Chapter 12
Reina hanya bisa terpaku.
Yang terbaring dingin dan kaku di atas meja autopsi itu Itadori.
Itu temannya.
Memang mereka belum terlalu lama saling kenal. Tidak benar-benar dekat satu sama lain. Akan tetapi, bukankah itu poinnya?
Mereka bahkan belum kenal dekat.
Untuk mati secepat itu—
Dia benar-benar terkejut ketika mengikuti Gojo ke kamar mayat. SMK Jujutsu yang memiliki kamar mayat juga berita yang mengherankan. Dan lebih terkejut lagi ketika dia tahu siapa yang meninggal.
Dia tidak yakin semua 'kejutan' ini bagus untuk jantungnya.
Reina tahu, sejak dia membunuh kutukan pertamanya, suatu saat dia pasti akan menghadapi kematian. Pekerjaan yang dia lakukan jelas berbahaya. Dia hanya tidak menyangka hal itu akan datang secepat ini.
Si gadis agak merasa mual.
Dia berdiri jauh dari meja besi tempat mayat Itadori tertutup kain. Tubuhnya bersender pada dinding. Jika tidak, anak itu tidak yakin dia bisa berdiri dengan seimbang. Otaknya masih berpacu.
Suara pembicaraan Gojo dan Ijichi terdengar samar-samar di telinganya.
"Kalau sampai dia muncul, pilihannya hanya lari atau mati." Nada suara Ijichi terdengar menyesal.
"Saya sudah memperingatkan mereka untuk jangan sekali-kali melawannya."
"Itu disengaja."
Jawaban Gojo—yang sedang duduk di...entah apa, yang jelas itu tidak terlihat seperti bangku untuk Reina—membuat Ijichi tersentak.
"Eh, apa maksudnya?"
"Ada Pusaka Tingkat Tinggi." Gojo menggaruk belakang kepalanya. "Mengirim anak kelas satu untuk menyelamatkan lima orang yang belum tentu masih hidup itu harusnya tidak terjadi."
"Selain itu soal Yuuji—"
Gojo melempar pandangannya ke anak yang sekarang terbaring dingin.
"Akulah yang memaksakan masalahnya dan membuat perintah eksekusinya ditunda tanpa batas waktu."
Eksekusi.
Kata-kata itu berputar di pikiran Reina. Itadori sudah menceritakan semuanya saat mereka pertama kali bertemu. Dia ingat ekspresinya saat itu. Tetap ceria. Seakan memiliki Raja Kutukan di dalam dirinya bukan hal besar.
Untuk membayangkan anak yang senyumnya bersaing dengan cahaya matahari itu dieksekusi—
Yah, Reina lebih memilih tidak melakukannya.
Sekali lagi gadis itu berusaha mengangkat kepalanya. Melihat tubuh tertutup kain yang ada di depan. Dia bisa merasakan aura Resi yang berusaha menenangkan.
Kenapa harus jadi seperti ini?
"Beberapa petinggi yang tidak menyukainya memanfaat ketidakhadiranku dan Pusaka Tingkat Tinggi untuk menyingkirkannya."
Kalimat Gojo membuat Reina semakin geram. Sesuatu seakan terputus dalam benak si gadis.
Berani-beraninya para Petinggi sialan itu menentukan siapa yang hidup dan yang mati.
"Kenapa?"
Bisikan Reina membuat Ijichi dan Gojo menoleh. Anak perempuan itu masih menunduk. Menutupi matanya yang mulai terasa basah.
"Aku—"
Bibir Reina bergetar. Tangan terkepal di samping tubuhnya. Sampai buku-buku jarinya memutih.
"Aku juga wadah. Jadi—kenapa hanya Itadori? Apa mereka tidak tahu soal Resi—?"
Kata-katanya terputus. Ada tangan yang mengelus rambutnya dengan lembut. Reina tersentak. Sebelum tengadah dan melihat Gojo yang sudah berdiri di depannya.
"Tidak, mereka sudah tau soal Resi. Mereka tahu kau wadah."
