I : Icky
Ran tertolak.
Yah, setidaknya itulah yang dipikirkan laki-laki yang kini sibuk menghajar orang dengan tongkat besi di tangannya.
"Rindou, hentikan kakakmu. Orang itu bisa mati jika dia terus menghajarnya seperti itu." Kakucho yang sedari tadi menyaksikan kebringasan Ran pun angkat suara.
"Biarkan saja. Kakak tidak suka jika kesenangannya diganggu," sahut Rindou tanpa melepas tatapan dari ponsel di tangannya. Sudah dipastikan Haitani yang lebih muda itu tengah bermain game online sekarang.
Kakucho hanya bisa menghela napas frustasi. Masalahnya yang dihajar oleh Ran itu anggota mereka sendiri! Hanya karena orang itu tidak sengaja menyenggol Ran hingga menumpahkan minuman ke seragam hitam laki-laki kepang tersebut, dia terancam harus meet and great dengan malaikat maut secepatnya.
"Tidak biasanya Ran seperti ini. Apa yang terjadi?" Kakucho menoleh pada Rindou yang kini menatap kakaknya di depan sana.
"Sepertinya ... Kakak ditolak."
Kakucho tersentak. "Hah? Ditolak?"
Rindou hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Ditolak perempuan maksudnya?"
"Yaiyalah. Yakali ditolak laki-laki. Kakak kan masih lurus." Rindou memutar matanya malas.
"Jadi, karena patah hati ya?" Kakucho menganngguk-anggukkan kepalanya. "Tapi tetap saja, hentikan dia sekarang. Kalau tidak, bisa-bisa Ran masuk penjara lagi karena membunuh orang."
Rindou berdecak sebelum beralih kembali ke ponselnya. "Sepertinya aku memang harus turun tangan," ucapnya seraya mencari kontak seseorang dan mulai menghubungi orang tersebut.
Butuh beberapa saat hingga orang di seberang sana menjawab panggilannya.
"Hallo?"
"Datang kesini. Sekarang."
"Eh? Keman-...."
Rindou segera memotong ucapan orang di seberang telepon untuk memberitahu situasi saat ini serta mengirim lokasi mereka berada sekarang. Setelah itu, panggilan pun berakhir.
Kakucho memandang Rindou dengan rasa ingin tahu yang tercetak jelas di wajahnya. "Siapa yang kau telepon?"
"Orang yang menjadi sumber kekesalan kakakku."
.
.
.
[Name] tidak tau apa yang dilakukannya ini benar atau salah. Berjalan menuju letak dimana markas geng yang berbahaya seorang diri mungkin bukan pilihan yang bagus. Tapi mau tidak mau, suka tidak suka gadis itu harus melakukannya demi kelangsungan hidup seseorang.
Haha. Lucu! Padahal [Name] sendiri tidak tau siapa yang coba ia selamatkan disini. Rindou hanya mengatakan jika ia tidak segera datang ke markas Tenjiku, nyawa seseorang akan segera melayang ke akhirat.
Dan disinilah [Name] sekarang. Berdiri kaku di depan beberapa orang berseragam merah yang pastinya adalah ciri dari orang-orang Tenjiku.
"Ah, kau sudah datang rupanya."
[Name] menoleh saat suara Rindou tertangkap indera pendengarnya. "Dimana Ran?"
Ya, Haitani Ran adalah alasan kenapa [Name] berada disini.
Rindou menggendikan dagunya ke arah pintu yang tertutup. "Disana."
[Name] mengikuti arahan tersebut hingga matanya terpaku pada sebuah pintu. Tanpa sadar, gadis itu menelan ludah gugup. "I-itu ruang penyiksaan atau apa?"
"Itu hanya ruang istirahat saja kok." Kakucho lah yang menjawab pertanyaan [Name]. Ada senyum geli yang tersemat di bibir laki-laki dengan bekas luka di wajahnya tersebut.
Saat [Name] menimbang-nimbang haruskah ia masuk atau tidak, tiba-tiba saja pintu itu terbuka, menampilkan sosok Ran yang kini berdiri menjulang di ambang pintu.
Sebelum [Name] bisa membuka mulut untuk menyapa, tangannya sudah ditarik oleh Ran yang entah sejak kapan sudah berada di depannya. Laki-laki berhelai panjang itu membawa [Name] keluar dari markas Tenjiku.
"Kenapa kau ada disini?" tanya Ran saat mereka sudah berada di luar. Ia kira dirinya berhalusinasi saat sayup-sayup mendengar suara [Name] di balik pintu, tapi ternyata gadis yang menolaknya itu memang berada disini.
Ran berdecih kesal saat mengingat kembali bahwa dirinya sudah ditolak oleh gadis di depannya ini. Mood yang perlahan membaik karena kehadiran [Name] kini seolah terbang terbawa angin.
"Sudah puas kau mengabaikanku?"
"Eh? Mengabaikan ap-..." Kalimat [Name] terhenti saat gadis itu mengerti maksud dari kata-kata Ran. "Aku tidak mengabaikanmu kok."
"Tidak?" Ran tertawa sinis. "Tidak mengangkat telepon atau pun membalas pesan dariku. Setiap aku ke rumahmu, tetanggamu selalu berkata bahwa kau sedang keluar. Saat aku ke tempat kerjamu, temanmu selalu bilang bahwa kau tidak masuk kerja. Setidak ingin itu kah kau bertemu denganku? Hm? Jika ini karena pernyataan cintaku, kau bisa melupakannya. Lagipula, kau tidak memiliki perasaan yang sama denganku, kan?"
Mendengar rentetan kalimat Ran, seketika [Name] menundukkan kepala. "A-aku tidak menolakmu," ucapnya pelan.
"Lalu kenapa kau langsung pergi saat itu? Setelahnya kau bahkan mengabaikanku berhari-hari, [Name]."
"I-itu karena ..." [Name] terlihat ragu, namun sesaat kemudian gadis itu melanjutkan kalimatnya. "... Karena aku terlalu senang."
"......"
"......"
"... Hah?" Ran menatap [Name] tidak mengerti. "Terlalu senang hingga mengabaikanku?"
"Aku malu, Ran." [Name] semakin menundukkan kepalanya. "Aku bingung harus bersikap bagaimana setelah tau bahwa kau juga menyukaiku."
Ran mengerjap saat menangkap beberapa kalimat terakhir yang [Name] katakan dengan teramat pelan.
Apa katanya?
Juga?
Apakah itu berarti ....
"Jadi, kau tidak menolakku?" tanya Ran memastikan.
"Hanya orang bodoh yang menolakmu."
Ran menyeringai mendengar jawaban tersebut. Perlahan tapi pasti, laki-laki berkepang itu melangkah mendekati [Name] dan berbisik tepat di telinga pujaan hatinya. "Jika orang yang menolakku itu bodoh, bagaimana dengan orang yang mengabaikanku? Orang itu membuatku kacau dan frustasi. Kurasa dia pantas untuk dihukum, 'kan?"
[Name] seketika membatu. Apakah dia baru saja menggali lubang kuburannya sendiri?
'Mati aku'
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com