil terparkir. Anak perempuan itu menyerukan protes.

"Tapi—!"

"Sudah kubilang, Reina-chan. Ini Ke-ju-tan!"

***

Tidak banyak percakapan dalam perjalanan. Gojo dan Reina duduk di kursi penumpang. Masing-masing dekat jendela. Sang gadis sendiri sibuk terpaku. Larut dalam obrolannya dengan Resi.

<Menurutmu kita akan melakukan apa?>

<Memburu kutukan?>

<Secepat ini?>

<Bah, kau berbicara seperti kau tidak bisa mengatasinya.>

<Heh, aku bisa. Tetapi—>

"Mengobrol dengannya lagi?"

Suara Gojo membuat Reina menoleh. Wajah sang guru menatapnya. Entah sudah berapa lama orang itu memperhatikan.

"Ah, iya," ucap Reina meringis. Gojo tersenyum.

"Jadi... kalian kenal sejak kapan?"

"Huh?"

Reina menunduk. Menggaruk belakang lehernya. "Sekitar... saat aku lima tahun? Enam? Aku tidak yakin pastinya."

Gojo memiringkan kepalanya. Seperti kucing putih besar yang penasaran.

"Oh?"

"Yeah." Reina mendesah. "Masa kecilku agak kabur. Aku sering sakit. Bisa melihat roh kutukan juga tidak membantu."

Anak itu melemparkan pandangan keluar jendela. Melihat mobil-mobil lain yang melintas di jalanan sekitar mereka.

"Apa kau ingat bagaimana kau berakhir menjadi wadah?" tanya Gojo lagi. "Ada semacam-janji? Mungkin?"

"Aku ingat suaranya yang muncul tiba-tiba. Hanya itu."

"Jadi kau tidak ingat banyak, ya?" Sang guru menyandarkan punggung pada kursi.

"Menarik."

Reina tidak tahu harus menanggapi apa. Jadi, dia hanya membuang pandangan keluar jendela. Memperhatikan mobil yang semakin sedikit. Begitu juga jalan yang semakin sempit. Sepertinya mereka masuk area pegunungan lagi.

Selang beberapa menit kemudian, Ijichi menghentikan mobil. Dia menengok ke belakang.

"Kita sudah sampai."

Reina dan Gojo turun. Sang gadis memperhatikan lingkungan itu. Benar, mereka berada di area hutan. Mirip dengan yang mengelilingi daerah sekitar SMK Jujutsu.

Tapi, apa yang mau kita lakukan disini?

"Bagus, kalian sudah sampai."

Reina berbalik. Matanya bersinar senang ketika melihat siapa yang datang. Ismawan berjalan mendekat dengan tersenyum kecil.

"Kakek Buyut!" sambut si gadis. Dia beranjak dan mencium tangan kakeknya itu. Ismawan tertawa dan menepuk kepala cicitnya.

"Pagi juga, Reina." Sang kakek menyapa balik. Sebelum dia memberikan fokus ke Gojo. "Terima kasih sudah mau mengantarnya, Satoru-kun."

"Tidak masalah, Ismawan-san!" Gojo mengibas tangannya. "Aku juga harus pergi mengurus hal lain."

Eh? Batin Reina. Kupikir aku di sini untuk diajari oleh dia atau semacamnya.

"Kalau begitu, aku pergi dulu!" Gojo melambaikan tangan. Berjalan kembali ke mobil. Ada senyum lebar di wajahnya.

"Semoga berhasil, kalian berdua!"

Berhasil?

Reina melirik ke Kakek Buyutnya. Meminta penjelasan. Namun, Ismawan hanya mendesah panjang.

"Sebaiknya kita pergi sekarang," ucap orang tua itu. "Jalannya jauh."

Sang kakek mendahului Reina memasuki tirai pepohonan. Cicitnya tersentak sejenak sebelum berlari kecil untuk mengikuti.

Mereka berdua berjalan diantara pohon. Sampai menemukan sebuah tangga yang tampak diukir di salah satu sisi bukit.

"Jadi...," ucap Reina sembari mendaki tangga. Masih disamping kakeknya. "Kita sebenarnya mau kemana?"

"Satoru-kun tidak memberitahumu?" tanya Ismawan balik.

Reina menggelengkan kepala. "Dia bilang ini kejutan."

Ismawan terkekeh kecil. Tentu tipe orang seperti dia akan mengatakan hal semacam itu.

"Yah, kalau begitu," ucap sang kakek. "Kau tinggal tunggu sampai ke atas agar tahu."

Sang gadis merengut. Akan tetapi tetap patuh menaiki anak tangga satu persatu. Kepalanya tengadah. Bertanya-tanya seberapa panjangnya tangga itu. Sebelum akhirnya terdistraksi oleh tumbuhan dan hewan kecil disekitar.

