Chào các bạn! Truyen4U chính thức đã quay trở lại rồi đây!^^. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền Truyen4U.Com này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4

Manik mata Reina bergerak di balik pelupuknya. Tubuhnya masih terasa sakit. Jika bantal di bawah kepalanya bisa berhenti bergerak sekali saja

Tunggu dulu.

Bantal harusnya tidak bergerak.

"Oh? Sudah bangun?"

Mata si gadis menjeblak terbuka.

Tampak wajah Gojo Satoru tepat di depan mukanya. Tersenyum simpul. Dan barulah Reina menyadari posisinya berada.

Kepalanya ada di pangkuan pria itu.

Dia menjerit. Menarik diri dan segera bangkit. Netra hitam mendelik ketika dia menatap pria yang masih duduk di bangku itu hanya tersenyum semakin lebar.

"Kau—Apa yang—Kenapa kau ada di sini?!"

"Ini taman umum, kan?" tanya Gojo. "Memangnya aku tidak boleh berjalan-jalan?"

Reina menggertakkan gigi dengan kesal. Melihat senyuman polos yang terpajang di wajah putih Gojo, dia jadi ingin—

Menimpuknya.

"Bukan itu maksudku, bodoh," desis si gadis. Sebelum berbalik dan menatap ke air kolam yang lebar. Batinnya mencari koneksi dengan suara Resi.

<Resi, selama aku pingsan, dia tidak melakukan apapun, kan?>

<Kalau dia berani, aku pasti sudah memenggal lehernya.>

<Ah, dasar protektif.>

Resi tertawa keras di kepalanya. Reina mau tidak mau juga terkikik. Sebelum suara Resi mereda dan digantikan oleh dehuman.

<Maaf tadi aku bertukar paksa denganmu begitu.>

<Tidak masalah. Aku tahu kau hanya khawatir.>

<Ya, masalahnya aura roh tadi—>

"Apa kau mengobrol dengan roh kutukanmu?"

Celetukan Gojo nyaring. Membuat Reina tersentak dan kembali berbalik. Gojo sudah bangkit dari bangku. Tangannya bersedekap. Masih ada cengiran tengil di wajah pria yang menyela pembicaraan mereka itu.

"Kau diam lama sekali," ucap Gojo sembari membenarkan letak kacamata. "Jadi, kau dan kutukan ini bicara lewat telepati?"

"Berhenti memanggilnya begitu."

Nada kalimat Reina menggigit. Gojo tampak terkejut sesaat. Akan tetapi, wajah itu langsung sirna. Dia kembali memasang ekspresi geli.

"Jadi~ siapa namanya?"

Sang gadis terdiam. Dia bisa merasakan gemuruh suara Resi yang mendesah lelah.

<Katakan saja. Dia tidak akan berhenti mengganggumu kalau tidak.>

"Resi. Namanya Resi."

"Resi?" Gojo berdehum. "Hmm, namanya asing, mungkin dia Special Grade yang tidak terdaftar."

<Itu sesuatu yang ditulis di salah satu buku Kakek Buyut. Soal tingkatan roh kutukan?>

<Ya, aku mengingatnya.>

"Nah, kau melakukannya lagi!" Gojo menyeringai. "Apa mengobrol dengannya lebih menyenangkan daripada denganku?"

Reina baru akan membalas. Akan tetapi, dia mendengar suara bergetar dari saku jaketnya. Manik hitam langsung membulat.

Aku lupa soal yang lain!

Dia buru-buru mengeluarkan ponsel dari jaket. Benar saja. Notifikasinya meledak dengan pesan khawatir kelompoknya. Baik di group maupun pribadi. Intan mengirim banyak sekali sticker dan emoji menangis.

"Teman-temanmu?" tanya Gojo. Mengintip ke layar ponsel Reina.

"Yep, aku harus segera pergi menyusul mereka."

"Dan... apa kau tahu dimana mereka?"

Hening.

Reina merutuk pelan di bawah napasnya.

Gojo tertawa. "Baiklah, kalau begitu aku akan menemanimu!"

"Eh? Tidak perlu—"

"Aku memaksa!"

Tanpa mengindahkan protes Reina, Gojo langsung merangkul gadis itu dan menggeretnya pergi. Si gadis hanya bisa menggerutu dengan pasrah.

***

Pada akhirnya, mereka menemukan Pak Satrio, Intan, Andre, dan Rizal di depan Tokyo Metropolitan Art Museum. Keempat-empatnya tampak lega ketika melihat rambut hitam Reina yang familiar mendekat.

"Kak Reina!"

