Chapter 18
Dua set langkah kaki berderap turun di tangga. Langit gelap di luar jendela tempat Penghalang masih menutupi.
Sesekali keheningan dipecah oleh sumpah serapah kecil. Semuanya dari Reina yang merutuki betapa banyak lantai gedung sekolah itu. Bahkan SMA-nya di Indonesia dulu sama sekali tidak punya tingkat!
Tangan gadis itu erat menggenggam pergelangan tangan Junpei. Terus menariknya anak tangga demi anak tangga. Sementara tubuh anak laki-laki itu lunglai. Lemas layaknya boneka jerami.
"Yang paling penting kita keluar dulu dari—"
Langkah Junpei terhenti. Lutut anak itu seakan menyerah. Dia jatuh. Bersimpuh di anak tangga. Membuat Reina tersentak. Hampir ikut terpeleset. Genggamannya pada bocah berambut hitam itu lepas.
"Junpei?" ucap si gadis.
Jawaban yang dia dapat hanya suara terisak.
Ada air menetes dari wajah anak yang menunduk itu. Tangan Junpei lemas di kedua sisi tubuhnya. Tangisnya semakin deras. Namun yang keluar dari mulutnya hanya rintih kecil.
Reina berlutut di depannya. Memberi sang teman pandangan khawatir. Dia menaruh tangan di pundak Junpei.
"Hei? Kau baik? Apa kau terluka?"
"A-aku mem-mempercayainya."
Kalimat Junpei tersendat.
Wajahnya lembab. Di balik rambutnya, Reina bisa melihat mata hitam yang tampak kosong sekaligus penuh emosi di saat bersamaan.
Napas si gadis tertahan. Ini jelas bukan waktunya untuk jatuh dan berhenti. Tetapi dia juga tahu bahwa Junpei terguncang. Dia tidak bisa memaksanya keluar dengan kondisi seperti ini.
Jadi si gadis menelan rasionalitas di otaknya dan mendengarkan.
"Aku m-mempercayai Mahito-san."
Mendengar itu, Reina meringis. Dia ingin bilang bahwa mempercayai kutukan itu hal yang bodoh, tetapi dia tidak mau hipokrit.
Toh, dia percaya pada Resi.
<Rei, kita harus segera pergi! Itadori butuh bantuan!>
Lihat? Bagaimana Reina bisa tidak percaya jika si kutukan memberi saran masuk akal begitu?
"Junpei—" Reina mencoba bicara. Tetapi kalimatnya tertahan. Junpei terisak lagi.
"Aku m-mempercayainya. Dan dia me-membunuh Okaa-san. D-dia—"
Reina tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia ingin menarik Junpei dan pergi. Lalu menenangkannya saat semua sudah damai. Tapi Reina tidak kuat melakukan itu.
"K-kalau aku tidak mengikutinya w-waktu itu—" Napas Junpei menderu. "M-mungkin Okaa-san masih—masih—"
Akhirnya kepala Junpei terangkat.
Dua pasang manik hitam saling beradu. Yang satu terbelalak. Yang satu basah oleh derai air mata.
"A-pa—apa—"
Suara Junpei menjadi lirih. Tidak lebih dari sebuah bisikan.
"Apa aku membunuh Okaa-san?"
"Tidak!"
Reina buru-buru menggeleng. Dia meraih satu tangan Junpei dan menggenggamnya lembut. Jempol mengelus punggung tangan yang bergetar. Perasaan si gadis ikut berkecamuk.
"Tidak," ulangnya. Nadanya lebih pelan.
"Kau—kau tidak melakukan itu Junpei-kun. Itu bukan kau." Reina berdesis. Merasakan benaknya campur aduk.
"Kau—kau tidak mau Ibumu mati, kan?"
Satu mata hitam Junpei yang terlihat langsung membulat. Air mata masih bercucur.
"Tentu saja tidak! Hanya dia yang kupunya!"
"Kalau begitu bagaimana bisa kau membunuhnya?" tanya Reina. Kedua tangannya diangkat. Bertemu dengan pipi Junpei. Dia menyeka air mata baru yang jatuh.
"Banyak sekali hal yang salah di sini, Junpei-kun. Tetapi kalau ada satu yang kuyakini, kau tidak membunuh Ibumu. Kau tidak tahu."