Otak penyuka biologi Reina mulai menebak nama latin mereka.

***

Mendung yang menggantung menutupi sinar matahari saat mereka sampai di atas. Kaki Reina terasa pegal. Benar kata Ismawan, perjalanan mereka agak jauh.

Dan yang menunggu di atas membuat Reina terbelalak.

Ada sebuah rumah besar dengan halaman dan taman luas disana. Memiliki arsitektur khas jepang. Lengkap dengan atap melengkung dan penyangga yang mengangkatnya.

Sangat apik dan menawan. Seperti yang Reina sering lihat di foto-foto estetik blog jalan-jalan.

Ismawan tertawa kecil melihat reaksi cucu buyutnya. "Selamat datang-"

"Di rumah utama Klan Kamiya."

Kata-kata Gojo malam sebelumnya terbesit.

Sudah waktunya darah Kamiya kembali ke rumah mereka.

"Kek, ini bukan rumah," bisik Reina yang masih terpana. "Ini mansion!"

Kemudian gadis itu tersadar.

"Tadi Kakek Buyut bilang 'utama'?"

"Yaa..." Ismawan menggaruk kepala berubannya. "Keluarga Kamiya itu... cukup kaya."

Alis Reina naik mendengar itu. Pandangannya menyelidik Ismawan yang tertawa canggung.

"Jadi, Kakek Buyut itu trust fund baby?"

"Menyebutnya jangan begitu juga, kan?" ucap Ismawan geli. "Lagipula, itu berarti warisan keluarga ini milikmu juga."

Rahang bawah Reina jatuh terperangah. Belum sempat dia mengatakan apapun, terdengar suara langkah kaki.

Mereka menoleh. Tampak dua orang berjalan mendekat. Yang satu orang tua. Dengan rambut putih dan kulit keriput. Walaupun begitu, masih tampak tegap seperti Ismawan. Dia diikuti oleh seorang wanita muda dengan rambut terkepang. Sepertinya seumuran dengan Reina.

"Selamat datang kembali, Kamiya-sama."

Pria tua itu menunduk. Melewatkan muka Ismawan yang berjengit mendengar nama itu. Reina sendiri hanya berdiri dengan heran di samping kakek buyutnya.

Setelah pria itu bangkit, dia memperkenalkan diri.

"Nama saya Aoki Chiasa." Dia kemudian memberikan gestur ke anak perempuan di belakangnya. "Ini cucuku, Aoki Yuko."

Mata Ismawan terbelalak memandang mereka. Sebelum ekspresi itu larut. Membentuk raut muka sedih.

"Kau... anak laki-laki Masanori?"

Chiasa mengangguk. Tersenyum kecil. "Benar sekali. Ayah selalu banyak bercerita tentang anda. Begitu juga dengan petualangan kalian."

Sang Kakek tertawa kecil. Tawanya itu... basah. Seperti menahan tangis.

"Tentu saja, dasar Masanori," bisik Ismawan. Sang kakek tampak ragu soal pertanyaan berikutnya.

"Apa dia...?"

Wajah Chiasa tampak murung. "Beliau meninggal beberapa tahun lalu."

Napas Ismawan tercekat mendengar itu. Sebelum akhirnya mendesah panjang.

"Aku tidak tahu aku berharap apa," gumamnya. "Mungkin, ada baiknya jika dulu aku tetap tinggal."

"Tidak, Kamiya-sama." Chiasa menggeleng.

"Ayahku malah senang saat kau tidak kembali, Kamiya-sama. Dia senang karena kau bebas." Pria itu tersenyum. "Dan dia tidak pernah percaya kalau kau mati. Ternyata dia benar."

Ismawan tertawa. Dia bahkan tidak meralat julukan lamanya.

Belum.

Reina sendiri hanya menyimak percakapan itu dengan bingung.

Untung saja, akhirnya kakek buyut itu sadar kalau sang cicit masih di sini. Dia mengelus kepala Reina yang dari tadi berdiri disampingnya.

"Reina, Keluarga Aoki ini adalah Perisai Keluarga Kamiya."

"Perisai?"

"Benar," ucap Chiasa. "Dulu sekali, leluhur Kamiya membantu leluhur kami. Jadi, keluarga kami bersumpah untuk selalu membantu keluarga kalian."

Ah, tradisional sekali.

Reina mengangguk-angguk. Lalu memasang senyuman ramah. "Salam kenal."

Chiasa menunduk lagi. "Dan anda... Kamiya Reina, bukan?"

"Reina Pratama Wulandari," ralat Ismawan. Kemudian mendengus kecil.

"Kalian bisa panggil dia Reina. Dan aku Ismawan," ucapnya. "Kami memang Kamiya. Tetapi kami tidak dipanggil dengan nama itu."

Reina tersenyum.

Prediksinya benar, kan?

