Chapter 20
Group Chat
Keluarga Sejahtera
Ibu
Ya ampun rei, kemarin ibu panik karena kamu tidak angkat telepon
Ibu
Ternyata masuk UKS
Ibu
Tapi betulan tidak apa-apa?
You
Tidak apa-apa kok semuanya baik
Ayah
Kenapa bisa sampai pingsan? Kecapekan? Kalau lelah tugas sekolah istirahat lah
You
Hehehe iya
You
Tugas sekolah
Ayah
Kamu disana hati-hati rei
Ibu
Iya. Kalau ada apa-apa bilang ke kami atau kakek ya?
You
Iya, janji
You
Aku harus pergi sekarang. Acaranya mau mulai
Ibu
Oke. Semangat rei!
Ayah
Selamat bersenang-senang
***
Group Chat
JUARA Olimpiade Sains BOIIII
You
Oke, sejak kapan nama grup ini diganti??
Intan
Kak Reiiiiiiiii
Intan
Kangen :(
You
Tan, aku bilang apa. Aku pindah sekolah. Bukan mati
Intan
Tapi kemarin aku chat nggak dibales ( ToT)
You
Ah itu
You
Aku sakit
Rizal
Hee?? Sakit apa???
You
Begitulah
You
Sudah baikan sekarang
Andre
Yo... itu sama sekali nggak jawab...
You
Tapi bukannya itu fakta yang paling penting :)
Andre
':)'-mu itu pasif agresif banget
You
Guilty as charge
You
Aku ada acara sekolah hari ini. Ttyl
***
Private Message
You >> Rizal
Rizal
Reina
Rizal
Kamu nggak "sakit" karena masalah perdukunan kan?
Rizal
Rei? Halo?
[Read just now]
***
Sayup-sayup, telinga Reina menangkap suara familiar Gojo ketika melangkah menuju ke salah satu ruang tunggu di SMK Jujutsu. Kemarin, dia bertemu Itadori di sana. Sekarang dia ingin mengajak anak itu pergi menemui yang lain.
Dia sudah tidak sabar melihat ekspresi Fushiguro dan Kugisaki jika tahu kawan mereka masih hidup.
Sembari terkikik kecil, tangan sang gadis buru-buru mendorong pintu agar terbuka. Sayang, Itadori tidak ada di sana.
Namun, tampak Nanami dan Gojo sedang duduk dan berbincang. Walaupun Nanami sama sekali tidak menatap Gojo. Lebih fokus kepada koran di tangan.
"Uh, permisi?" ucap Reina sembari melangkah masuk. Kedua pria itu langsung menoleh. Senyum yang berambut putih mengembang.
"Reina-chan~!"
Nanami mendengus. Kemudian berucap dengan nada datar. Sedatar ekspresinya.
"Selamat pagi, Reina."
"Selamat pagi, Nanami-san, Gojo-sensei," balasnya sopan. "Apa Itadori ada?"
"Dia belum datang," jawab Nanami. Pria itu melipat koran dan menaruhnya di meja. "Bagaimana keadaanmu?"
"Ehm, baik...?" ujar sang gadis canggung. "Lebih baik dari kemarin setidaknya."
Nanami mengangguk. Membenarkan letak kacamatanya. Gojo langsung ikut angkat bicara.
"Aku dengar dari Ismawan-san, sekarang kau Pewaris Kamiya?"
"E-eh? Ya, sepertinya." Reina menggaruk kepala dan meringis. "Jujur... aku masih belum begitu paham apa peranku. Ditambah lagi, aku warga negara Indonesia."
"Kupikir itu bukan masalah," celetuk Gojo. Sang guru memberikan cengiran lebar selagi melipat tangan di belakang kepalanya sendiri. "Jika ada yang protes, Ismawan-san pasti akan—ehem, mengurus mereka."
Reina mendengus. Namun senyum kecil tergurat di bibirnya.
"Yep, itu terdengar seperti Kakek Buyut."
"Dan tidak semua Penyihir 100% asli Jepang, kok!" tambah Gojo lagi. Dia memberi gestur ke pria yang duduk di sampingnya. "Nanami contohnya!"
"Eh?" Reina mengalihkan pandangan ke Nanami. Pria itu mengangguk.