Gadis itu berusaha memasang senyum terbaiknya. Yang pada saat ini hanya berupa sebuah lengkung kecil bergetar.
"Kutukan Berjahit—Mahito—yang membunuh Ibumu."
"T-tapi—"
Reina menggeleng dengan tegas.
"Bukan—bukan kau. Dengar, kita bisa bahas soal balas dendam nanti." Reina melepaskan pipi Junpei. Sebelum kembali menggamit tangannya.
"Sekarang kita harus ke tempat aman. Lalu aku harus kembali untuk membantu Itadori."
Junpei diam. Dia menggigit bibir bawah. Kemudian menarik tangan dari genggaman Reina dan mengusap matanya. Lalu mengangguk.
Reina mendesah lega.
Belum. Semua memang belum baik-baik saja. Tetapi sekarang mereka harus bergerak.
Mereka harus tetap hidup sebelum membuat semua kembali baik-baik saja.
Jadi Reina berdiri. Menarik Junpei bersamanya. Sebelum memberikan satu tepukan meyakinkan ke bahu anak itu.
"Baiklah, sekarang kita harus—?!"
Terdengar suara raungan.
Dari bawah tangga.
Tubuh Reina menegak. Kepala menengok ke tangga. Matanya membulat.
Sial aura ini—!
"R-Reina-SAN—!"
PRANG!
Kalimat Junpei terputus. Reina memecahkan jendela yang ada di sana dengan tongkat hitam runcing yang terbentuk di tangannya. Dia menoleh ke Junpei.
"Kita lompat!"
"APA—?!"
"Tidak ada waktu menjelaskan! Ayo!"
Tangannya terulur.
Suara geraman semakin dekat.
Junpei meraih tangannya.
Reina tersenyum.
"Seperti di film laga, heh?"
"Huh—!"
Mereka melompat.
***
Pendaratan mereka bukan yang terbaik.
Mereka lompat dari jendela lantai dua. Jatuh ke halaman depan sekolah. Reina menggunakan teknik Pemanggilan Arsenal untuk landasan. Menciptakan dinding hitam yang menangkap mereka.
Namun dua anak itu tetap berakhir berguling di tanah.
"Ugh!" Reina tersungkur. Junpei tidak jauh di dekatnya. Si gadis segera berdiri dan pergi ke samping kawannya.
"Kau tak apa?"
Junpei mengangguk selagi Reina membantunya berdiri.
Tubuh mereka tercoreng debu dan penuh lecet. Sakit karena benturan yang pasti akan menyebabkan lebam. Namun tidak ada tulang patah. Itu sudah menang di buku Reina.
"Oke, sekarang tinggal keluar dari Penghalang ini—"
"SCREEEEECH!!!"
Suara melengking panjang membuat kedua anak harus menutup telinga mereka.
Kemudian terdengar sura benturan.
Dua pasang mata teralih ke tempat mereka terjun tadi.
Dindingnya hancur.
Menyisakan debris batu dan beton. Serta pecahan kaca.
Dan di sana—sesosok makhluk meraung.
"Apa itu?!" pekik Junpei.
Makhluk itu memeliki torso dan tangan kekar. Tidak sesuai dengan kaki bawahnya yang kecil namun panjang. Tubuhnya tampak seperti tambal-sulam. Dengan daging yang membusuk di sana-sini.
Dia berdiri condong ke depan. Lengan sebagai tumpuan sepergi gorilla. Tangannya kirinya normal. Walau kelewat besar. Tangan kanannya lain lagi. Berujunh di duri besi yang runcing.
Ada dua kepala di tubuhnya. Yang satu memiliki sepasang mata. Mulut terjahit. Yang hatu hanya memiliki mulut besar bergigi tajam.
Kepala yang sekarang menggeram.
<Hawanya—>
<Sama dengan Pria Burung dan Wanita Biola.>
Sambungan Resi itu membuat perut Reina berputar. Dia menoleh panik ke Junpei.
"Kita harus—!"
Tidak sempat.
Kutukan itu melompat.
Menerjang ke arah mereka.
BRUKK!!
Reina berkelit ke kanan. Junpei di dorong ke kiri. Nyaris.