"Uh, jadi... kenapa kita di sini?" tanya Reina.

"Oh?" Chiasa melempar pandangannya pada Rumah Kamiya di kejauhan. Awan mendung di atasnya tampak semakin pekat.

"Untuk bersih-bersih."

"Bersih—?"

"Sejak aku pergi," ucap Ismawan. "Tidak ada lagi pewaris Kamiya yang menempati tempat ini. Rumah ini jadi terbengkalai."

"Benar, kami berusaha menjaga setiap properti Kamiya. Tetapi tidak semuanya mudah dilakukan," sahut Chiasa.

"Salah satunya Rumah Utama ini. Karena, yah, lokasinya."

"Masalahnya, kemudian ada rumor yang menyebar." Cucu Chiasa-Yuko-yang sedari tadi diam ikut angkat bicara.

"Rumah angker, rumah hantu di atas gunung, banyak sekali julukannya," terang anak itu. "Jadi... banyak ketakutan yang diarahkan ke rumah ini."

Reina memandang perempuan berambut cokelat itu dengan lekat. Bisa tahu kemana arah kalimatnya.

Ketakutan adalah energi negatif.

Itu artinya...

Terdengar suara lolongan teredam dari arah rumah. Keempat kepala spontan langsung menoleh.

"Roh Kutukan."

***

Awan abu-abu gelap membuat gedung Sekolah Reformasi Eishuu terlihat jauh lebih mengerikan.

Itadori, Kugisaki, dan Fushiguro baru saja mendapatkan keterangan mengenai misi mereka kali ini dari Ijichi.

Sebuah Janin Terkutuk.

Memiliki potensi untuk menjadi Kutukan Tingkat Tinggi.

Seharusnya, Penyihir sekelas Gojo yang menghadapi ancaman sebesar itu.

Bukan anak-anak kelas satu

"Sayangnya, kita memang kekurangan pekerja," ucap Ijichi. "Kalian akan sering menerima misi yang di luar kemampuan kalian."

"Tunggu dulu." Kugisaki menyela.

"Kalau anak-anak kelas satu yang harus mengurus ini. Dimana Reina? Dia anak kelas satu juga, kan?"

Ijichi mengangguk. "Benar. Namun, dia memiliki misi lain kali ini. Menyangkut keluarganya."

Ketiga anak itu berpandangan. Mereka ingat Reina berkata bahwa dia seorang Kamiya. Bukan keluarga biasa dalam Dunia Jujutsu.

Ijichi membenarkan posisi kacamatanya. Dia melanjutkan. "Seperti yang aku bilang tadi. Kalian mungkin memang tidak cocok untuk ini. Hanya saja, kali ini adalah kasus darurat dan tak wajar."

"Bagaimanapun, kalian tidak boleh bertarung." Wajah pria itu serius.

"Pilihan kalian saat menghadapi tingkat khusus hanyalah kabur atau mati."

Itadori dan Kugisaki tersentak mendengar itu. Sementara Fushiguro memasang muka datar.

Memang kenyataan yang pahit.

Tetapi mau bagaimana lagi. Itu logis.

Ijichi menjelaskan bahwa yang paling penting adalah keselamatan warga. Jadi itulah yang menjadi prioritas mereka.

Semoga semuanya berakhir baik-baik saja.

***

Ketika pertama masuk ke rumah. Mereka tahu tempat itu sudah menjadi sarang kutukan. Rasanya ironis sekali. Rumah Penyihir Jujutsu malah menjadi tempat para monster berkumpul.

"Sepertinya kebanyakan hanya tingkat tiga dan empat," ucap Chiasa.

"Tetapi dengan banyaknya... mungkin akan agak merepotkan."

Reina mengangguk. Mengingat insiden pasukan tengkorak Gayatri waktu di hotel. Konsepnya sama.

Musuh lemah, tetapi keroyokan.

"Kalau begitu, kita berpencar." Ismawan memutuskan. "Chiasa, kau denganku."

Kemudian kakek itu menoleh. Melirik ke dua orang anak perempuan yang ada di sana.

"Reina dan Yuko, kalian tidak keberatan berdua?"

Kedua gadis itu berpandangan sejenak. Kemudian kembali menatap Ismawan dan mengangguk. Dia tersenyum.

"Baiklah. Hati-hati, kalian berdua."

Ismawan dan Chiasi berjalan ke lorong di kiri. Sementara itu, Reina dan Yuko berjalan ke lorong sebaliknya.

Mata mereka mengamati sekitar dengan teliti. Aura pekat memenuhi udara. Reina bisa merasakan ikatannya dengan Resi bergetar. Kutukan itu juga siap.

Tetapi, sebelum itu—

"Jadi, Aoki-san—"

"Yuko," ralat anak perempuan itu. Reina menoleh. Melihat mata abu-abu Yuko mengerling.