"Kakekku Danish."
"Ah, itu... menjelaskan rambutnya."
Gojo spontan tertawa. Reina hanya meringis dan menggumamkan maaf kecil ketika sadar apa yang baru dia katakan. Nanami menggelengkan kepala. Namun—
Mungkin Reina hanya berhalusinasi.
Tetapi dia melihat sekilas lekuk kecil di bibir Nanami. Sebelum senyum itu hilang. Kempali kepada ekspresi datar yang menjadi wajah default pria berambut pirang itu.
Belum sempat dia kembali angkat bicara, pintu ruangan terdorong terbuka.
"Gojo-sensei! Selamat pagi!"
Itadori menerobos masuk. Senyumnya lebar. Matanya tampak berbinar-binar.
"Oh! Reina dan Nanamin juga! Selamat pagi!"
Si gadis hampir tersedak liurnya sendiri ketika mendengar 'Nanamin'. Sementara, lelaki yang dipanggil begitu hanya menghembuskan napas berat.
"Pagi, Itadori-kun," sapa Reina. Terkikik kecil. "Sudah siap bertemu yang lain?"
Anak laki-laki itu mengangguk antusias. Reina tertawa. Sudah jelas, Itadori pasti rindu dengan Kugisaki dan Fushiguro. Dia banyak menanyakan kabar mereka pada Reina.
Dua anak yang disebut juga merindukannya. Walaupun mereka tidak pernah mengucapkan itu keras-keras. Memilih untuk fokus ke pertandingan persaudaraan ini.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" ucap Reina. "Ayo kita segera—"
"Tunggu dulu!" Gojo menyela. Dia menatap Itadori dengan wajah merenung. "Yuuji-kun, jangan bilang kau akan muncul begitu saja?"
"Eh, apa—? Tidak boleh?!"
"'Rekan yang mati tiba-tiba hidup kembali' bukan skenario yang wajar. Bahkan untuk pekerjaan ini."
Sudut bibir Gojo terangkat. Seringai tipis muncul di wajah.
"Jadi, kita harus buat... sebuah kejutan!"
Bulu kuduk Reina berdiri.
<I've got a bad feeling about this.>
<Yep.>
Jawaban Resi lebih terdengar seperti menahan geli daripada khawatir. Sang gadis mendengus.
Sementara itu, Itadori masih melongo dengan muka polosnya.
"Kejutan..."
"Yup! Serahkan saja padaku!" ucap Gojo percaya diri. "Anak kelas satu akan menangis sambil tertawa. Anak kelas dua dan dari Kyoto juga akan menangis. Bahkan ada yang akan sampai tercekik dan muntah. Pada akhirnya, masalah pemanasan global akan terselesaikan!"
Reina bisa membayangkan keringat imajiner muncul di dahinya.
<Ini tidak akan berakhir baik, kan?>
<Rei, jangan jinx situasi ini.>
Gadis itu melirik ke Itadori. Dan dia—
"Boleh juga!" ucap si rambut pink sembari mengacungkan jempol.
Reina merasa harus menepuk kepala.
Sang gadis memutuskan untuk memberi pendapat. "Ehem, anu—Itadori-kun, aku tidak yakin—"
"Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan? Sensei, apa yang harus kulakukan?!"
"Kamu tidak perlu melakukan apapun. Cukup ikuti kata-kataku. Berbaurlah saja dengan suasana."
"Ayolah, apa yang harus kulakukan, sih?"
Selagi kedua orang itu menggoyangkan tangan—meniru cumi-cumi? Entahlah—Reina hanya menggelengkan kepala.
"Teserah kalian, deh," gumamnya. Memutuskan untuk angkat tangan dari masalah ini. Sebelum dia melirik ke Nanami. "Uh, sebaiknya aku pergi sekarang."
"Ya." Nanami setuju. "Semoga beruntung, Reina."
Setelah gadis itu berlari keluar ruangan, si pria rambut pirang kembali melihat duo guru-murid yang masih melakukan gerakan aneh mereka.
Tetapi, hatinya agak sedikit ringan. Itadori tampak lebih ceria daripada kemarin. Dia tidak menerima berita tentang jari Sukuna—yang sekarang sudah ada di tangan Para Petinggi—dengan baik. Terlebih soal kematian Yoshino Nagi karena benda itu.