Intan yang pertama menyambutnya. Reina berlari kecil untuk mendekat. Dan langsung mendapat satu pelukan erat dari gadis yang lebih muda.

"Kak Rei! Kita tadi panik banget tau! Kak Rei kemana aja?! Terus, ini jaket kenapa? Kok sampai robek?!" tanya Intan. Tangannya menggoncangkan tubuh Reina.

Ketika melihat Gojo yang berdiri di belakang Reina, Intan menarik napas pendek. Sebelum menarik temannya itu dan berbisik.

"Om-om ganteng ini siapa?"

Saat itu, Reina bersyukur Gojo sepertinya tidak bisa bahasa Indonesia.

"Kita tadi bertemu. Dia yang membantuku mencari kalian."

"Oh, gitu..." gumam Intan. Dia tersenyum jenaka. "Kupikir Kak Rei dapat pacar orang Jep—"

Reina menyentil dahi Intan.

Membuat kawannya itu mengaduh dan refleks mengelus kepalanya. Melangkah mundur sambil mengucapkan protes.

"Jangan berpikir macam-macam, makanya."

"Iya, iya, maaf!"

Pak Satrio menggelengkan kepala sebelum mendekati duo itu. Tatapannya terarah pada Reina.

"Kamu kemana aja?"

"Ehm—" Gadis itu menggaruk kepala. "Aku terpisah, dan mendapat sedikit... masalah."

"Masalah?" Pak Satrio membeo. "Tapi sekarang nggak apa-apa?"

"Iya, aku tidak apa-apa," ucap si gadis sembari meringis. "Untung pria ini mau menolongku menemukan kalian."

Reina memberi gestur ke Gojo. Yang berjalan dengan santai ke sebelahnya. Dia memberikan salutan dua jari.

"Salam kenal, namaku Gojo Satoru."

Pak Satrio mematung. Dia tidak bisa bahasa Jepang. Reina menepuk dahinya. Sebelum mendongak ke pria tinggi berbaju hitam di sampingnya itu.

"Gojo-san, guruku tidak bisa Bahasa Jepang."

"Oh, begitu?" Gojo terkekeh kecil. Dia kembali menatap ke Pak Satrio.

"I'm sorry. Let me say that again. My name is Gojo Satoru."

Ekspresi guru pembimbingnya itu langsung berubah lega.

"It's fine. I am Satrio. Thank you for helping my student."

"No problem." Gojo melirik ke Reina. Senyuman simpul muncul di wajahnya.

"Lagipula, Reina ini anak yang menarik."

Gadis yang disebut langsung mengangkat alis.

Menarik?

Apanya yang menarik?

Intan mendekatkan mulut ke telinga Reina. "Yang terakhir tadi dia ngomong apa, Kak?"

"Aku—" Pandangan Reina masih tidak lepas dari wajah Gojo. Orang ini sangat aneh. Dia jelas tahu soal roh kutukan. Dan ini kedua kalinya dia muncul sehabis Reina melawan satu.

Apa itu yang membuatnya menarik? Kemampuannya untuk melawan kutukan? Atau mungkin Resi?

"Aku—juga tidak yakin."

"Anyway!" Pak Satrio kembali menaruh perhatian pada murid-muridnya. "Kita harus segera berkumpul dengan yang lain. Sebelum—"

"Sayangnya, Reina ada urusan lain."

Pak Satrio tersentak kaget. Tidak menyangka ada yang menyelanya tiba-tiba. Terlebih menggunakan bahasa Indonesia yang lancar.

Suara baru itu rendah dan menenangkan.

Sangat tidak asing ditelinga Reina.

Kepala si gadis cepat menoleh ke sumber suara. Mata langsung membulat ketika menyadari siapa yang berdiri di sana.

Orang tua yang familiar.

"Kakek Buyut?!"

***

Kebanyakan Penyihir Jujutsu adalah pekerja yang cepat dan efisien.

Mau tidak mau, Ismawan harus memberi mereka pujian untuk itu.

Baru saja mereka menemukan dia berada di Indonesia, besoknya sudah ada tiket pesawat paling cepat menuju ke Jepang. Dan permintaan agar dia segera kembali.

Ismawan ingin menolaknya. Sangat ingin.

Namun, kemudian dia teringat Reina.

Mereka menemukan Ismawan dari gadis itu. Dan dia khawatir apa yang akan mereka lakukan terhadap sang cicit.

Jadi, tanpa basa-basi, Ismawan mengepak baju dan kebutuhan seperlunya. Ratna dan Adimas—Ayah Ibu Reina—sudah membujuknya untuk tidak pergi. Atau malah menawarkan untuk ikut.

