Chapter 33
!!!HARAP DIBACA!!!
Chapter ini tidak akurat secara historis. Tempat, peristiwa, dan orang yang disebut hanya fiksi yang dibuat untuk fanfiction ini.
*
*
*
*
Resi's Interlude
Part 3
*
*
*
*
1916
Itu sudah masuk musim hujan.
Awan hitam mulai menggulung di langit tiap hari. Menutupi sinar surya sehingga mencegah jemuran kering. Udara hampir selalu dingin. Atau setidaknya lebih dingin dari yang orang duga ketika keluar rumah. Walau begitu, tidak ada salju. Jadi masih tak separah musim dingin di Nihon sana.
'Ren' cukup menikmatinya. Dia dengan santai menyaksikan dari dalam toko bagaimana kebiasaan orang-orang berubah menyesuaikan cuaca. Sekali-kali mendengar keluhan pembeli tentang angin, air, dan hawa dingin secara general.
Dia mengamati petani-petani yang lewat untuk ke sawah setiap pagi. Musim tanam sudah dimulai. Mereka bercakap tentang padi, kebun, dan permintaan istri di rumah. Ada juga anak-anak yang menari dan bergurau ketika hujan turun. Saling mencipratkan air dari genangan dan tertawa ceria.
Hari-hari damai.
Setidaknya dalam lingkup itu.
'Ren' masih bisa merasakan gejolak kekuatan di bawah kulitnya. Perang memang tak pernah usai. Konflik akan ada terus sepanjang adanya manusia. Dan ketakutan akan hal tersebut akan selalu membuat 'Ren' tetap 'hidup'.
Namun, untuk sekarang, dia cukup senang.
Rasanya agak aneh. Dia kutukan. Dia bahkan tidak tahu apakah merasakan senang adalah hal yang wajar.
Tetapi, 'Ren' terbiasa menjadi aneh, satu ketidaklaziman lain tidak akan menganggunya.
"Hatchu!!"
'Ren' tersentak. Tidak sadar dirinya melamun.
Di depannya, seorang gadis kecil berdiri. Umurnya jelas di bawah sepuluh tahun. Mungkin enam atau tujuh. Dia menggosok hidung. Rambut pendek dan seluruh tubuhnya basah kuyup. Sementara, dua mata hitam menatap polos. Penuh dengan kecurigaan—
Bukan.
Keingintahuan.
"Matamu aneh."
Celetuk itu membuat 'Ren' terhenyak.
Sejak tinggal di desa itu, tentu banyak orang berkomentar soal matanya. Beberapa bahkan memutuskan menjauhinya karena itu. Sebagian besar yang lain tak begitu acuh. 'Ren' tidak pernah mengganggu dan memberi mereka harga murah di tokonya, jadi penampilan bukan hal yang mereka nilai. Walau begitu, masih banyak orang mencuri pandang ke arah wajahnya. Mengamatinya seperti makhluk asing.
Berbeda dengan gadis satu ini.
Yang ada di pandangannya adalah penasaran murni. Bukan jijik, maupun menghakimi.
Dan kalimat tadi singgah pada benak 'Ren' seperti hantaman palu. Absurd serta terlalu tiba-tiba. Namun, menggelitik.
Tanpa sadar, suara keluar dari bibirnya.
Tawa.
'Ren' tertawa.
Dia menangkup mulut dengan tangan. Mata terbelalak. Tidak pernah menyangka bisa bereaksi seperti itu.
"Apa anda baik-baik saja?"
"Hmm?" 'Ren' berdehum. Dia tersenyum. Tersenyum. Dia bahkan tidak tahu wajahnya bisa memaparkan emosi itu. Sementara, si Gadis Kecil masih memandangnya. Kini alis menukik turun.
Anak itu khawatir.
Sungguh lucu.
"Apa kau sakit?" Dia bertanya lagi. Berbeda dengan orang lain yang menanyakan itu. Nadanya tidak jijik atau menelisik, malah cemas. Kali ini, 'Ren' menggeleng sebagai jawaban.
"Saya cukup baik sekarang. Dan mata ini bukan sesuatu yang menular."
"Oh." Gadis itu mengangguk. "Kau bukan orang sini, ya?"
"Saya pendatang."
