Chapter 11
"Sebelah sini!"
Reina dan Yuko berlari menelusuri lorong. Sampai ke sebuah ruangan dengan pintu geser yang sudah hancur.
Dua gadis itu berusaha mengintip ke dalam. Dengan masih menjaga jarak aman sehingga tidak memberi tahu posisi mereka.
Pemandangan yang terlihat tentu tidak menyenangkan.
Roh kutukan berdiri di tengah ruangan yang hancur.
Bentuknya mirip manusia bercampur kadal. Bersisik. Dengan ekor, kepala bermoncong, dan lidah bercabang yang mendesis. Serta tiga pasang mata kuning menyala—
—Yang kini menatap mereka.
"REINA-SAMA! AWAS!"
Yuko menarik Reina. Tepat sebelum si kadal menerjang. Alhasil, dia menubruk tembok di belakang mereka. Membuat peot besar di sana.
Roh kutukan itu menggeram keras. Reina dan Yuko otomatis mundur. Membuat jarak antara mereka. Yuko melempar jarumnya.
Thwack!
Kulit sisik si kutukan kadal terlalu keras untuk ditembus.
Sekarang monster itu marah.
Dan berlari ke arah mereka.
"Dia datang!" pekik Reina. Bersiap menghindar.
Akan tetapi—
CLACK!
Sesuatu meluncur diantara Reina dan Yuko. Mengenai kepala sang monster. Membuatnya meraung dan terpental mundur. Mata Reina menyipit melihat benda yang menancap di dahi monster itu.
Belati?
"Cih? Itu masih hidup?"
Dua gadis itu berbalik. Melihat siapa yang datang.
"Kakek!"
"Kakek Buyut!"
Chiasa tersenyum. Tangan kanan menggenggam belati serupa dengan yang menyerang kutukan itu. Ismawan mengikuti di belakang. Kemudian menepuk pundak kakek yang satunya.
"Kerja bagus, Chiasa-kun," ucapnya. "Sekarang, serahkan padaku."
Dia melirik ke Reina. Tersenyum simpul.
"Perhatikan baik-baik, Permata Kecil."
"Tunggu—!"
Tangan Chiasa menahan Reina untuk mengejar Ismawan. Yang berjalan tenang menuju kutukan feral di depannya.
"Tenang Reina-sama," ucap orang tua itu lembut.
"Ini hanya kutukan tingkat dua."
Si gadis menggigit bibir. Dia tahu Kakek Buyut itu terampil. Tetapi tetap saja, sebagai cicitnya, dia khawatir. Kakeknya itu bahkan tidak membawa senjata! Kemana senjatanya?!
Mata Reina mengikuti langkah pelan Ismawan. Semakin dekat ke kutukan yang baru berhasil mencabut belati Chiasa. Kadal itu mengeluarkan jeritan memekakkan.
"Heh, lucu," celetuk Ismawan. "Berusaha menakutiku?"
Si kadal menyerang.
Berlari secepat angin. Cakar terangkat. Suara geraman terdengar. Lalu—
Terjadi tubrukan keras.
Angin terhempas. Menggetarkan pijakan. Membuat Reina, Yuko dan Chiasa harus melindungi wajah dengan tangan.
Setelah reda, Reina langsung mengangkat kepalanya.
"KAKEK BUYUT!"
Hening.
Roh itu—
Berhenti.
Tepat di depan Ismawan.
Tangan sang Kakek buyut ada di leher makhluk itu.
Reina mengerjap. "Apa yang—"
Seringaian terlukis di wajah Ismawan. Dan itu bukan ekspresi yang ramah.
"Purification Technique—"
Suaranya dalam.
Tangan mencengkeram kuat.
"Minus."
.
.
.
.
.
.
.
.
Sepi sejenak.
Sebelum kepala si monster—
Menghilang.
Tidak meledak. Tidak terpotong. Tercacah maupun terkoyak.
Hanya—hilang.