Namun, hanya ada satu tiket pesawat. Butuh waktu untuk memesan dua lagi.

Dan Ismawan tidak punya waktu.

Lagipula, dia bukan kakek tua pada umumnya. Dia mantan Penyihir Jujutsu. Dia masih kuat. Bahkan hanya sebelas dua belas dengan saat dia masih muda.

Jadi, disinilah dia. Keluar dari Bandara Haneda, Tokyo. Kepalanya melihat ke sekitar. Ke keramaian dan orang yang lalu-lalang. Lalu dia mendesah keras.

Banyak sekali yang berubah.

Sebuah perasaan asing menyusup ke hatinya. Percampuran rindu dan juga sedih. Sebuah nostalgia yang pahit.

Ada mobil hitam yang menjemputnya. Sang supir tampaknya cukup professional. Baju dan rambutnya rapi. Dia sesekali membenarkan kacamata yang bertengger di hidung. Tampak agak gugup

"Ah, apa anda Kamiya—"

"Jangan panggil aku itu," ralat Ismawan secara otomatis. "Panggil saja Ismawan, atau Kanigara. Hah, kau bahkan boleh memanggilku Isao. Hanya—jangan nama itu."

"Ah—uh, aku Ijichi Kiyotaka, aku yang akan mengantarmu untuk hari ini Kami—uh, Ismawan-sama?"

Sang kakek mengangguk. Dia lalu menyerahkan koper kulit bututnya ke Ijichi. Yang langsung menaruhnya ke bagasi. Sementara Ismawan masuk ke kursi penumpang.

Sesudah Ijichi duduk di belakang setir, dia membuka mulut lagi. Suaranya agak bergetar.

"Uh, jadi, kita langsung ke SMK—"

"Tidak."

Suara Ismawan tegas. Matanya fokus ke depan. Sudah menentukan kemana dia akan pergi saat pertama kali mendarat.

"Aku ingin bertemu cicitku dahulu."

Ismawan menarik napas dalam. Mengingatkan lagi kenapa dirinya ada di sini. Kenapa dia harus kembali.

Sudah saatnya Reina tahu soal darah dagingnya sendiri.

Ini untuk Reina.

***

"Kakek Buyut?!"

"Halo, Permata Kecil."

<Apa yang dia lakukan di sini?>

<Menurutmu aku tahu??>

Ismawan tertawa. Mengelus pelan surai hitam cucu buyutnya itu dengan lembut. Sementara sang gadis masih memandangnya dengan mulut ternganga.

"Tutup mulutmu, kau tidak mau ada lalat masuk, kan?" canda si kakek.

Reina menggelengkan kepala untuk menyadarkan diri. Dengan ekspresi masih heran, dia angkat bicara.

"Apa yang Kakek Buyut lakukan di sini?"

Sang kakek berdehum. Menarik tangannya untuk bersedekap.

"Ceritanya... panjang," gumam Ismawan. "Kita bisa membahasnya nanti."

"Sebentar, sebentar. Ini ada apa ya?" tanya Pak Satrio. Intan, Rizal, dan Andre berdiri di belakang guru mereka itu. Hanya bisa saling pandang.

"Oh, saya Ismawan, Kakek Buyut Reina."

Mata Pak Satrio membulat mendengar itu. Reaksi yang wajar. Banyak orang juga kaget ketika Ismawan memperkenalkan diri.

"Saya kesini untuk menjemput Reina," ujarnya. "Kami ada... urusan keluarga."

Andre yang menimpali. "Eh lho? Tapi Olimpiadenya gimana?"

"Sudah selesai, kan?" balas Ismawan. "Dan kudengar, pengumumannya tidak sampai besok?"

Anak-anak dari tim Olimpiade Sains hanya bisa saling lirik. Sementara itu, Pak Satrio mengelus dagunya. Memperhitungkan apa yang harus dia lakukan.

"Yah, ini memang free time, Asal Reina bakal ada di waktu pengumuman..."

Ismawan tersenyum. Menepuk pundak sang guru dengan lembut.

"Aku akan pastikan itu."

Pak Satrio mengangguk. Dia melirik ke tiga murid lainnya. "Ya sudah, kami permisi dulu, mari Pak Ismawan, mari Reina."

"Eh, beneran nggak apa toh? Yaudah! Ketemu besok Rei!"

"Dadah Kak Rei!"

"Sampai jumpa, hati-hati!"

Guru Pembimbing mereka itu menggiring ketiga anak yang lain menjauh. Menggumamkan sesuatu tentang 'cepat' dan 'ditinggal rombongan'.