Mata hitam Reina mengerjap. Berusaha menghapus air mata yang hampir meleleh.
"Lalu, kenapa mereka tidak—?"
"Karena kau Kamiya."
Mulut Reina langsung tertutup. Dia kembali menunduk. Gojo hanya mendesah. Tangan yang tadinya mengelus rambut hitam kini beristirahat di pundak Reina.
"Keluargamu itu setara—bahkan mungkin lebih tinggi—dengan tiga Klan besar di Dunia Jujutsu."
Gojo menerangkan. Dia menunduk. Melihat Reina yang tidak mau menatapnya balik.
"Kau sudah tahu soal Teknik Kamiya?"
Si gadis memberikan anggukan kecil.
Pemurnian. Teknik yang dapat menghapus energi negatif.
"Kau tahu bukan kutukan saja yang bisa terpengaruh teknik itu, kan?" tanya Gojo.
Akhirnya, Reina mengangkat kepala. Memandang heran wajah guru berpenutup mata itu. Gojo tersenyum sendu.
"Selain roh kutukan, kau tahu siapa lagi yang biasa menggunakan energi negatif?"
Netra hitam langsung membulat.
Penyihir Jujutsu.
"Apa kau sekarang paham kenapa keluarga Kamiya itu sangat dihormati?"
Ya, Reina paham. Bukan berarti dia harus suka. Gadis itu menggigit bawahnya dengan keras. Hampir membuatnya berdarah. Dia berbisik.
"Ini tidak adil."
Gojo mengangguk. "Aku setuju."
Sang guru menarik dirinya. Sebelum kembali duduk menghadap Ijichi. Senyum yang dia gunakan untuk menenangkan Reina menghilang. Kembali menjadi ekspresi datar.
"Jika dua murid yang lain tewas juga, itu akan mempermalukanku," lanjut Gojo. "Dan itu bagai sekali dayung, dua pulau terlewati, kan?"
Tubuh laki-laki berkacamata yang berdiri di depannya bergetar. Ijichi menutup mulut dengan tangan. Ekspresinya tidak nyaman.
"Tidak, tapi—saat sampai di TKP tidak ada yang menyangka akan menjadi kutuakan Tingkat Tinggi."
"Mencari dalangnya akan merepotkan," celetuk Gojo. Wajahnya masih datar.
"Mungkin semua Petinggi—"
"—Kubunuh saja!"
Reina dan Ijichi tersentak.
D-dia bisa melakukan itu?
<Ya.>
Suara Resi bergema menjawabnya.
<Kupikir, gurumu ini bukan penyihir biasa.>
Sebelum ada yang sempat mengatakan apapun lagi, pintu kamar mayat digeser terbuka.
"Tumben sekali kau emosian begitu."
Seorang perempuan melangkah masuk. Berambut cokelat panjang dan menggenakan jas laboratorium. Reina bisa melihat tahi lalat di bawah mata kanannya. Begitu juga kantung mata hitam.
Dia berjalan mendekati meja tempat tubuh Itadori tergolek. Ijichi menunduk dengan hormat.
"Senang bertemu denganmu, Ieiri-san."
Ieiri?
Nama itu terdengar familiar untuk Reina.
Ah, dia orang yang pernah disebut oleh Yuko-san!
"Soal dia—" Ieiri melirik sebentar ke tubuh di meja autopsi. Sebelum melempar pandangan ke Gojo. Jari memainkan surai cokelatnya sendiri.
"Sepertinya kau sangat menyukainya, ya?"
Lelaki berambut putih itu mengangkat telunjuknya.
"Sejak dulu, aku adalah pria baik yang menyayangi murid-muridnya."
"Jangan menjahili Ijichi berlebihan," ucap Ieiri. "Dia juga dibuat kerepotan oleh para petinggi seperti kita."
Ijichi sepertinya senang mendengar komentar itu.
"Aku tidak peduli masalah yang dialami pria," celetuk Gojo.
"Begitu." Ieiri menimpali dengan tidak acuh. Sudah kembali menghadap ke meja autopsi.
