E : Envy
Langit sore menghangatkan kafe kecilmu dengan cahaya oranye keemasan. Suasana lebih hidup, dan pengunjung yang datang jauh lebih banyak dari biasanya. Bukan karena promo atau dekorasi baru, melainkan karena Saja Boys; boyband yang sedang naik daun sekaligus group tempat bernaung Mystery datang ke tempatmu.
Awalnya itu adalah usul Mystery karena kau bercerita kafe-mu mulai sepi akhir-akhir ini padanya. Dan hasil dari usulannya itu tentu saja sukses besar.
Pengunjung berjubel, kamera ponsel tak berhenti berkedip, bahkan menu yang biasanya hanya dilirik sepintas kini ludes dipesan satu per satu. Kafe yang biasanya tenang kini riuh oleh suara tawa, celotehan penggemar, dan tentu saja karisma mematikan milik lima pria yang kini menjadi pusat perhatian.
Abby terlihat tengah berdiskusi serius dengan Baby tentang siapa yang bisa membuat latte art lebih lucu. Romance baru saja menyelesaikan sebuah kalimat puitis tentang aroma cinnamon rolls buatanmu, membuat seorang pelanggan di sebelahnya tersipu tanpa alasan. Sedangkan Jinu duduk dengan tenang di pojok sambil mengamati semuanya.
"Apakah tidak apa-apa kalian berada disini? Kalian pasti sibuk," ucapmu seraya menghampiri Jinu di tempat duduknya.
Leader berambut hitam itu tersenyum sebelum membalas. "Tidak terlalu sibuk, sebenarnya. Lagipula tempat ini nyaman, dan kau menyajikan makanan dan minuman gratis untuk kami. Terimakasih."
Kau terkekeh. "Seharusnya aku yang berterimakasih. Berkat kalian, tempat ini seperti hidup kembali. Aku bahkan kehabisan stok susu almond sebelum jam lima sore."
Jinu tertawa pelan, lalu ia mengangguk kecil diiringi lirikan ke arah Baby dan Abby yang kini mulai berdebat sambil mencoret-coret busa kopi mereka. "Kalau mereka mulai bertaruh memakai topping cokelat atau marshmallow, aku sarankan kau amankan gelas cadanganmu."
Kau ikut tertawa dan baru akan membalas ketika seseorang memanggil namamu. Abby, dengan senyum lebar dan sikap penuh percaya diri, mengangkat kedua tangannya yang kini memegang dua cangkir latte art. Satu bergambar kelinci dan satu lagi bergambar sesuatu yang entah kenapa terlihat seperti dirimu yang mengenakan apron.
"Pilih mana? Yang satu ini dibuat sambil memikirkanmu," kata Abby sambil menunjuk gelas kedua.
"Dan yang satu lagi dibuat sambil mengintip wajahmu dari balik mesin kopi," celetuk Baby yang membuat beberapa orang tergelak.
Kau tertawa pelan sebelum berjalan ke arah mereka untuk melihat lebih dekat. Saat kau mencondongkan tubuh untuk memeriksa gambar di permukaan latte, Abby berkata dengan nada menggoda, "Wajahmu lebih cantik dari yang bisa kugambarkan dengan susu. Tapi aku sudah berusaha semaksimal mungkin."
Kau membalas dengan candaan ringan, membiarkan diri terbawa suasana. Tapi tanpa kau sadari, di ujung ruangan seseorang hanya terdiam disana.
Mystery berdiri tanpa suara di dekat rak roti dengan tangan terselip di saku hoodie-nya, kepalanya sedikit menunduk, namun sorot mata di balik rambutnya menusuk ke arah Abby yang terlihat terlalu nyaman berdiri di dekatmu.
Dari semua orang, tentu saja Abby lah yang menyadari suasana hati Mystery yang muram. Namun bukannya berhenti, pria yang memiliki otot perut yang memukau itu malah mencodongkan tubuhnya ke arahmu. Dengan tatapan yang terfokus pada teman berambut lilacnya, ia berbisik di telingamu. "Kau terlihat sangat cantik ketika tersenyum dan tertawa, tidak heran seseorang sering menghilang dan berakhir di tempat ini."
Kau mengerjap mendengar pujiannya yang tiba-tiba. Sebelum kau bisa membalas, Abby kembali membuka suara.
"Apa kau suka otot perut?"
"Hah?"
Tanpa aba-aba, Abby menarik tanganmu dan meletakkannya di perutnya yang terbuka sebagian karena kemeja yang sengaja ia angkat.
Otot-ototnya jelas terasa di bawah telapak tanganmu. Keras, hangat, dan nyaris membuatmu terkejut. Beberapa pengunjung yang melihat langsung berseru kecil, dan kau bisa mendengar kamera ponsel kembali sibuk mengambil gambar.
Wajahmu sontak memanas. "Ap-... apa yang kau lakukan!?" serumu panik seraya buru-buru menarik tanganmu kembali.
Abby hanya tertawa lebar, dan senyum jahilnya tidak berubah sedikit pun. "Aku hanya memastikan kau menyadari semua pilihan yang tersedia."
