Chapter 35
!!!HARAP DIBACA!!!
Chapter ini tidak akurat secara historis. Tempat, peristiwa, dan orang yang disebut hanya fiksi yang dibuat untuk fanfiction ini.
*
*
*
*
Resi's Interlude
Part 5
*
*
*
*
1929
Hari itu mendung. Ketika Mustika harus berlari-lari kecil ke toko Suhadi yang ada di pasar.
Ini pertama kalinya Mustika datang sendiri, setelah membujuk sang ayah untuk tak perlu ikut pergi. Jikalau dia perlu orang untuk mengangkat barang, dia bisa membayar kuli angkut disekitar sana.
Baru saja dia sampai, terdengar suara berdebuk keras.
Ada asap putih menguar dari toko. Seperti gumpalan debu.
"Pak Suhadi?!" panggil Mustika sembari buru-buru mendekat. Kabut putih tadi menghalau visi sang gadis, tetapi dia tetap meringsek maju. Sesekali mengibaskan tangan di depan muka.
"Kenapa itu, Pak? Bapak jatuh? Apa Pak Suhadi baik-baik saj—?"
Rupanya, yang jatuh bukan Pak Suhadi.
Lelaki yang tergeletak di tanah lebih muda dari si pemilik toko. Wajah meringis menahan sakit. Rambut hitam dan bajunya kotor penuh dengan bubuk putih.
Disampingnya, tampak kantong besar yang robek. Berisi tepung terigu.
"Ah!" pekik Mustika. "Kau tidak apa-apa?"
Sang lelaki bangkit dari posisi tidur ke posisi duduk. Tangan mengusap belakang kepala. Membuat tepung semakin berserakan.
"Aku tidak apa-apa, terima kasih."
Mustika mengulurkan tangan. Hendak membantu. Si laki-laki menyambutnya dan mengucapkan terima kasih.
Namun, lantai toko licin terkena tepung. Dan ternyata lelaki itu lebih berat dari yang Mustika duga.
Alih-alih mengangkat berdiri, sang gadis malah ikut jatuh.
Tepung bertebaran di udara. Baju dan wajah Mustika terhias coreng-moreng putih sekarang.
"Aduh! Maaf-maaf! Kamu tidak apa?"
Gadis itu mengangguk. Mulut batuk karena tepung. Setelah reda, dia baru bisa menatap wajah laki-laki yang memandang balik dengan khawatir. Mukanya putih tertutup tepung.
Mustika spontan tertawa.
"Kau terlihat seperti tuyul!"
Terkejut, laki-laki di depannya membulatkan mata. Dia terkekeh.
"Hei! Wajahmu juga putih! Kalau aku tuyul, kamu kuntilanak!"
Bukannya tersinggung, tawa mustika malah semakin keras. Baru ketika selesai, dia mengulurkan tangan.
"Namaku Mustika, kau?"
"Pratama."
"Mau kubantu bersih-bersih?"
"... Ya, tolong. Terima kasih."
***
Akhir-akhir ini, Mustika agak berbeda.
Dia tampak... terusik. Seperti ada sesuatu yang menggentayangi pikirannya. Si gadis jadi sering melamun. Seperti sekarang. Walau tangannya sibuk menyirami rumpun bunga tapak dara di halaman, matanya kosong. Pikirannya jelas tidak ada di sini.
Resi bingung. Dia tidak yakin apa yang terjadi. Jika diingat, akhir-akhir dia memang meminta Mustika untuk belanja pasokan tambahan secara rutin di pasar. Apakah itu membuatnya kelelahan? Tapi, Mustika tidak pernah protes atau terlihat keberatan. Dia malah terlihat bersemangat setiap kali harus pergi.
Jadi, apa yang berubah?
"Nduk?" panggil Resi. "Tanaman itu ingin disiram, atau mau kau tenggelamkan?"
Tersadar, Mustika melepaskan gayung ke dalam ember yang airnya kini tinggal setengah. Dia tertawa canggung. Tangan menggaruk tengkuk leher. Sifat baru ini membuat Resi menaikkan satu alis.
"Ada apa denganmu?" tanya Resi. Melipat koran berbahasa Belanda dari Chris yang barusan dia baca. "Akhir-akhir ini, sepertinya pikiranmu kemana-mana..."
"Ah! Itu..."
Mustika tampak ragu. Jari telunjuk di tangan kanan menggaruk pipi. Sementara tangan yang satu memainkan ujung kebayanya. Pandangan teralih ke samping. Melarikan diri dari tatapan sang ayah yang menyelidik.