Dia ingat mata Yuuji yang seakan menyala ketika menghadapi Mahito. Dan wajah fokusnya yang bahkan cukup membuat Nanami merinding.
Anak itu pasti menyalahkan dirinya sendiri.
Semoga acara ini bisa mengalihkan perhatiannya.
Untuk kedua kalinya pagi ini, mau tidak mau, seulas senyum menyusup masuk ke bibir Nanami. Mata mengerling dari balik lensa. Melihat Itadori yang bersemangat untuk menyiapkan 'kejutan' bersama Gojo.
Dia tampak sesuai dengan umurnya.
Dia tampak seperti remaja.
Nanami kembali menarik koran. Membuka-buka lembar berisi berita baru pagi ini. Suara Gojo dan Itadori teredam di telinganya.
Padahal fakta dia masih hidup juga termasuk kejutan.
***
Reina sampai di tempat yang lain berkumpul. Tampak Fushiguro, Maki, Panda, dan Inumaki sudah ada di sana.
"Selamat pagi semua," sapanya ketika sudah cukup dekat. Kepalanya celingukan. "Lho, Kugisaki-chan dimana?"
"Dia belum datang," kata Maki. Gadis atletis itu berkacak pinggang. Ada senyum di wajahnya.
"Ngomong-ngomong, selamat, ya."
"Eh?"
"Kau sekarang Pewaris Kamiya, kan?"
Ah.
"Uh, yeah. Aku... tidak tahu kenapa semua orang membesar-besarkan hal itu," kata Reina sembari menunduk. "Lagipula, Penyihir di keluarga ini tinggal dua. Itu tidak seperti aku punya saingan atau semacamnya."
"Kau benar," kata Panda. "Tetapi Klan kalian itu terkenal, ceritanya juga jadi dramatis. Bayangkan! Klan kuat yang dikira sudah mati hidup kembali!"
Fushiguro berdehum. Dia melirik ke Reina. "Dan kau sudah berhasil menggunakan Pemurnian, kan?"
Sang gadis meringis. "Yep! Ketika sudah tahu dasarnya, pengembangan tinggal mengikuti."
Seusai kalimat itu keluar dari mulut Reina, suara roda yang tergeret di atas paving semakin keras. Kelima murid itu menoleh. Dihadapkan pada Kugisaki yang membawa koper dan tas. Menatap balik dengan bingung.
"Kenapa kalian tidak bawa apa-apa?!"
"Kamu sendiri kenapa bawa barang sebanyak itu?" Panda bertanya balik.
"Kenapa? Sekarang kira mau pergi ke Kyoto, kan? Untuk Pertandingan Persahabatan?"
"Acara persahabatan dengan Sekolah Kyoto kali ini diadakan di Tokyo."
"Ehh?? Ini bohong, kan?!"
Kugisaki mulai menjerit tidak karuan. Yang lain hanya memperhatikan dengan datar.
"Pantas saja belakangan ini obrolan kita tidak nyambung," kata Maki sembari berkacak pinggang.
"Shake."
"Acaranya digelar di sekolah pemenang tahun lalu."
"Jangan malah menang dong, dasar bodoh!" jerit Kugisaki sembari menarik leher Panda. Mengguncang kakak kelas mereka itu.
"Tahun kemari kami tidak ikutan, tahu," jelas Panda. "Yuuta ikut hanya untuk menyamakan jumlah peserta."
Maki menegak. "Kalau tidak salah sebelum pembebasan Rika, kan? Kudengar kita menang telak."
<Kau tahu soal semua ini?>
Suara Resi bergema di pikirannya. Reina mengangguk.
<Fushiguro.>
<Ah.>
"Aku tidak akan memaafkanmu Okkotsu Yuuta!" Kugisaki berteriak dengan gulungan majalah sebagai megaphone. "Meskipun aku belum pernah bertemu denganmu!"
"Dendam salah alamat, ya?" celetuk Panda.
"Shake."
Reina tertawa kecil. Tidak ada hari yang tenang jika menyangkut teman dan kakak kelasnya di sini. Itu bukan hal yang buruk. Malah kadang mengingatkan sang gadis pada Tim Olimpiadenya yang juga bisa sangat ribut.