Menyisakan abu di tangan Ismawan.
BRUK!
Tubuh kutukan itu jatuh lunglai di tanah. Memberi bunyi berdebam keras yang menggema di lorong.
Si pria tua menyapukan tangan ke baju. Membersihkan sisa abu yang menempel. Sebelum berbalik dan melempar senyum kepada tiga penontonnya.
Yang hanya dibalas dengan ekspresi terpana.
Reina yang pertama sadar. Dia segera berlari dan memberi Ismawan pelukan. Tidak peduli abu sisa aneh yang menempel pada bajunya sekarang.
"Kakek Buyut!" decak Reina setelah melepas peluk. "Itu barusan apa?!"
Dia melirik ke mayat roh kutukan yang tergeletak di tanah tanpa kepala. Ada potongan rapi di lehernya. Dengan darah mengucur lambat.
Ismawan tertawa kecil.
"Itu teknik kutukan, tentu saja."
Ada penasaran terlintas di mata hitam Reina.
"Teknik? Teknik apa? Aku belum pernah lihat Kakek Buyut memakainya!"
Sudah jelas.
Biasanya Reina dan Ismawan berburu secara terpisah. Ismawan mengurus roh tingkatan atas. Sedangkan Reina mengatasi roh yang lebih lemah. Si kakek memang agak protektif.
Ismawan menarik napas panjang. "Itu teknik kutukan Keluarga Kamiya—"
"Teknik Pemurnian."
***
"Aku punya banyak sekali pertanyaan..."
Walaupun begitu, Reina masih menyimpannya. Dia mengikuti kakek buyutnya menuju ke—entah kemana. Ismawan hanya terkekeh kecil melihat sang cicit yang masih tampak shock.
"Nanti pasti akan Kakek jawab oke?" ucapnya menenangkan. "Sekarang, Kakek Buyut punya hadiah untukmu."
"Hadiah?"
Ismawan hanya menjawabnya dengan tersenyum simpul. Hanya melanjutkan berjalan. Reina berjalan di kirinya. Sementara Yuko dan Chiasa undur diri untuk mengecek rumah itu sekali lagi. Siapa tahu ada yang tertinggal.
Sang cicit dan kakek buyut itu menyusuri lorong. Sampai Ismawan berhenti di sebuah pintu dan menggesernya terbuka. Asap debu langsung menguar dari sana. Reina sampai terbatuk dan harus menutup mata.
Berapa lama rumah ini ditinggalkan??
"Ah, benar-benar jarang tersentuh..."
Reina sedikit demi sedikit mengangkat pelupuknya. Perlahan, dari sela tebalnya debu, akhirnya dia bisa melihat apa yang ada di ruangan itu. Mata hitam membelalak.
Ruangan itu penuh dengan buku. Bertumpuk-tumpuk disetiap sudut. Begitu juga dengan banyak gulungan perkamen dan kertas yang terserak. Semuanya berlapis debu dan sarang laba-laba.
"Ini... perpustakaan?"
"Ruang arsip, lebih tepatnya." sahut Ismawan. Bibir tersenyum tipis.
"Jika kau punya pertanyaan tentang Teknik Kamiya, jawabannya ada di sini—"
Terdengar suara kertas bergemeresak. Diikuti cicitan tikus. Membuat Ismawan menengok dan mendesah.
"—Di suatu tempat."
Netra hitam Reina berbinar. Tempat penuh dengan buku tua yang berisi pengetahuan tentang teknik keturunan yang dia tidak ketahui?
Apa ini hari ulang tahunnya?
Reina mulai melangkah masuk. Melihat setiap jurnal lapuk dengan berbinar.
"Aku tidak tahu harus mulai dari mana," bisiknya. Sebelum berbalik untuk menatap Ismawan yang masih berdiri di ambang pintu.
"Bagaimana kalau Kakek Buyut ceritakan dulu dasarnya?"
"Dasar tentang?"