"Jadi... uhm, di pasar... uh, Bapak tau kalau Pak Suhadi punya anak?"
Suhadi adalah pemilik toko langganan Resi. Tempat dia mencari barang yang tidak di stok oleh Chris. Toko yang akhir-akhir ini sering Mustika kunjungi.
"Dia punya?" Resi bertanya balik. "Istrinya sudah meninggal, kan?"
"Iya. Tapi mereka sudah punya anak laki-laki. Dia pergi ikut pamannya. Kakak dari istri Pak Suhadi. Putranya itu seumuranku."
Resi mengangguk-angguk. Dia menyesap teh yang sudah dingin sembari mendengar penjelasan tersebut. Memang, Resi tidak perlu minum, tetapi lama kelamaan dia bisa mengapresiasi rasa yang dikonsumsi manusia.
"Jadi... kutebak anaknya sudah kembali?" ucap Resi. Mata memicing. "Apa dia mengganggumu?"
"Ha? Tidak! Bukan begitu, Pak!"
Mustika tampak kelabakan. Tangan terkibas dan kepala menggeleng. Lalu ditundukkan. Jari-jemari saling dimainkan.
Resi menyesap tehnya lagi. Menunggu dengan sabar.
"Bapak..."
Bisikan Musti itu lirih. Jikalau Resi tidak punya pendengaran tajam, mungkin apapun yang dikatakan si gadis pasti sudah terbawa angin. Namun, sayangnya, dia bisa mendengar perkataan berikutnya dengan sangat jelas.
"Apa Bapak pernah jatuh cinta?"
Teh menyembur dari mulut sang Roh Kutukan.
***
Resi adalah kutukan yang lahir dari peperangan.
Dia berumur ribuan tahun. Dia telah melewati serta menyaksikan tragedi, horor, dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa banyaknya. Yang baik dan yang buruk. Dia melihat sisi paling mengerikan manusia dan juga sisi baik yang menumbuhkan beribu harapan. Dia memiliki banyak nama, bersua di banyak tempat, dan sudah belajar dari berbagai macam orang.
Akan tetapi, itu semua tidak cukup untuk menghadapi anak gadisnya yang sedang kasmaran.
***
Nama putra Suhadi itu adalah Pratama.
Tubuhnya standar. Tidak besar dan tidak ceking. Wajahnya pun biasa. Manis, tapi jelas masih banyak yang lebih tampan di luar sana. Ada bekas luka kecil di pipi. Tepat di bawah mata. Karena jatuh dari pohon mangga, katanya. Ketika tersenyum, terlihat juga gigi depan yang sedikit sempal.
Resi ingin sekali membenci laki-laki ini.
Dia ingin sekali berubah menjadi bapak-bapak klise yang protektif terhadap putrinya. Yang memalingkan muka dan berkata, 'kamu tidak pantas untuk anak saya!'.
Tapi, dia tidak bisa.
Sulit membenci seseorang ketika dia menyapamu seakan kalian teman lama. Dengan kegembiraan yang tulus dan tidak menjilat. Namun, tetap penuh hormat.
"Bapak pasti Resi!" ucap Pratama ketika dia dan Mustika mengunjungi rumah Toko Suhadi.
"Mustika sering bercerita tentang anda!"
"Begitu ya," kata sang Kutukan. Dia menjabat tangan Pratama. Melempar senyum ke anaknya yang hanya meringis.
"Silahkan masuk, Pak! Ada kursi di belakang. Saya buatkan minum dulu sebentar!"
"Tidak usah repot-repot, Tam!" sanggah Mustika.
Namun, laki-laki itu menggeleng. "Tidak repot, kok! Lagipula, Bapak suka teh, kan? Saya dengar dari Mus, Bapak sering tidak nafsu makan. Kemarin, saya membeli teh herbal. Cocok sekali untuk kesehatan badan."
Resi tertegun. Kemudian terkekeh. "Terima kasih. Kamu perhatian sekali."
Akan tetapi, dahi Mustika mengerut.
"Aku bercerita soal itu sekitar dua minggu lalu. Kau masih ingat? Padahal itu hal remeh..."
"Hmm? Bukannya hal 'remeh' itu yang membangun hal besar? Padi tidak akan tumbuh tanpa bibit, kan?" Pratama menggaruk kepala. "Uhm, maaf... jadi aneh, ya?"
"Tidak, tidak aneh sama sekali."