"Terus ini—"
Dia menyibak kain yang menutupi tubuh Itadori.
"—wadahnya Sukuna ya?"
Wanita itu menatapnya sejenak. "Aku boleh membedahnya sesukaku, kan?"
"Pastikan kau kerjakan dengan baik, ya," imbuh Gojo.
"Tentu saja."
Ieiri menoleh. Kantung matanya semakin bisa dilihat jelas oleh Reina.
"Kau pikir aku ini siapa?"
***
Bunyi langkah kaki menyelingi suara tetesan air yang menitik dari atap gedung terbengkalai.
Seorang laki-laki berambut hitam berjalan dengan langkah pelan. Dia memakai rakusu diatas kimono hitam. Atributnya yang lain juga serba hitam.
Mungkin aneh jika melihatnya berjalan memasuki bangunan tua.
Akan tetapi, orang tersebut tampak tidak acuh. Melenggang ke dalam dengan santainya. Mata menerawang ruangan berlumut dan lembab itu. Sungguh, dia tidak bisa berpikir kenapa kenalannya selalu memilih tempat seperti ini untuk singgah.
Semakin ke dalam, semakin banyak benda aneh yang dia temukan. Pertama hanya beberapa botol berisi entah-apa. Lalu beberapa instrumen medis.
Kemudian dia mulai mendengar suara jeritan.
Suaranya rendah. Sepertinya laki-laki. Tetap saja memilukan. Namun, dia tidak peduli. Bisa jadi itu bukan manusia.
Lebih tepatnya, bukan manusia lagi.
Di depannya ada sebuah ruang luas terbuka. Dia menebak dulu itu adalah tempat mesin-mesin pabrik ditaruh. Akan tetapi, sekarang tempat itu disulap menjadi 'laboratorium' impromptu. Setidaknya, dia yakin kenalannya ini akan menyebutnya begitu.
Suara jeritan semakin keras. Dia berjalan terus. Melewati deretan drum dan kotak tua. Dia bisa melihat sang kenalan berdiri di tengah ruangan. Tampak sibuk mengurus 'sesuatu' yang terikat di meja besi.
Itulah asal bunyi jeritan.
Si pria terus maju. Berusaha mengabaikan bau busuk yang memenuhi udara. Satu langkah. Dua langkah. Sampai—
CLACK!
Pria itu mundur di saat yang tepat.
Satu bulu tajam menancap di tempatnya tadi berdiri.
Dia menyeringai lebar.
"Begitukah cara kau menyambut tamu?"
Melirik ke samping, dia bisa melihat sayap emas berkilat dalam bayangan.
"Dengan mengirim anjingmu untuk menyerangnya?"
Kenalannya terpaku. Berhenti melakukan apapun yang sedang dia kerjakan di meja bedah. Dia berbalik. Menyeringai lebar.
"Ah! Lihat siapa yang datang!" ucapnya ceria.
Pandangan si kenalan terarah ke jahitan yang ada di dahi pria itu. Dan seringaian di wajahnya bertambah lebar.
"Oh? Tubuh baru? Hehehe, menarik."
"Ya," ucap si pria. "Namanya Geto Suguru."
"Geto, heh? Apa kau mau dipanggil dengan itu sekarang?"
"Terserah kau saja, Lakeswara."
Si kenalan—Lakeswara—tertawa keras. Dia memasukkan tangannya ke saku jas putih yang ternoda darah.
"Logatmu masih aneh menyebut namaku."
"Dan logatmu aneh berkata dalam bahasa Jepang secara general," balas Geto—Lakeswara setidaknya akan memanggilnya begitu.
"Apa yang kau lakukan kembali ke Jepang?" tanyanya. Dia melirik ke meja bedah penuh darah di belakang Lakeswara.
"Masih ada hubungannya dengan... eksperimenmu?"
"Bukan hanya eksperimen..." decih pria itu. Tangannya menyibak rambut hitam-abu-abu di kepalanya.
Menampilkan dua netra hijau lumut yang tidak natural.