Alis Ismawan terangkat. Tangan bersedekap. Ada senyum jahil di wajahnya. Reina berdecak.
"Teknik yang tadi! Ayolah!" Reina berkacak pinggang.
"Lagipula teknik tadi itu apa? Bagaimana bisa kepala roh itu hanya—poff!"
Gadis itu membuat gestur ledakan dengan tangannya. Sang kakek terkekeh. Sebelum akhirnya ikut melangkah masuk ke ruang arsip itu. Dia berdehum.
"Pemurnian itu... secara gampangnya, adalah 'penghapusan'."
"Penghapusan?"
"Ya."
Telunjuk keriput menelusur salah satu sampul buku. Dia lalu mengangkatnya. Melihat debu yang menempel di sana. Lalu menggosok jempol dan telunjuknya itu. Serpih abu-abu jatuh ke lantai yang sama kotornya.
"Pada dasarnya, kita bisa memakai energi negatif kita untuk menghapus energi negatif lain."
Reina tersentak mundur mendengar itu. Bahkan dia bisa merasakan ikatan Resi ikut tertarik kaget.
Otaknya berpacu.
Menghapus energi negatif lain.
Tetapi seluruh tubuh kutukan itu terbuat dari energi negatif.
Itu berarti—
"Pemurnian—" Nama teknik itu terasa berat di lidah Reina.
"Apa itu berarti—Permunian bisa membasmi kutukan hanya dengan menyentuhnya?"
Sudut-sudut pipi keriput Ismawan tertarik ke atas. Dia menepuk kepala Reina dengan sayang. Cucu buyutnya memang sangat tanggap.
"Secara teori," jawabnya. "Tetapi, aku tidak bisa melakukan itu. Entahlah, mungkin salah satu penulis jurnal ini bisa."
Ismawan merentangkan tangannya. Memberi gestur pada buku-buku di ruangan.
<Menghapus, huh? Itu menjelaskan banyak hal.>
Raut muka Reina mengernyit mendengar komentar Resi yang tiba-tiba itu.
<Apa maksudmu?>
<Ingat perisai si pemain biola?>
Napas Reina tercekat. Memori memutar balik adegan itu sejelas kristal.
Benar.
Perisainya menghilang.
"Ya ampun," bisik Reina. "Jadi aku pernah memakainya."
Alis Ismawan terangkat. Reina langsung menceritakan apa yang terjadi di hotel pada malam Pengumuman Olimpiade Sains.
"Huh, kau benar-benar punya bakat..." gumam Ismawan. Dia menatap Reina dengan serius.
"Benar kata Satoru-kun, dengan Pemurnian dan Pemanggilan Arsenal, kau bisa jadi mengerikan."
Reina memiringkan kepalanya dengan bingung. Wajah kakeknya tampak murung. Senyuman yang tadi bertengger sekarang digantikan dengan satu garis datar.
"Kakek Buyut?"
"Apa kau mau belajar teknik ini Reina?"
Gadis itu terdiam sejenak.
"Ya," bisik Reina pelan. Dia menggaruk kepalanya.
"Uh, setidaknya, aku mau mencoba. Dan—uh, riset! Aku ingin tahu lebih banyak soal Kamiya!"
"Begitu?" Ismawan terkekeh. Matanya menerawang ruang lapuk berdebu di sekitar mereka.
"Untung saja kau punya semua sumber yang kau butuhkan."
Reina menyeringai.
"Jadi, mulai dari mana?"
***
Beberapa menit kemudian, duo buyut-cicit itu sibuk menggali tumpukan buku. Sesekali diselingi bersin dari semua debu yang berterbangan.
"Di sini tidak hanya ada soal Jujutsu," kata Ismawan. Dengan hati-hati mengelap satu buku bersampul kulit. "Ada juga soal medis, astronomi, seni—yah, leluhur kita suka belajar."
Mata Reina langsung berkilat.
"Apa ada soal Biologi??"