"Oh," ucapnya lagi. Pandangan lalu terlempar pada rinai hujan yang makin deras.
"Hujannya lebat, boleh aku berteduh?"
"...Tentu saja."
Beberapa menit, tidak ada yang bicara. 'Ren' sibuk merapikan tumpukan sayur. Sementara si Gadis mengamati sekitarnya lekat-lekat. Mata mengikuti gerak-gerik yang ada dengan teliti. Mulai dari tangan Ren, air hujan, dan kilatan petir. Seperti melahap satu-persatu informasi yang bisa dicapai.
Tidak lama, hujan pun reda. Sang Gadis tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sebelum 'Ren' sempat membalas, dia sudah menghilang di ujung jalan.
***
Keesokan harinya, Sang Gadis datang lagi.
Skenarionya mirip. Sore hari. Langit mendung. Hujan turun. 'Ren' melamun. Kemudian terdengar suara langkah kaki tak beralas. Bergema di tanah yang becek.
Mata hitam kembali menatap mata 'Ren' yang merah dan aneh.
"Boleh aku berteduh?"
'Ren' mengangguk. Membiarkan sang gadis memeras air dari rambutnya. Dia melangkah kebelakang. Sebelum kembali membawa nampan berisi secangkir teh.
"Ini, untukmu."
Gadis Kecil melirik pemberian itu dengan hati-hati. Menerimanya, walau terlihat ragu.
"Aku tidak ada uang."
"Kau tidak perlu membayar. Itu gratis."
Lawan bicaranya mengerjap. Kemudian tersenyum sumringah.
"Terima kasih!"
Dan sesuatu di dada 'Ren' menghangat.
Bukan, bukan hati. Kutukan seharusnya tidak punya itu. Tapi—
Mungkin sesuatu yang mirip.
Setelah itu, diam mendominasi. Hanya diisi sentakan hujan yang merujam tanah. Si Gadis duduk di bangku kayu kecil. Tepat disamping tumpukan beras. Kaki pendek berayun ke depan dan ke belakang.
"Kamu tinggal sendirian?" tanyanya.
"Iya," jawab 'Ren'. "Bagaimana denganmu? Dimana rumahmu? Orang tuamu?"
Sang gadis diam. Kepala menunduk. Kaki yang tadi terus bergerak kini juga menggantung tenang.
"Mereka sudah tidak ada."
Bisikan itu lirih. Terlampau lirih. Jika saja 'Ren' bukan kutukan dengan pendengaran super tajam, dia pasti melewatkannya.
Kemudian, terdengar suara lain.
Lebih keras.
Isakan.
Sang Gadis menangis.
'Ren' terperangah. Dan mungkin itu lucu untuk kutukan yang selama beratus tahun bahkan jarang sekali berekspresi. Tidak pernah dia dihadapkan dengan keadaan seperti ini.
Perasaan seperti ini.
Apa ini?!
Pikiran 'Resi' campur aduk.
Rasa apa ini? Dadaku sangat berat. Apa ini yang disebut 'bersalah'?
'Ren' sangat ingin menghentikan tangis sang gadis. Tetapi tidak yakin apa harus apa. Dia tidak mau menyakiti atau melukainya. Entah kenapa, dia lebih memilih mati daripada melakukan itu.
Ah, aku pernah melihat Chris begini. Ini disebut...panik?
Dan sepintas wajah Christoffel terlintas dalam bayangnya.
'Ren' menjentikkan jari. Teringat sesuatu.
Dia membuka salah satu laci di toko. Menarik keluar sebuah kotak kaleng dengan hiasan gambar pemandangan dan tulisan berbahasa Belanda. Ketika tutup dibuka. Tampak permen dengan bungkus transparan. Seperti permata yang berwarna-warni.
'Ini asli dari kotaku di sana.'
Suara Chris waktu memberikan manisan itu pada waktu lalu terngiang di telinga.
'Kamu sepertinya bukan orang yang suka makan makanan manis. Atau makan secara general. Tapi, semoga kau suka, kamerad!'
'Ren' meringis. Setidaknya sekarang permen ini tidak terbuang percuma.
Dia melangkah mendekati si Gadis. Berlutut di depannya. Meniru perilaku para Ibu yang biasa dia lihat ketika menenangkan anak mereka. Diulurkannya tangan. Menyodorkan permen berwarna merah.