"Ada dua Aoki-san di sini, nanti membingungkan," tambahnya geli. "Lagipula, dengan ini lebih adil, kan? Reina-sama?"

Hati Reina menjadi sedikit lega. Yuko sepertinya seseorang yang akan mudah diajak bicara.

"Baiklah, Yuko-san," kata gadis itu. "Uh, boleh aku tahu teknik kutukanmu?"

"Ah, tentu!" ucapnya. Dia berdehem.

"Teknik keluarga bisa Aoki bekerja dua arah." Yuko mengangkat dua jari.

"Sebagai racun atau obat."

Dia merogoh tas pinggang yang dia kenakan. Menarik sebuah jarum.

"Aku bisa menyalurkan energi kutukan ke jarum-jarum ini," jelasnya. "Dan mereka akan bersifat racun bagi roh kutukan."

"Namun di sisi lain," lanjut Yuko. "Kami bisa menggunakan energi kutukan untuk penyembuhan!"

Mata Reina membelalak. Dia belum pernah mendengar ada yang seperti itu.

"Sungguh? Ada cara aplikasi energi kutukan yang seperti itu?"

Yuko mengangguk-angguk. "Ya! Bahkan, salah satu staff di SMK Jujutsu bisa melakukannya. Shoko Ieiri. Kau sudah bertemu?"

"Ah, belum." Reina menggaruk kepala.

"Aku baru pindah kemarin, jadi—ah!" Gadis itu menjentikkan jari. Yuko menelengkan kepala.

"Kita seumuran, kan, Yuko-san? Kau tidak masuk SMK Jujutsu?"

"Oh, tidak." Yuko mengibaskan tangannya. "Aku homeschooling. Itu karena aku harus menyempurnakan teknikku juga."

Gadis yang satunya berdehum. Pandangan kembali terlempar pada lorong berlantai kayu di depan mereka.

"Teknik kutukan benar-benar menarik, ya?" gumamnya. "Aku penasaran seperti apa milik Kamiya."

Mereka berjalan beriringan di lorong. Yuko memandangnya sebentar.

"Tapi... bukankah kau seorang Kamiya?"

"Yeah, secara teknis." Reina menggaruk kepala. "Tetapi, selama ini aku mengandalkan teknik Resi."

<Yang berarti teknikmu juga, Rei.>

Si gadis terkekeh kecil mendengar celetukan roh itu. Pandangan Yuko belum beralih darinya.

"Jadi, kau benar-benar seorang wadah, huh?"

"Yep. Kenapa kalian suka sekali mengulangnya-"

Ada bayangan melesat di ujung lorong.

"Oh." Reina memanifestasikan kerisnya.

"Ketemu satu."

Yuko menyeringai. Mengambil lebih banyak jarum dari tasnya. Kemudian menoleh ke Reina dengan senyum lebar.

"Mau lihat siapa yang bisa membasmi lebih banyak?"

"Ha! You're on!"

***

Waktu berjalan cepat selagi Yuko dan Reina berlarian dari ruang ke ruang dan menebas—menusuk, kalau dalam kasus Yuko—sebanyak mungkin roh kutukan yang mereka bisa.

Benar kata Chiasa, hanya ada tingkat tiga dan empat. Jadi, mereka berdua tidak perlu repot untuk melawan mereka.

Reina menarik kerisnya yang tertancap pada kepala salah satu makhluk itu. Di belakangnya, kutukan lain tumbang karena jarum Yuko.

"Dengan ini, aku sebelas!" celetuk Reina. Yuko terkekeh.

"Kita seri kalau begitu."

Mereka berdua terkikik kecil. Kemudian melihat ke sekitar. Memastikan tidak ada yang tersisa di tempat itu.

"Sepertinya sudah. Mungkin kita harus kembali ke Kakek Bu-"

Ucapan Reina berhenti.

Aura di udara memekat. Ikatan yang dia punya dengan Resi turut berdenyar.

<Sial, tidak lagi.>

<Kau merasakannya juga huh?>

<Setidaknya yang kali ini... normal. Lebih natural.>

<Tidak ada hubungan, kalau begitu.>

<Yah, semoga.>

"Reina-sama?" tanya gadis yang lain pelan. "Apa—?"

"Yuko." Reina menyela.

"Kau yakin yang ada di sini hanya tingkat tiga dan empat?"

***
.
.
.
.
.
.
.

A.N. :
Aku mau membuat Junpei hidup, I really do.

Dia karakter yang menarik. Aku ingin coba menulisnya. Namun, di sisi lain, kematiannya itu semacam salah satu turning point untuk Yuuji. Duh, dilema.

Menurut kalian author harus bagaimana?

Anyway, maaf kalau chapter ini tidak terlalu memuaskan. Komentar, saran, vote, semuanya diapresiasi.

Thank you for reading! :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com