Resi tersenyum. Familiar dengan mementingkan detail 'remeh'. Mengingat strategi di medan perang mengutamakan perhatian ekstra terhadap informasi-informasi sekecil apapun.
"Malah, saya sangat setuju dengan itu, Nak."
Pratama tampak senang karena dipuji. Mustika hanya mendengus dan melipat tangan. Resi pun ikut mengulum senyum. Sedikit jahil.
"Kamu tidak bercerita yang aneh-aneh soal Bapak ke Pratama, toh, Mus?"
"Heh?! Mana ada! Bapak itu pendiam dan membosankan! Tidak ada cerita yang menarik!"
"Ngomong-ngomong soal 'cerita menarik', Pak Resi tahu pertama kali kita bertemu, kita berdua jatuh karena tepung?"
"AAH!! TAMA!! Kamu janji tidak akan bicara soal itu!"
Mustika memukul lengan temannya tersebut. Sementara Pratama tertawa lebar. Dan dari tawa itu, semua terlihat jelas di wajahnya.
Pandangan yang lembut ke Mustika.
Seakan si gadis adalah orang yang menggantung bintang-bintang di angkasa sana. Mata yang tulus. Seperti siap menyajikan kepalanya sendiri di atas piring perak jika Mustika yang memintanya.
Dan si Kutukan tersadar. Jika diperbolehkan, pria ini akan menyembah tanah yang anak gadisnya tapaki.
Kini, Resi tidak dapat menahan senyum.
Ya, mana bisa aku membenci anak ini?
***
"Apa kau pernah jatuh cinta, Chris?"
Mendengar pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Resi, membuat sang kawan nyaris tersedak sayur labu.
Mereka sedang duduk di ruang makan. Chris berkunjung tiba-tiba di sore hari setelah melakukan inventaris toko. Perutnya keroncongan. Belum terisi sejak siang tadi.
Tidak ingin sang teman kelaparan, Resi memutuskan menutup toko lebih awal dan memasakkan sesuatu. Karena Mustika sedang keluar dengan Laras, dia hanya membuat sayur sederhana dan tempe goreng. Walaupun begitu, Chris makan dengan lahap. Sembari mengobrol bersama Resi yang seperti biasa memilih tidak makan.
Entah bagaimana, obrolan mereka berakhir pada pertanyaan tadi.
"...Kenapa bertanya soal itu?" ujar Chris. Mata memicing curiga. "Apa kau sedang jatuh cinta? Dengan siapa? Apa dia cantik? Jangan bilang janda yang tinggal dekat pasar! Dia itu mata duitan—"
"Chris..." Resi menggelengkan kepala. Terkikik geli. "Kenapa malah kamu lebih banyak bertanya? Dan tidak, ini bukan soal aku. Ini soal Mustika."
Ada ketegangan yang luruh dari bahu Chris. Sebelum dia kembali memasang wajah serius.
"Apa laki-laki ini cocok untuk Mustika?"
Resi diam. Pipi ditumpukan di tangan.
"Namanya Pratama, anak Pak Suhadi yang punya toko di pasar. Dia punya pendidikan barang sedikit. Lulusan MULO."
Chris menyimak dengan seksama. Menyuapkan nasi ke mulut dan mengangguk. Resi melanjutkan.
"Setelah itu, dia ikut pamannya. Belajar berdagang dan bertani. Sekarang dia kembali untuk membantu toko ayahnya."
"Jadi, dia pekerja keras. Dan disiplin." Chris menyilangkan tangan di depan dada. "Tidak buruk. Kapan aku bisa bertemu dengannya?"
"Chris, tolong jangan takut-takuti dia. Pratama orang baik."
"Kalau dia lelaki yang pantas untuk Mustika, dia tidak akan takut, kameraad."
Dia kembali makan dengan wajah polos. Seakan tidak baru saja berniat mengancam orang yang disukai putri Resi. Sementara si Kutukan hanya diam dan menggeleng. Tahu benar soal sahabatnya yang keras kepala.
***
Ternyata, cara paling cepat mengambil hati seorang Christoffel Baas bukan melalui sela-sela tulang rusuknya.
Tapi, tanyakan saja soal jam yang dia punya.
Begitu Pratama menyinggung soal merek apa yang dikenakan Chris. Mata sang saudagar Belanda langsung membulat. Berbinar selayak anak kecil di toko permen.
Mereka bicara banyak setelah pertanyaan Pratama mencairkan suasana. Resi yang tadinya berniat menjadi penengah, malah merasa mirip obat nyamuk.