Menghindar di detik terakhir.
Mata hitam mendelik. Pavement yang dilandas kutukan itu hancur. Tangan berduri besi menancap.
"Bangsat," decih Reina.
Tangan terkepal. Tinta tato memenuhi telapak. Menjelma dan memadat.
Pisau lempar.
Reina melesatkannya. Menancap pada badan si kutukan.
Dan dia meraung.
"Lari!" jerit Reina.
"Aku alihkan dia!"
Kutukan itu menerjang. Duri terarah.
CLANG!
Berbenturan dengan perisai.
Gigi menggeretak. Dia melihat Junpei terpaku.
"KUBILANG LARI!"
Reina tidak sempat melihat reaksi Junpei.
Tangan si monster menghempas. Dia terjungkal. Terdorong. Namun tetap tegak di kakinya.
"Ugh—"
<Ke kanan!>
Reina berguling. Tangan besar meninju tanah. Membuat bunyi retak.
Tempatnya tadi berdiri hancur.
<Nyaris!>
<Tetap fokus!>
Kepala Dua kembali memekik. Kemudian menyerang.
Dia memukul. Lalu menusuk. Lalu pukul. Tusuk. Pukul. Bertubi-tubi. Tangan kanan dan kiri. Bergantian.
Reina terus melompat mundur. Mengelak dengan gesit.
Kutukan itu meraung marah
<Dia mengincarmu.>
Reina berdecih.
<Kalau begitu kita butakan dia.>
Tangan terentang.
Kanan membuat busur. Kiri anak panah. Dia menyatukan keduanya. Menarik. Membidik.
Tembak.
Clack! Clack!
Lengkingan monster itu menulikan.
Dua panah tertancap. Tepat di mata. Dia menariknya paksa. Sebelum menggeram lagi. Lebih keras.
Reina berjengit. Mundur. Memberi jarak antara dia dan si monster.
Lalu hening.
Monster itu diam.
Reina mengambil langkah mundur.
Tap.
Si monster langsung menoleh.
Dia masih bisa mendengar!
Dengan raungan super keras, dia menerjang. Tangan bergerak liar.
Kali ini Reina siap.
Dia menghindar. Tinta hitam meluap di tangan. Dia bergerak ke belakang. Tepat saat itu memadat. Tombak. Dia melemparnya.
Menancap menembus perutnya.
"SCREEEEECH!!"
"Itu tidak cukup?!"
Tangan besar penuh jahit terayun—
BUGH!
Bertemu dengan tubuh Reina. Dia terlempar. Jatuh ke tanah. Dengan bunyi berdebum.
Si gadis merintih. Badan tengkurap. Tulangnya seakan disusun ulang.
"Si-sial—"
Tubuhnya menjerit. Sakit. Darah mengucur dari sudut bibir. Luka terbuka di dahi. Tergesek pavement yang kasar.
Dia berusaha bangkit. Bertumpu pada tangan. Namun menjerit ketika nyeri menyerang tubuh.
Sialnya—
Si monster mendengar itu.
Raungan lagi. Memekakkan.
Dia mulai menyerang. Kemana saja. Ke arah suara. Membabi buta. Berharap bisa mengenai.
Reina berusaha beringsut. Tapi tubuh tak berkutik. Seakan remuk.
Napasnya memburu. Beradu dengan geraman dan raungan di udara.
<Reina!>
Kutukan itu mendekat.
<Aku tahu!>
Tangan berduri besi menusuk-nusuk tanah. Tidak tahu tujuan. Namun semakin dekat. Dekat dengan posisinya.
Semakin dekat.
Dekat.
Suara duri menikam tanah bergaung.
CLACK!
Dekat.
CLACK!
Beberapa langkah.
CLACK!
Tepat di depan kepala.
CLACK!
Sekarang tepat di atas tubuhnya.
Mata Reina tertutup.
Mempersiapkan diri untuk rasa sakit.
Tapi—
Crash!
Lalu lengkingan mengisi udara.
Mata Reina menjeblak terbuka. Memandang nanar. Tampak figur buram di visinya.
Berambut hitam. Berbaju hitam. Ada biru berdiri di belakangnya.
Junpei dan—
Shikigami?