<Pfft—tentu saja itu yang kau tanyakan!>
Selagi Reina merutuk Resi, Ismawan tertawa lebar.
"Mungkin," ucapnya. Dia mulai menata buku yang sudah dibersih ke dalam tumpukan sendiri.
"Semua ini ditulis pada masa keemasan. Saat Kamiya masih—yah, masih normal."
Tangan Reina berhenti menumpuk perkamen tua. Manik oniks terarah kepada sang kakek yang menunduk.
"Maksudnya apa?"
Ismawan mendesah. Tangannya menyapu lebih banyak debu dari sampul buku. Dia tidak melirik ke Reina ketika bicara.
"Keluarga kita termasuk tingkat atas, Rei," ucap orang tua itu dengan kecut.
"Lama-kelamaan, semua gelar dan sanjungan itu meracuni kepala mereka."
Kemudian diam. Kakek buyut itu kembali menumpuk buku-buku. Dia menaruhnya dengan agak sedikit lebih keras kali ini. Wajahnya masam. Itu cukup untuk membuat Reina tidak bertanya apa-apa lagi.
Mereka berdua kembali sibuk pada kegiatan masing-masing. Memindahkan kertas dan gulungan. Serta mengelap debu yang menempel. Sesekali Reina mengintip isi yang dia pikir menarik.
"Oh! Reina! Lihat ini!"
Kepala sang gadis terangkat dari buku tentang yokai. Dia menengok ke Ismawan yang tampak berjongkok. Tangannya merogoh ke sela-sela buku dan tumpukan kertas.
Dia menarik keluar dua kubus hitam. Hanya sebesar genggaman tangan Berkilat seakan terbuat dari opal hitam. Kelihatan cukup padat.
"Tangkap!"
Reina menerima satu kubus itu dari lemparan Ismawan. Dia memutarnya ke segala sisi. Menelitinya dengan seksama.
"Ini—ini mengeluarkan energi negatif."
"Tepat sekali," ucap Ismawan sembari menyeringai.
"Kotak ini dibuat oleh padatan energi negatif murni. Kamiya menggunakan ini untuk melatih dasar Teknik Pemurnian."
"Uh, jadi apa yang harus kulakukan?"
Tangan Ismawan terulur. Kubus hitam ada di telapaknya. Dan beberapa detik—
Kubus itu sirna.
"Memurnikannya, tentu saja!" ucap Ismawan sembari tersenyum. "Sekarang, kau coba."
Kening Reina mengernyit. Dia memegang kubus itu dengan kedua tangannya. Berusaha fokus.
Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik.
Tidak ada yang terjadi.
KRIEEET...
Bunyi deritan pintu membuat konsentrasinya buyar. Si gadis tersentak. Hampir menjatuhkan kotak di tangannya. Ismawan dan Reina menoleh ke pintu. Tampak Yuko dan Chiasa di sana.
"Ah maaf!" Yuko—yang membuka pintu—menutupi mulutnya. "Aku tidak bermaksud menyela—"
"Ah, tidak apa-apa," balas Reina dengan santai. Dia melirik kotak yang masih utuh di tangannya. "Lagipula, aku juga ragu kalau akan terjadi apapun."
"Ismawan-sama." Chiasa maju.
"Anda harusnya tidak usah repot bersih-bersih," katanya. "Kami bisa—"
"Aah, tidak masalah Chiasa-kun!" tandas Ismawan. Lalu memberi gestur ke Reina.
"Lagipula, yang satu ini tidak sabaran kalau soal buku!"
"Eh?! Yang mengajak ke sini kan Kakek Buyut!"
"Ah! Kalau begitu, aku akan bantu juga, Reina-sama!"
"Wah, terima kasih, Yuko-san!"
***
Pada akhirnya, mereka berbenah sampai larut malam. Ismawan sampai harus menghubungi Yaga untuk meminta izin agar Reina tidak pulang ke asrama. Anak itu terlalu lelah untuk menuruni tangga gunung.