Setelah Pratama meninggalkan toko, Resi yang tadinya duduk di belakang konter beringsut ke samping Chris. Wajah si kawan masih tersenyum lebar.
"Jadi... apa aku tetap sahabatmu? Atau aku digantikan karena tidak tahu apapun soal jam?"
"Awee, jangan bilang kau cemburu, kameraad?" Chris terkekeh. Dia melintangkan tangan. Merangkul bahu Resi dengan akrab.
"Yah, dia tidak buruk-buruk amat."
"Apa kau merestuinya?"
"Hm..."
Resi menyikut perut Chris pelan.
"Ouch! Hey! Baiklah! Baiklah! Aku bolehkan dia mendekati Mus! Tapi... jika sampai Pratama menyakitinya sedikit saja, anak itu tamat."
Resi tertawa kecil. Tangan Chris yang melintang di pundaknya terasa berat dan meyakinkan.
"Aku tidak keberatan soal itu."
***
Mustika dan Pratama tumbuh semakin dekat.
Jadi, ketika Pratama datang bersama iring-iringan, berniat melamar...
Tidak ada yang terkejut ketika Mustika mengiyakan.
***
Pernikahan mereka berlangsung meriah.
Resi yakin senyum yang terpatri di wajahnya adalah senyum paling besar seumur hidup panjang si Kutukan. Suhadi terus tertawa bahagia. Chris bahkan sampai menangis, dan membuat Resi sedikit panik.
"Kau tidak apa-apa, Chris?"
"Ini tangis bahagia, kameraad!" ucapnya sembari membuang ingus ke sapu tangan.
Benar, manusia juga bisa menangis karena terlalu bahagia. Sungguh unik.
Kutukan itu melempar pandangan ke Mustika dan Pratama. Sang putri juga menitikkan air mata. Namun, senyumnya cerah menyaingi matahari. Bersanding dengan senyum Pratama sendiri. Pandangannya sangat lembut. Penuh sayang dan pengagungan.
Seperti dia akan berlutut dan memuja tanah yang dipijak Mustika jika itu diperbolehkan.
Seperti Mustika sendiri yang melukis galaksi dan melahirkan semesta.
Seperti Mustika adalah... segalanya.
Dan senyum Resi semakin lebar.
Anaknya pintar sekali memilih pasangan.
***
Mustika menggenggam tangan Resi erat. Pandangan mata tajam dan serius. Walaupun, terselip semburat ragu di sana.
"Bapak yakin tidak apa-apa ditinggal?"
"Mus... Bapak bukan anak kecil. Aku yakin aku bisa hidup sendiri."
Ragu di wajah Mustika belum sepenuhnya hilang. "Kalau Bapak mau ikut..."
Resi langsung menggeleng. Dia tersenyum.
"Ada waktu ketika anak burung meninggalkan sarang, dan induknya tidak perlu lagi mengejar," ucap ayahnya lembut.
Mustika terkekeh. Bola mata diputar. "Sejak kapan Bapak pandai berpuisi?"
Tidak ada jawaban. Hanya sebuah lekuk manis di bibir. "Hidup kalian baru saja dimulai. Nikmati saja dulu kemesraannya berdua. Oh, Pratama!"
Yang dipanggil mendekat. Sejenak melupakan kotak-kotak yang akan mereka bawa di kereta nanti. Hidup di kota baru memang membutuhkan adaptasi. Mustika sendiri merasakan antusias yang bercampur sedikit cemas dalam hati. Namun, suaminya tampak bersemangat. Siap merintis toko baru. Jadi, dia pikir tidak ada yang perlu dirisaukan.
Resi juga tampak lega melihat semangat Pratama yang seperti itu. Dia menepuk bahu menantunya.
"Jaga Mustika baik-baik, Tam. Jangan lupa berkabar. Dan berkunjunglah sesekali."
"Itu pasti, Pak!" jawab Pratama hangat. Kemudian, dahinya mengernyit. "Apa Bapak yakin tidak mau ikut? Rumah kami di sana cukup besar, Bapak bisa—"
"Tidak usah, Tama. Bapak terlalu terbiasa dengan desa ini." Resi menggeleng lagi. Tangan berkacak pinggang. "Duh, kalian itu mirip sekali ternyata. Padahal aku sudah susah-susah meyakinkan istrimu kalau aku tidak perlu ikut!"
Pratama tertawa. Sementara pipi Mustika memerah.
Istri, ya aku sekarang istrinya.