"Hei, maafkan aku."
Kalimat itu terasa sangat asing di atas lidahnya. Dia terbiasa dengan netralitas. Bahkan ketidakpedulian. Bukan empati maupun simpati.
"Aku tidak bermaksud membuatmu sedih." Dia melanjutkan. Walau masih aneh, kali ini kalimat itu meluncur lebih mudah. "Ini, sebagai permintaan maaf."
Masih sesegukan, anak perempuan itu mengusap air matanya. Lalu meraih permen dengan hati-hati. Bahkan lebih lambat dari saat dia menerima teh. Setelah berkutat dengan bungkus dan gagal membukanya. Dengan malu, dia mengulurkan kembali permen itu pada 'Ren'.
Si kutukan tersenyum. Tangan cekatan membukakan bungkus.
Sang Gadis kembali menerimanya. Dengan lebih riang kali ini. Air mata berhenti. Meninggalkan jejak gelap di pipi yang membuat 'Ren' lega.
"Terima kasih!"
Mendengar ucapan itu—
Sesuatu-yang-mirip-hati di dada 'Ren' terasa hangat.
***
Keesokan harinya tidak hujan. Namun, Sang Gadis tetap datang.
"Apa Bapak butuh bantuan?"
Ketika dia mengucapkan itu, matanya menatap lekat-lekat pada sapu yang dibawa 'Ren'.
Sang kutukan berdehum. Strategisnya, tentu dia bisa melakukan itu dengan lebih cepat dan efisien. Namun, entah mengapa, dia tetap mengulurkan sapu tersebut. Sang Gadis menerimanya dengan senang.
"Aku janji akan menyapu sampai bersih!"
'Ren' tersenyum. Sejak beberapa hari ini, kuota ekspresinya seperti meningkat. Dan dia yakin si Gadis akan menepati janji kecil itu.
"Ya sudah, aku ke cek stok di belakang dulu."
Selagi melangkah. Suara gumaman sang Gadis terdengar.
"Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir. Tan ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar...."
***
Keesokan harinya, si Gadis datang lagi. 'Ren' sudah menyiapkan nasi dan tempe goreng. Dia pikir ada baiknya anak sekecil itu mengisi perut dulu sebelum membantu. 'Ren' sendiri tidak perlu makan, jadi kemampuan memasaknya sangat ala kadar.
Namun, mata anak kecil itu bersinar cerah. Dia mengucapkan terima kasih, dan makan dengan lahap.
Setelah itu, 'Ren' terbayang ibu-ibu dan pembantu para Noni yang sering belanja di tokonya. Pasti satu diantara mereka bisa dan mau mengajarinya memasak.
***
Sang Gadis datang lagi. Kali ini, Ren menyuruhnya membersihkan pajangan-pajangan toko yang berdebu. Dengan sigap, anak itu melakukannya. Sembari menggumamkan nada-nada yang asing di telinga 'Ren'. Mau tidak mau, dia bertanya.
"Lagu apa itu?"
Sang Gadis tersentak terkejut. Lalu tersenyum lebar.
"Iya, Bapak pendatang, kan? Tidak tahu lagu itu?"
'Ren' menggeleng. Disambut senyum lebar lawan bicaranya.
"Bapak mau kuajari?"
'Ren' merasakan dirinya mengangguk. Tidak yakin kenapa. Namun, dia merasa puas ketika si Gadis mengajarinya dengan antusias. Memintanya menirukan nada dan lirik yang belum pernah dia katakan sebelumnya.
Ketika sore datang, dan sang Gadis sudah pergi entah kemana. 'Ren' menemukan dirinya menutup toko sembari menggumamkan melodi Lir-ilir.
***
Keesokan harinya, ada yang berbeda. Sang gadis tetap datang. Namun, jalannya bergetar dan tertatih-tatih. Matanya berair. Bibir gemetar menahan sakit.
Melihat itu, 'Ren' langsung bangkit dan menghampiri. Perasaan berat yang sama jatuh di pundaknya. Panik dan cemas. Rasanya masih janggal untuk sang Kutukan. Tapi pada poin ini, dia belajar untuk menerimanya.
"Aku tidak apa, kok!" Sang Gadis meyakinkan. "Tadi aku cuma tersandung!"