"Ini mahakarya."
Dia berbalik. Kembali fokus kepada apa yang menjerit di mejanya itu. Ada senyuman miring di wajahnya.
"Spesimen yang aku cari ada di Jepang. Dan dia jauh lebih unik daripada yang kukira."
"Ho?" Geto berdehum. Tangannya terlipat di dada. "Hmm... tujuan kita berbeda rupanya."
Sayang sekali, dia berpikir selain roh-roh kutukan yang akan dia temui, dia bisa mendapat sekutu baru.
Orang di depannya ini memang agak miring. Tetapi ciptaannya sangat berguna.
"Bukan berarti tidak akan bersinggungan, Geto."
Celetukan itu membuat Geto—atau Bukan Geto—mengangkat alis.
Lakeswara mengelus tubuh yang ada di meja. Dia tidak lagi menjerit. Tetapi menggeram. Sepertinya dosis energi kutukan yang dia beri sudah mulai membuahkan hasil.
Ah, dan kepala tambahan di makhluk ciptaannya ini cantik sekali.
"Sedikit lagi selesai," bisik pria itu.
"Akan ada tugas yang penting untukmu."
***
Reina dan Gojo duduk bersebelahan di meja besi yang ada di sudut kamar mayat. Ijichi sendiri memutuskan untuk berdiri di samping sang guru. Sementara Ieiri mempersiapkan alat autopsi.
"Aku ini..." Gojo memulai. Kakinya tersilang dan tangan bersedekap.
"Punya sifat yang jelek, ya."
"Aku tahu itu," sahut Ijichi.
"Eh, sadar diri," ucap Reina dalam bahasa Indonesia.
"Ijichi, nanti dahimu kujentik. Reina-chan juga."
"J-jentik?"
"Eh? Memang Gojo-sensei tahu aku bicara apa?"
"Tidak, tapi aku yakin itu bukan hal baik." Sudut bibirnya terangkat. Sebelum ekspresinya kembali netral dan dia melanjutkan.
"Aku tidak cocok untuk menjadi guru. Lalu, kenapa aku mengajar di sekolah ini? Tanyakanlah itu."
Reina tidak menjawab. Gojo mengangkat kepalanya untuk melihat ke Ijichi. Jadi pria itu angkat bicara.
"Kenapa?"
"Karena aku punya impian."
"Impian, ya?"
"Benar. Seperti kasusnya si Yuuji ini."
Reina mendengarkan dengan seksama. Dia baru mendengar sedikit soal hierarki Penyihir Jujutsu. Kebanyakan dari itu didapat dari menyimak umpatan Kakek Buyutnya.
Bisa dibilang, Ismawan punya beberapa kata kasar untuk diludahkan ke wajah para Petinggi.
Itu jelas membuat Reina agak bias.
"Para Petinggi itu dipenuhi orang jahat. Orang bodoh konservatif. Orang bodoh tradisional. Dan orang bodoh sombong. Mereka orang-orang bodoh. Seperti buah mikan yang diobral murah."
Ah.
Reina menahan diri untuk tidak terkekeh. Tidak di saat suasanya seperti ini.
Ternyata pemikiran Gojo-sensei dan Kakek Buyut mirip, ya?
"Aku ingin me-reset Dunia Jujutsu yang seperti sampah ini."
Oh, baiklah. Masuk ke topik yang lebih serius.
"Membantai semua petinggi itu tidaklah sulit."
Mau tidak mau, Reina agak terkejut mendengar pernyataan yang satu itu. Dia mencuri pandang ke Gojo. Yang tampat saling menyentuhkan ujung jari-jarinya dengan wajah netral.
Sebenarnya seberapa kuat pria ini?
"Tapi, mengganti mereka saja takkan melahirkan perubahan."
Lagi-lagi, si gadis merasa setuju dengan ucapan sang guru. Ternyata Gojo bisa serius seperti ini juga.
Mengganti penguasa korup dengan penguasa korup lain tidak akan membantu. Yang ada hanya melahirkan lingkaran setan.