"Baiklah, kalau begitu." Mustika mendesah. "Bapak jaga diri, ya. Chris! Kau juga! Aku titipkan Bapak padamu!"
Chris langsung mendekat dan mengambil tempat di samping Resi. Lelaki Belanda itu tersenyum lebar. Merangkul kawannya dengan santai seperti itu adalah gestur paling mudah di dunia.
"Pasti, miesje!" jawab Chris. "Serahkan saja dia padaku!"
Pada titik ini, Chris sudah menjadi bagian dari keluarga kecil Resi dan Mustika. Jelas sebagai paman yang baik, dia tidak mau ketinggalan kesempatan untuk melepas gadis itu hari ini. Mustika menjadi sedikit lebih tenang karena sang ayah tidak langsung sendirian.
"Kalau ada apa-apa, kabari kami!" Mustika mewanti-wanti.
"Sama juga untukmu, Mus!" ucap Chris. "Dan tenang saja, aku akan pastikan Resi makan tiga kali sehari!"
"Aku bukan hewan piaraan, Chris."
Si saudagar hanya tertawa. Malah mengeratkan rangkulannya. Seperti biasa, diikuti protes dari Resi. Namun, si kutukan sama sekali tidak menepis gestur tersebut.
Pada akhirnya, setelah ucapan perpisahan yang cukup lama dan satu lagi pelukan erat, Mustika menggandeng tangan Pratama, yang balas meremas lembut jemarinya.
Berjalan menuju hidup baru mereka.
***
1930
"Resi! Ada surat dari Mustika dan Pratama!"
"Hmm? Cepat sekali, bukannya mereka baru berkunjung pekan lalu?"
"Entah, mungkin ada yang terjadi?"
"Jangan takut-takuti aku. Sini, berikan suratnya."
"Aish, siapa yang menakut-nakuti!"
Resi menyambar surat dari tangan temannya itu. Sebelum berjalan ke meja. Sementara, Chris sendiri duduk di kursi dengan santai.
"Kau masak apa hari ini?"
"Apa kau tidak sarapan dulu di rumahmu sendiri sebelum kemari?"
"Hei, aku harus memastikan kau makan juga. Aku tahu kau kadang menunda makan jika aku tidak datang!" sanggah Chris. Dia menyeringai. "Lagipula, aku suka masakanmu."
Sang kutukan memutar bola matanya. Tangan masih mengacak-acak laci. Sampai dia menemukan pisau surat, yang dia bawa sebelum duduk di samping Chris. Si saudagar berkomentar lagi.
"Rasanya sepi sekali tanpa Mus dan Tama, ya?" ucapnya. "Apa kamu tidak kesepian? Kamu tidak mau mencari pendamping hidup seperti anakmu?"
"Tanyakan itu pada dirimu sendiri, Chris. Kau sendiri masih lajang," balas Resi. Lebih memilih berkutat dengan surat di tangan.
Temannya itu melibaskan tangan. "Tidak tertarik. Kau juga tahu aku sibuk."
"Tidak cukup sibuk, jika kau bisa mengunjungiku tiap hari," Resi menyeringai.
Chris terkekeh. Kemudian, matanya tertuju pada secarik kertas yang sudah keluar dari amplop.
"Jadi, apa isinya?"
Resi menelisik dengan seksama apa yang tertera di sana. Alis mengernyit. Membaca dari kata pertama, sampai kata terakhir. Lalu mengulang lagi. Dan sekali lagi. Memastikan dia tidak melewatkan apapun. Wajahnya datar. Mencerna tiap kalimat.
Sebelum dia melempar pandang ke depan. Diam terpaku. Chris menyilangkan tangan di dada.
"Kameraad, jangan diam saja. Malah kamu yang membuatku takut!"
"Chris..."
Tatapan kosong yang tadinya ke dinding kini dihadapkan pada sang teman. Cukup membuat bulu kuduk berdiri.
"Sepertinya sebentar lagi, kita akan jadi Kakek."
"HEEH?!?!"
***
Sembilan bulan adalah waktu yang lama.
Tapi bagi Mustika, sembilan bulan yang ini adalah sembilan bulan paling lama yang pernah dia lalui.
Mual tiap pagi, tidak nafsu makan, disertai perasaan naik-turun yang kadang membuat dirinya sendiri bingung. Dan itu baru sedikit dari efek samping kehamilannya. Untung Pratama suami yang sabar dan selalu menemani di sisi. Mulai dari sekedar memeluk ketika Mustika menangis tanpa alasan, sampai berkeliling karena sang istri mengidam manggis pada jam tiga dini hari.