Barulah keesokan paginya, dia bangun dengan lebih bugar. Kakek Buyut, Chiasa, dan Yuko menunggu di serambi depan. Lengkap ditemani onigiri dan ocha hangat. Reina menjadi agak malu karena yang bangun terakhir.
Mereka berempat duduk dan memakan sarapan ringan itu sembari melihat ke taman tua. Ismawan dan Chiasa mulai berbicara bagaimana mengembalikan semua seperti sediakala. Reina sendiri duduk melamun. Tubuhnya pegal karena maraton berburu kutukan kemarin.
"Oh, ya, Reina?"
Suara Ismawan membuat cicitnya itu menoleh. Pipi menggembung penuh dengan nasi.
"Nanti kau dijemput Satoru-kun," ucapnya. "Kakek masih harus bantu bersih-bersih di sini."
Reina mengangguk. Kembali sibuk mengunyah nasi kepal berisi acar prem itu.
Setelah sarapan selesai, si gadis memilih beberapa buku untuk dia bawa ke asrama. Begitu juga dengan kubus hitam yang kemarin. Dia memasukkannya ke tas selempang yang dia temukan di salah satu ruangan.
"Baiklah, kalau begitu, aku kembali dulu!" pamit Reina sebelum mulai turun ke tangga. Dia melambaikan tangan ke tiga orang di atas yang turut balas melambai.
Di bawah, Gojo sudah menunggunya dengan senyuman lebar.
"Reina-chan~!" sapa guru itu. "Kau sudah selesai?"
Mau tidak mau, Reina mengangguk sembari tersenyum. Walaupun kemarin mereka harus berburu roh kutukan, waktu yang dia habiskan sebenarnya cukup menyenangkan.
"Eh? Tas apa itu? Kau bawa oleh-oleh?"
"Di sana hanya ada kutukan dan debu, Sensei," ucap Reina. "Kau sendiri? Mana oleh-olehnya?"
"Ahahaha, pasti tidak ada dong~"
Reina hanya menggeleng-geleng. Gojo tersenyum. Kemudian menepukkan tangannya.
"Nah, kalau begitu ayo kita kembali ke Sekolah!"
Kepala Reina menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Uh, oke? Err, mana kendaraannya?"
"Oh! Jarak segini, aku tidak perlu—"
Suara Gojo disela bunyi getaran.
Guru itu merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel. Bahkan dengan penutup mata, Reina bisa menebak bahwa alis guru itu menukik membaca nama orang yang menghubunginya.
Dia menerima panggilan itu. Mengucapkan halo. Sayangnya, Reina tidak bisa mendengar suara percakapan dari telepon. Terlalu lirih.
Yang jelas, ekspresi Gojo berubah.
Senyumannya sirna. Menjadi muka keras dan datar. Sangat keluar dari karakter yang biasa dipakai gurunya itu.
Ada yang salah.
"G-Gojo-sensei?"
Penyihir tingkat satu itu menutup panggilan. Kembali memasukkan ponsel ke saku. Sebelum menatap ke arah Reina dengan wajah datar tadi.
Sang gadis tidak suka ekspresi itu.
"Uh, itu siapa? Apa yang terjadi?" tanya Reina.
"Yuuji-kun."
"Eh? Itadori-kun kena—EEH!!"
Tanpa memberi peringatan, Gojo menggendong Reina dengan princess carry. Gadis itu kaget dan refleks melingkarkan tangan pada leher sang guru.
Sedetik kemudian—
Mereka sudah tidak ada di sana.
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N.:
My brain : Kamiya's technique is Thanos' snap
Me : ...wtf
Anyway... woohoo chapter baru. Semoga kalian nggak bosen baca cerita ngasal ini. Btw Resi jarang muncul ya? Kadang dia lebih suka mengamati.
Yah, terima kasih untuk vote dan komentarnya. Semuanya selalu diapresiasi.
Thank you for reading! :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com