"Dan kalau kugunakan cara itu takkan ada seorangpun akan mengikutiku. Makanya aku memilih pendidikan. Demi mendidik rekan yang kuat dan cerdas."
"Itu lah alasanku membiarkan muridku menjalankan misiku." Nada suara Gojo naik. Hampir ke nada yang biasa.
"Cintaku keras."
Reina dan Ijichi sama-sama memberikan Gojo lirikan menghakimi. Keduanya tampak menahan facepalm.
Itu namanya lepas tanggung jawab, tahu.
"Mereka penuh bakat, lho," celetuk si guru. Duduknya dicondongkan ke depan.
"Terutama murid kelas tiga, Hakari. Dan murid kelas dua, Okkotsu. Kelak mereka akan menjadi penyihir yang melampauiku."
Pria putih itu menunduk. Tangannya terkepal erat. Reina berjengit melihat urat yang terlihat. Tubuh gurunya itu agak bergetar.
"Harusnya Yuuji juga salah satunya."
Bohong kalau Reina tidak ikut merasa sedih mendengar hal itu.
"Hei, kalian."
Panggilan Ieiri membuat tiga pandangan langsung tertuju padanya. Dokter itu sedang memakai sarung tangan karet. Masker sudah tergantung di telinganya.
"Mau kumulai, nih. Apa kalian hanya mau menonton dari sana?"
Reina menunduk dan berdiri. Hendak keluar. Sepertinya dia tidak akan kuat menyaksikan itu. Sampai—
<Reina! Tutup matamu!!>
Eh?
Refleks dia menaruh tangan ke matanya. Walaupun masih heran.
<Resi, apa yang—>
Dia mendengar jeritan tertahan Ijichi.
"Wah, aku telanjang bulat!"
Dan suara itu—
Eh?
Suara Itadori?!!
"G-Go-Gojo! D-di-dia masih hidup!"
Dia bisa mendengar suara Ijichi yang tergagap.
"Berisik kau."
Yang itu suara gurunya. Ada sedikit nada tertawa di kata-katanya.
"Aku agak kecewa, nih."
Itu Ieiri. Reina tidak percaya dokter itu agak kecewa karena tidak bisa membedah temannya—
Tunggu.
Berarti Itadori hidup lagi?!
"Maaf situasinya memang memalukan, tapi anda siapa?"
Reina tidak percaya ini. Itu benar suara temannya. Walaupun matanya masih tertutup, dia tahu Itadori sudah bangun.
Perasaan lega langsung membanjiri tubuhnya.
"Yuuji." Suara Gojo terdengar lagi. "Selamat datang kembali."
"Iya! Senang bisa kembali!"
Terdengar suara tepukan.
Reina memutar bola matanya dari balik tangan. Dia berani bertaruh keduanya baru bertukar tos.
Di peristiwa dramatis begini, mereka bisa santai sekali.
Dasar laki-laki.
"Oh, Reina disini juga!"
Mendengar suara riang Itadori, mau tak mau, gadis itu tertawa kecil. Bersyukur karena mata yang masih tertutup. Tidak ada yang akan melihat manik hitamnya berkaca-kaca.
"Senang kau masih hidup, Itadori-kun." Gadis itu tersenyum.
"Tapi tolong segera pakai baju. Aku tidak bisa terus-terusan begini."
***
.
.
.
.
.
.
A.N.:
Author ada pertanyaan, bagi yang tahu mohon dijawab pls :
Waktu Yuuji latihan pakai boneka di basement itu dimana sih? Ada sumber yang bilang di sekolah. Ada yang bilang di rumahnya Gojo? Ada yang tahu?
Anyway, chapter ini kebanyakan cuma alterasi scene. Kebanyakan dialog aku ambil langsung dari subtitle animenya dengan beberapa perubahan.
Oh, dan antagonis kita punya nama! Yay!
Terima kasih untuk vote dan komentarnya. Kalau ada krisar silahkan ditulis saja. Jangan malu-malu.
Thank you for reading! :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com