Di sela teriakan Kugisaki, terdengar suara langkah kaki. Banyak. Berjalan semakin dekat. Maki menoleh. Kemudian melirik ke siswa SMK Jujutsu Tokyo yang lain.
"Oi." Suaranya serius. "Mereka sudah tiba."
"Wah, teman-teman dari Tokyo berkumpul."
Nada suara kelewat manis itu melelh dari mulut wanita berambut hitam pendek. Perawakannya mirip Maki. Namun lebih landai.
Satu persatu anak SMK Jujutsu Kyoto naik dari tangga. Seorang gadis berambut biru dan gadis berkucir dua yang memegang sapu. Ada pria tinggi kekar dengan bekas luka di wajah. Juga ada pria dengan seragam yang dimodel seperti shozoku. Dan—
Robot?
<Yah, kita punya Panda.>
Yep. Sebaiknya Reina tidak terlalu banyak mempertanyakan soal itu.
"Kalian jauh-jauh ke sini buat menjemput kami ya?" kata si wanita yang pertama kali bicara tadi. Memainkan surai pendek rambutnya.
"Menjijikkan."
Komentar itu membuat Maki mendesah.
"Okkotsu tidak ada di sini?" tanya yang bertubuh besar. Tangan menggaruk kepala.
Nobara mendengus. "Berisik. Cepat serahkan kotak kuenya, sialan! Dan juga yatsuhashi, mie kudzu, dan kue gandumnya!"
Gila, Kugisaki memang punya mental baja, batin Reina.
"Shake."
"Kalian lapar, ya?" komentar Panda.
Gadis berambut pirang memegang sapunya lebih kuat. "Siapa anak kelas satu itu? Seram..."
"Aku tidak keberatan Okkotsu tidak ikut." Si robot angkat bicara. Mulutnya terbuka. Ada sebuah sistem speaker di sana."Tetapi, memakai tiga anak kelas satu bukankah agak merepotkan?"
Bohong kalau Reina berkata dia tidak tersinggung. Tetapi dia menahan diri. Emosi yang lepas sebelum pertarungan pasti tidak akan berakhir baik.
Mata Kugisaki melebar.
"Ada robot!"
Yah, berarti bukan Reina saja yang menganggap itu aneh.
"Bagi Penyihir Jujutsu, umur itu hanyalah angka." Laki-laki Shozoku angkat bicara. Dia menolehkan kepalanya ke arah Reina.
"Buktinya, Pewaris Kamiya yang ternyata masih hidup," ucapnya.
"Dan Pewaris baru yang mengambil gelar serta Teknik Pemurnian."
Reina berjengit. Panda benar. Beritanya panas. Dia sendiri tidak menyangka menyebarnya akan secepat ini.
"Jangan bilang hanya itu yang akan semua orang katakan padaku mulai sekarang," desis sang gadis.
Laki-laki Shozoku tidak menangkap bisikan itu. Malah beralih fokus untuk melihat Fushiguro. Atau-hanya menoleh. Sulit mengatakan dengan mata sang pria yang tertutup.
"Juga Fushiguro," katanya. "Dia berasal dari garis keturunan Zen'in, tapi dia lebih berbakat dari kepala keluarganya."
Wanita rambut pendek berdecih. Laki-laki tadi memiringkan kepala.
"Ada apa?"
"Tidak ada."
Reina menoleh ke Fushiguro yang tidak mengatakan apapun. Ekspresi gadis itu terlihat bingung. Namun, kawannya tidak bergeming.
Zen'in? Sama seperti Maki-senpai. Dan perempuan yang rambut pendek juga—
"Sudah, sudah."
Suara tinggi lembut menjatuhkan Reina keluar dari lamunan. Anak perempuan yang berambut biru berusaha melerai dua temannya.
"Kalian berdua, tenanglah," ucapnya dengan suara yang agak bergetar. Ada peluh di wajahnya.
Prok.
Prok.
Suara tepukan tangan merambat bersamaan dengan langkah kaki. Wanita berpakaian seperti miko berjalan menaiki tangga. Ada pita putih di rambutnya yang panjang. Juga bekas luka yang melintang dari hidung ke pipi.