'Ren' melirik ke kaki sang anak. Dengkulnya berdarah. Aneh sekali. Untuk Kutukan yang dapat melihat pembunuhan tanpa berkedip, dia jelas menaruh perhatian lebih pada luka kecil anak ini.
Dia menggendong sang gadis dan membawanya ke taman belakang. Ada serumpun tapak dara di sana. Ren memetik beberapa daunnya dan melumatnya dengan campuran kunyit.
Sang gadis meringis ketika 'Ren' mengoles obat herbal itu ke lukanya. Rasanya memang agak perih.
"Maaf," ucap si Kutukan cepat. Si Gadis tersenyum. Hanya mengangguk.
'Ren' tidak tahu apakah ada kutukan lain yang meminta maaf ketika menyakiti manusia. Lagi, pada poin ini, dia berhenti mempertanyakan hal seperti itu pada dirinya sendiri.
***
"Sehabis ini, kau pulang kemana?"
Sang Gadis mengendikkan bahu.
"Aku ada kamar kosong. Kau bisa pakai jika mau."
Sang Gadis diam.
Sang Gadis mengangguk.
***
"Oh benar juga. Aku belum tanya. Nama Bapak siapa?"
Mereka sedang ada di belakang toko ketika ucapan Sang Gadis terlontar. Si Kutukan sedang menunjukkan tempat dia menyimpan barang jualan serta cara mengorganisirnya.
Dan sejenak, pertanyaan itu menggantung. Termarinasi dalam udara di sekitar mereka.
'Ren' bisa menjawab dengan 'Ren'. Secara teknis, nama itu yang dia pakai cukup lama sampai saat ini.
Namun, nama itu tidak pernah terasa benar. Layaknya label tanpa arti yang bisa dia lepas kapan saja. Seperti baju yang kasar. Ya, dia memakainya, namun tidak pernah benar-benar nyaman membalut tubuh. Sama sekali tidak cocok. Hanya nama yang dia ambil dari mulut orang mabuk tanpa berpikir panjang.
Itu bukan namanya.
"Aku tidak punya."
"Tidak punya nama?!" Sang gadis tampak terkejut. Mata hitam yang polos membelalak lebar.
"Mustahil! Aku yang tidak punya apa-apa saja masih punya nama!"
"Oh ya? Siapa memangnya?"
Sang Gadis tersenyum lebar. 'Ren' baru sadar bahwa dia kehilangan satu gigi taring. Membuat cengirannya semakin lucu.
"Namaku Mustika!" ucapnya antusias. "Seperti permata! Kau tahu?"
'Ren' mengangguk sembari tersenyum. Sebelum kembali menunjukkan si Gadis—Mustika—lemari berisi rempah-rempah kering. Mengajarinya yang mana lada dan yang mana ketumbar.
Mustika mengamati dengan cermat seperti biasa. Pandangannya sangat awas terhadap detail. Namun, kali ini, atensinya seperti terbagi.
"Bagaimana Bapak bisa tidak punya nama?"
'Ren' terdiam lagi. Dia mengangkat bahu.
"Mungkin karena tidak ada yang memberiku satu?"
Mulut Mustika terbuka tambah lebar. "Aneh! Orang tua Bapak tidak memberi Bapak nama?"
'Ren' termenung. Tangan memijit-mijit dagu. Mencoba mencari jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan itu.
"Aku tidak punya orang tua."
Secara teknis, itu tidak bohong. 'Ren' tidak 'lahir' dari pasangan ayah dan ibu.
Namun, sepertinya Mustika menafsirkan makna yang berbeda dari itu. Matanya menjadi sayu. Dia menunduk. Memainkan ujung bajunya robek. 'Ren' mengingatkan diri agar membelikan pakaian yang lebih layak untuk anak ini besok.
"Maaf." Bisikan Mustika menarik 'Ren' dari lamunan. "Aku tidak bermaksud mengingatkan Bapak soal itu..."
'Ren' memiringkan kepala. Heran kenapa yang lebih muda meminta maaf. Dia tidak yakin dengan apa maksud dari kalimat yang dikatakan anak tersebut—
Oh.
Oh.
Dia pikir orang tua 'Ren' sama dengan orang tuanya. Sudah tiada.
'Ren' menahan tawa sedikit.