Andre, Intan, dan Rizal melambaikan tangan. Reina membalasnya. Sebelum kembali menoleh ke kakek buyutnya itu. Satu alisnya terangkat.

"Jadi...?"

Bukannya jawaban, yang terdengar malah kekehan Gojo yang sedari tadi memperhatikan.

"Ahahaha, jadi benar. Kalian berdua dari Klan Kamiya?"

Ismawan berdecih mendengar itu. Lalu memandang Gojo dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Kau pasti Klan Gojo yang bertemu cicitku kemarin," balas si Kakek Buyut dengan bahasa Jepang yang sempurna.

"Ya! Aku tidak sangka kau akan datang secepat ini!" ucap Gojo dengan senyum lebar.

Ismawan tidak menjawab. Dia mengarahkan pandangan ke Reina. Sebelum merangkulnya mendekat.

"Dia tidak melakukan apapun padamu?"

Reina menggeleng. Kemudian teringat peristiwa pertarungannya dengan Orang Bersayap.

Baru saja dia akan membuka mulut, Gojo menyelanya.

"Ayo kita bahas di tempat lain," ucapnya. "Sepertinya banyak yang Reina harus ketahui setelah ini."

Dia mengedipkan satu mata ke arah Reina. Wajah si gadis memumculkan semburat merah. Dia mendekat ke sang kakek yang mendesah.

"Itu ide yang bagus, uh—?"

"Gojo Satoru, Kamiya-san."

"Satoru-kun, kalau begitu. Panggil aku Ismawan."

"Dengan senang hati."

"Maaf." Reina menyela "Kita mau kemana?"

Gojo berdehum. Mata mengintip dari balik kacamata hitamnya sejenak. Sebelum jari telunjuk kembali mendorongnya naik.

"Ke SMK Jujutsu, tentu saja."

***

Di sebuah gudang terbengkalai, terdengar hembusan angin keras.

Ketika dua sayap emas mengepak untuk melakukan pendaratan. Sang pemilik tampak senang. Kaki yang telanjang langsung berlari masuk ketika menyentuh tanah.

"Tuanku! Tuanku!"

Tampak seseorang berdiri di tengah ruangan. Diselimuti kegelapan. Orang Bersayap langsung berlutut. Bulu-bulu emas jatuh disekitarnya dengan anggun. Tuannya hanya berdehum pelan.

Tanpa berbalik, sang Tuan berkata.

"Endaru, apa yang terjadi dengan sayapmu?"

Orang Bersayap—Endaru—terhenyak. Dia bangkit. Sebelum melangkah mundur dengan ragu.

"Aku—maafkan aku—"

"Kau tahu membuatkan sayap itu perlu waktu lama, kan?"

"Maafkan aku, Tuan. Aku benar-benar minta maaf."

Terdengar helaan napas panjang.

"Apa ada hal yang ingin kau sampaikan?"

"Aku menemukan dia, Tuan."

Hening.

Selama beberapa detik—

Tidak ada yang bersuara.

"Dan, dimana... dia?"

"Jepang, Tuanku. Dia di Jepang."

"BAJINGAN!"

Terdengar suara benda jatuh di dalam gelap. Endaru melangkah mundur dengan takut.

"Sudah lama! Sudah lama aku mencarinya di Indonesia! Dan dia ternyata ada di Jepang sekarang?!"

"B-bukan hanya itu saja, Tuanku—"

"APA?! APA LAGI YANG—?!"

"Dia memiliki wadah!"

Hening lagi.

Endaru tidak bergeming.

Tuannya juga tidak bersuara.

"Wadah, katamu?"

"B-benar," jawab Endaru lemah. "Dia ada dalam—"

"Itu sempurna!"

Terdengar tawa menggelegar. Lagi-lagi, Endaru berjengit dan mengambil langkah mundur.

"Endaru! Akhirnya! Aku bisa mencari informasi lebih banyak! Penelitianku berlanjut!"

"S-saya turut senang, Tuanku."

"Ya, ya, ya, pergilah sekarang," gumam si Tuan.

Tanpa basa-basi, Endaru menunduk. Sebelum berbalik dan mengambil langkah keluar dari tempat terbengkalai itu.

Tuannya sedang senang.

Lebih baik jika dia tidak merusak itu.

***

.
.
.
.
.
.
.

A.N. :
New Chapter malam tahun baru, yee~

Seperti biasa, komentar diterima. Apa mau lanjut? Apa harus ada romance? Apa kalian punya pendapat atau saran? Dll. Silahkan tulis saja!

Thank you for reading :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com