"Menjauh darinya!"
Suara Junpei berderai. Keras. Seakan memukul kepala Reina.
Dan si monster berbalik padanya.
"Tidak—!"
Terlambat.
Secepat kilat. Si monster berdiri di depan Junpei. Mencengkeram leher. Mengangkatnya.
Junpei tercekik. Tangan mencakar pergelangan si kutukan. Shikigami hilang. Dia mulai kehabisan napas.
Tangan berduri besi berkilat.
Lalu—
Menusuk.
"JUNPEI!!"
Adrenalin berdenyar di tubuhnya. Memberi Reina kuasa berdiri. Dia terhuyung.
Mata membelalak.
Junpei tergolek di tangan si monster.
Lalu dilempar bagai barang bekas.
"BAJINGAN!"
Reina berteriak.
Lalu berlari. Dia melompat ke punggung si monster. Tangan kanan terangkat.
Hitam membentuk keris.
Dia menusuk bahunya.
Raungan lagi. Cukup membuatnya muak. Reina menggenggam keris kuat-kuat. Kaki bertumpu di punggung kutukan itu. Seperti menaiki raksasa.
Si monster berusaha mengguncang tubuh. Untuk menjatuhkan Reina. Tapi si gadis tidak goyah. Giginya menggertak.
Tangan kiri menggenggam erat leher si kutukan yang sedari tadi menjerit.
Dia menarik napas.
Tenang.
Dan—
"Purification Technique."
Energi kutukannya terlepas.
"Minus."
Kepalanya—
Hilang.
Jika dia masih punya mulut, dia akan melengking lagi.
Reina menarik keris. Lalu mengayunkannya. Menebas.
Kepala yang satu terpenggal.
Tubuh itu langsung jatuh.
Diiringi suara debum keras. Reina menghela napas.
Selesai. Sudah selesai.
Tapi tidak ada sorakan bahagia atau tawa senang.
Reina segera bangkit dari tubuh menjijikkan sang monster. Dia berlari. Menuju ke tempat Junpei terlempar.
Anak itu diam. Terlalu kaku.
Tidak bergerak.
Reina langsung bersimpuh di dekatnya. Berusaha tidak panik melihat luka yang menganga. Dia menekan luka itu dengan tangan. Membuat jari ternoda merah. Berusaha menahan pendarahan.
"Junpei-kun! Junpei! Jawab aku!"
"R-Reina?"
Ada darah di mulutnya.
"Aku di sini! Kau—tolong tetap bangun. Hanya—fokus untuk—sial. Tetap—"
"M-maaf, Reina."
"Shh... jangan—jangan bicara dulu. Aku—"
"Bilang juga ke—ke Itadori—"
"DIAM! Kau—kau akan baik-baik saja!"
Ada senyum di wajah anak laki-laki itu. Rasanya salah. Dengan semua darah di wajahnya—
Rasanya salah.
Air menetes. Jatuh. Meninggalkan bekas di jaket hitam Junpei. Pipi Reina terasa basah.
Kapan dia menangis?
"Junpei—kau tidak boleh—kau masih harus mengajakku dan Itadori ke bioskop ingat?" Kata-kata Reina tercekik. "Kau—kau janji."
Mata hitam Junpei yang terlihat berkilat sedih.
"Ma—maaf."
Lalu—
Diam.
Tangan Junpei jatuh lemas di samping tubuhnya.
Netra hitam menjadi kosong.
Hening merambat.
Napas Reina tersendat. Tubuh terpaku. Otaknya berpacu.
Netra hitam membulat.
Tidak.
Tidaktidaktidak—
<Reina—>
Kenapa?
Kenapa seperti ini?
Kenapa?
Kenapa?
KENAPA?!
<REINA?!>
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Reina menjerit.
***
.
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
I am not medical expert sooo—
Ey whaddup everyone. Malam ini double update chapter 17 dan 18. Harusnya satu chap tapi karena kepanjangan akhirnya kupisah. Hope you enjoy.
Tinggal satu chapter lagi dan Act 2 selesai. Lalu kita lanjut.
Uh? Nasib Junpei? See next chapter.
Hope you enjoy. Menjeritlah padaku di kolom komentar lmao.
Thank you for reading! :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com