Manusia itu kadang membuat kesimpulan dari informasi yang terlalu sedikit.
Dia berlutut di depan Mustika. Pandangan mereka kini mata ke mata. Lalu, tangannya mengacak rambut sang bocah yang sudah sangat berantakan.
"Tidak perlu minta maaf," ucapnya.
Kemudian, sebuah ide terbersit.
"Bagaimana kalau kau beri aku nama?"
Kini, giliran Mustika yang memiringkan kepala heran.
"Memang boleh?"
"Sepertinya tidak ada peraturan yang bilang tidak boleh."
Kening anak itu mengernyit. Dia melipat tangan di dada. Wajahnya serius. Mulut maju beberapa senti dan membuat pipi yang tembam tampak makin bulat. Mau tidak mau, 'Ren' tertawa.
Ini pertama kalinya dia merasa sesuatu itu 'imut'. Sepertinya dia sekarang paham perasaan Chris ketika bertemu kucing di jalanan.
"Aku tahu!" Mustika memekik. Dia menangkupkan tangan ke pipi 'Ren'. Meremasnya sehingga wajah si kutukan tampak seperti ikan.
"Resi!"
"Resi?"
Mustika mengangguk. Senyumnya lebar. Tampak sangat puas dengan diri sendiri. "Itu nama untuk Bapak! Resi! Seperti orang suci!"
'Ren' tertawa lagi. Untuk turut merayakan kegembiraan Mustika dan juga menertawakan betapa ironisnya nama itu.
"Kenapa orang suci?"
"Yah! Orang sebaik Bapak pasti orang suci. Bapak tidak pernah mengambil banyak untung! Bahkan membantu saya tanpa tahu siapa saya! Bagaimana kalau saya ternyata orang jahat?"
Kini tawa 'Ren' lebih keras. Alasan yang diberikan sang gadis begitu polos dan manis. Dan dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya di kalimat terakhir. 'Ren' tahu 'orang jahat' dengan sangat intim. Medan perang memiliki banyak bajingan macam itu. Dan sejauh ini, sang gadis jauh sekali dari definisi tersebut. Bahkan mungkin, seratus persen kebalikannya.
"Ah! Bapak tidak perlu pakai kalau tidak suka! Itu saran saya saja..."
Mustika tampak malu. Dia menunduk.
"Aku hanya berpikir... anda itu orang baik."
'Ren' tersenyum simpul.
"Itu nama yang bagus. Aku dengan senang hati memakainya."
Itu nama miliknya.
Nama yang diberikan kepadanya.
Bukan yang dia ambil secara asal. Bukan yang dia curi dari orang lain. Bukan yang dia pakai hanya untuk dibuang dikemudian hari.
Dan bukan itu saja.
Dalam relung terdalam hati si Kutukan—yang dia pikir kosong, karena kutukan seharusnya tidak berjiwa—nama itu seperti menggaung. Menorehkan permanenitas layaknya ukiran batu.
Sebuah harapan.
Kalimat Mustika terngiang.
Aku hanya berpikir... anda itu orang baik.
'Ren'—Resi, sekarang Resi—bukan orang. Dia bukan manusia. Daging dan darahnya tidak sama dengan mereka yang mortal.
Tapi betapa dia mendamba.
Perasaan-perasaan yang dulu tak jelas kini makin konkret. Tentang kasih dan sayang yang membingungkan. Pada detik ini, dia merasa semua makin jelas.
Dan mungkin—
Mungkin.
Walau Resi tidak bisa menjadi manusia—
Dia bisa menjadi baik.
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
/Yeet this chapter at you and run/
Hai haii sudah lama sekali ya! Maaf sekali, author kehilangan niat nulis lama banget soalnya. Semoga kalian suka chapter ini. Vote dan komentarnya selalu di apresiasi!
Anyway, rencana author bakal bikin fanfic ini sampai Arc Shibuya, dan di sana akan ada canon-divergence besar-besaran so fair warning buat kalian yang lebih suka fic canon-compliant!
Okay, segitu dulu. Kalian bisa baca work author yang lain atau mampir ke insta author @ /rainotherland_ Kemungkinan aku bakal kasih update di sana. Aku juga post art dan OC content hehehe maaf jadi promosi.
Okay bye! See ya next time and as always...
Thank u for reading! :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com