Dan, akhirnya, akhirnya, semua huru-hara itu terbalas ketika sang bayi lahir dan ada dalam dekapan.
"Gendhis," bisik Mustika. Air matanya berlinang. Sakit yang memanjati tubuhnya sudah tak lagi diberi peduli. Dia merasakan Pratama turut memeluknya. Dan turut menangis.
"Namamu Gendhis," bisiknya lagi. Tangis sang bayi bak melodi paling indah yang pernah dia dengar. Nyaring dan hidup.
"Ibu sangat, sangat, menyayangimu."
***
Pintu rumah berderit kecil ketika digeser. Membuat Resi sedikit was-was. Takut membuat terlalu banyak suara. Belum sempat dia mengucapkan salam, Pratama keluar dari ruang tengah. Matanya berpendar.
"Bapak!" ucapnya. Antusias, tetapi tidak menjerit. Lebih seperti desisan.
"Silahkan masuk, uh, Chris tidak ikut?"
"Dia harus mengurus tokonya. Percayalah dia sudah merengek untuk ikut," Resi tertawa kecil. "Bagaimana kabarmu dan Mus, Tama?"
"Ah! Kami baik. Sedikit lelah. Gendhis kadang membangunkan kami semalaman. Sekarang dia sedang tidur."
Perasaan lega membasuh hati Resi.
"Itu kenapa aku berusaha tidak berisik, Tama," ucapnya, lalu tertawa kecil. "Berarti, mereka berdua baik-baik saja?"
"Ya, Mustika cukup istirahat beberapa hari. Dan Gendhis bayi yang sehat!" Pratama tersenyum. "Ahh kami sangat beruntung! Ayo, Bapak juga harus bertemu cucu Bapak!"
Didampingi Pratama, dia masuk ke kamar tidur. Di sana, Mustika berbaring di kasur. Di pelukannya ada buntalan. Membungkus bayi kecil dengan kulit yang agak merah. Wajahnya mengernyit. Membentuk kerut paling imut yang pernah Resi lihat pada manusia.
"Bapak," bisik Mustika. Wajahnya masih tampak lelah. Tetapi juga berseri-seri. "Ini cucumu, Gendhis."
Resi mengangguk. Dia mengelus kepala sang putri.
"Kerja bagus."
"Ya ampun... Bapak bilang begitu seperti aku baru saja selesai menata toko, bukan melahirkan anak." Mustika terkekeh. Dia membenarkan posisi Gendhis di tangan. "Apa Bapak mau menggendongnya?"
Sedetik, si Kutukan terhenyak. Bahkan melangkah mundur secara refleks.
"...Bapak belum pernah menggendong bayi."
"Tidak masalah. Yang penting hati-hati. Sini, kuajari."
Benar, dengan lembut, sang putri memindahkan anaknya ke tangan Resi. Dan bukankah itu sesuatu yang menakjubkan? Seorang kutukan sepertinya dipercayai untuk mendekap makhluk yang begitu kecil dan rapuh. Terpujilah Mustika yang tersenyum lembut. Telunjuknya mengelus pipi si bayi yang menggeliat kecil dalam bedongan. Kedua netra Resi memandang momen itu lekat-lekat. Ingin memori tentang cucu dan anaknya itu terpatri jelas dalam otak.
"Halo, Gendhis," bisiknya pelan. Mata si bayi sedikit terbuka. "Aku Resi, kakekmu."
***
Kehidupan adalah sesuatu yang kompleks. Resi tahu itu.
Manusia melewati perjalanan yang panjang sekaligus pendek. Dan jalan yang ditempuh tak selalu cantik. Ada naik dan turun. Suka dan duka. Roda yang berputar kadang kokoh, dan kadang rusak secara tiba-tiba.
Resi bukan manusia.
Sayang, tragedi tidak memandang bulu soal itu.
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
Dayum, tumben author upload cepet (3 bulan itu emang cepet thor? /digampar reader/)
Anyway, chapter baru! Yayy!! Idk dude Act ini jadi lebih panjang dari perkiraanku. Kira-kira masih ada dua chapter lagi sebelum Act ini selesai. But no promise tho! At least I am having a blast writing this. Masa lalu Resi asyik buat dipikirin, walau kadang bikin pusing wkwkwk.
Well! Hope you enjoy! Vote, komentar, kalau kalian ingin dukung author. Dan silahkan follow biar tidak ketinggalan!
Thank u for reading! :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com