"Baiklah. Sesama murid tidak boleh bertengkar. Yaampun, kalian ini."
Dia melirik murid-murid SMA Tokyo.
"Jadi, di mana si bodoh itu?"
"Satoru terlambat," jawab Panda.
"Mustahil si bodoh itu tepat waktu." Sang miko mendengus.
Fushiguro masih menatap datar. "Tidak ada orang yang menyebut Gojo-sensei bodoh, lo."
Dan ngomong-ngomong soal Gojo-sensei—
Mata Reina menangkap guru mereka itu dari kejauhan. Tampak sedang mendorong troli dengan kotak besar. Mata Reina menyipit. Bukankah Gojo harusnya membawa Itadori—?
Ah.
Pandangan sang gadis beralih menatap horor kotak yang didorong Gojo.
Jangan bilang—
"Maaf lama~!" ucap guru berambut putih itu dengan nada ceria seperti biasa.
Dia menghentikan troli dekat dengan Reina, Kugisaki, dan Fushiguro. Cengiran lebar ada di wajah.
"Hei, hei, kalian semua sudah berkumpul, ya! Aku habis ada urusan di luar negeri, sih! Jadi, sekarang aku berencana memberikan kalian oleh-oleh!"
"Tiba-tiba sekali."
"Pasti bangun kesiangan, kan?"
Reina meringis dalam hati mendengar komentar Panda dan Kugisaki itu. Sang gadis berambut hitam bisa menebak apa yang sebenarnya Gojo lakukan. Dia hanya bisa memandang kotak dengan was-was.
Gojo kemudian memberikan masing-masing anggota SMK Kyoto boneka berwarna merah jambu. Mengatakan itu jimat.
"Untuk Utahime tidak ada, ya."
"Tidak butuh, tahu!"
Sang guru lalu beralih ke kotaknya. Sempat memberikan Reina senyum yang membuat si gadis semakin khawatir.
"Lalu, ini buat teman-teman di Tokyo!"
Dia memberi gestur ke kotak dengan berpose mengangkat satu kaki. Semua murid sepertinya sudah kebal dengan keabnormalan guru mereka. Hanya menatap netral dan tidak tertarik.
"Orang dewasa yang kelewat semangat itu bikin jijik, ya," ujar Kugisaki.
BRAK.
Kotak terbuka.
"Hai! OPP!"
Benar.
Seperti dugaan Reina.
Kotak itu berisi Itadori Yuuji.
"Ini teman kalian yang sudah meninggal, Itadori Yuuji!"
Wajah Kugisaki dan Fushiguro langsung jatuh.
Memucat.
Itadori—menyadari tidak ada yang tampak senang—akhirnya juga ikut syok.
Tidak lama, Yaga datang bersama seorang kakek tua. Wajahnya terkejut. Gojo langsung meninggalkan Itadori untuk bicara dengan kakek itu. Walaupun 'bicara' yang dimaksud lebig terdengar seperti mengejek.
BRUK!
Kugisaki menendang kotak legam tempat Itadori bersemayam.
"Hei."
"Ah, iya?"
"Harusnya kau mengatakan sesuatu, kan?"
Fushiguro, Reina, dan Itadori sama-sama kaget melihat air yang mulai menggenang di sudut mata Kugisaki. Namun, tidak ada yang menyinggung itu.
Mata Itadori juga ikut berair.
"Maaf tidak bilang kalau aku masih hidup."
Reina hanya bisa menggelengkan kepala. Namun merasa lega akhirnya semua temannya bisa berkumpul kembali.
Setidaknya di masa depan, mereka belajar untuk tidak mendengar 'ide' Gojo Satoru.
***
.
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
Me : /lirik rencana yang kubuat untuk fic ini/
Me : kalau kalian pikir Junpei hidup adalah canon-divergence terbesar di fic ini... kalian akan terkejut.
Aku /kadang/ suka membaca angst, tetapi kurang suka menulis fanfic yang sedih-sedih. Canon sudah ada untuk itu. Lagipula ini self-indulgence. Aku hanya mau bersenang-senang. Imajinasiku hidup di AU dimana semuanya baik-baik saja lmao
But yeah, I am back!
Semoga kalian suka pembukaan Act 3 ini!
Thank u for reading!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com