Sebelum kau bisa membalas, bayangan tinggi seseorang muncul di belakangmu. Bahkan tanpa menoleh pun kau sudah tahu siapa itu. Aura dingin dan keheningan yang familiar menelusup di antara suara ramai. Lalu sebuah tangan perlahan menyentuh bahumu; kuat dan protektif, seolah menandai batas tak kasatmata di antara kalian.
"Lepaskan," ucap Mystery pelan. Nada suaranya sangat tenang, namun cukup untuk membuat atmosfer sekitarmu bergeser.
Abby hanya mengangkat kedua tangannya, bersikap seolah tidak bersalah. "Wohoo~ Tenang, sobat. Aku hanya bercanda."
Jinu menghela napas melihat situasi yang mulai memanas dari sudut tempat duduknya. Ia meneguk sisa minumannya sebelum berdiri dan berkata. "Baiklah. Kurasa sudah waktunya kami pergi sekarang."
Kalimat Jinu membuat beberapa orang mengeluh, namun sebagian besar pengunjung tampak mengerti. Mereka tahu waktu bersama Saja Boys selalu terbatas dan jelas ada ketegangan yang tidak ingin mereka ganggu lebih lama.
Abby menepuk meja ringan, lalu menoleh padamu dengan senyum menggoda terakhir sebelum mundur. "Sampai jumpa di kompetisi latte art berikutnya, sayang."
Baby mengangkat dua jari memberi salam ala prajurit sebelum mengikuti Abby dan Romance yang sudah bergerak ke pintu. Jinu sekilas menatap Mystery, seolah menyampaikan sesuatu lewat tatapan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka berdua sebelum menyusul yang lain tanpa berkata apa-apa lagi.
Begitu keluar dari kafe, Jinu segera menegur Abby. "Kenapa kau melakukan itu?"
Yang ditegur hanya mengangkat bahu dan berjalan santai dengan tangan dimasukan ke saku celananya. "Hanya memastikan sesuatu. Ternyata dugaanku benar."
"Dugaan apa?" tanya Jinu.
"Bahwa Mystery menyukai gadis itu."
"Bukankah itu sudah jelas?"
Mendengar tanggapan Jinu, Abby terkekeh pelan. Langkahnya tetap santai menyusuri trotoar yang mulai diterangi lampu jalan. "Jelas, iya. Tapi dia belum cukup sadar untuk bertindak, sampai aku membuatnya cemburu."
Jinu menghela napas pasrah. "Jangan ikut campur. Lagipula aku tidak yakin apakah akan baik-baik saja jika mereka bersama." Suara pria berambut hitam itu memelan di akhir kalimatnya.
Semua orang terdiam. Mereka tahu maksud ketua mereka. Mereka adalah Iblis. Dan mereka tidak yakin apakah Gwi-Ma akan senang dengan kenyataan salah satu pelanyannya jatuh cinta pada manusia.
"Menurutmu apakah dia tahu?" tanya Baby pelan. Dia yang makane berambut turquoise itu maksud tentu saja adalah Sang Penguasa Iblis itu sendiri.
"Entahlah," balas Jinu. Meski mustahil, ia harap tidak. Karena Mystery terlihat bahagia setelah mengenalmu.
Sepeninggal empat anggota Saja Boys, suasana kafe perlahan kembali normal.
Mystery berdiri diam di sampingmu. Poni panjangnya semakin menutupi wajahnya ketika kepalanya tertunduk dalam. "Apakah kau suka?" bisiknya pelan.
Kau menatapnya tidak mengerti. "Suka apa?"
"Otot perut Abby."
Gumaman Mystery membuatmu tersedak ludahmu sendiri. "Kenapa kau tiba-tiba nanya begitu?" balasmu pelan.
Mystery terdiam sejenak. Lalu kepalanya yang semula tertunduk perlahan terangkat hingga wajahnya sejajar denganmu. "Aku tidak suka saat dia menyentuhmu," gumamnya lagi. "Atau saat dia memanggilmu 'sayang'. Atau saat kau tertawa karena leluconnya."
Kali ini kau yang terdiam.
"Aku tahu dia hanya bercanda. Tapi tetap saja, aku ingin jadi orang yang membuatmu tertawa seperti itu."
Napasmu tercekat, namun Mystery tidak berhenti disitu.
"Aku tidak mengerti kenapa rasanya menyesakkan saat melihatmu dekat dengan orang lain. Rasanya seperti dadaku ditekan dari dalam. Seperti aku akan meledak, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa karena aku tidak punya hak atas dirimu."
Nada suaranya pelan namun terdengar jelas di telingamu.
"Aku cemburu," ungkap Mystery pada akhirnya. "Dan aku benci mengatakannya."
Kalimat pengakuannya menggantung di udara seperti debu emas dalam cahaya sore yang temaram. Untuk sesaat, dunia seolah berhenti berputar. Tak ada suara tawa ataupun hiruk pikuk, hanya kau dan Mystery serta keheningan yang kini terasa berat tapi juga hangat.
Kau menatapnya, melihat bagaimana ia menggigit bibir bawahnya pelan, seolah menyesali kejujuran yang baru saja lolos dari mulutnya.
Sebelum Mystery salah paham dengan aksi diammu, kau segera meraih tangan pria itu dan menariknya untuk mengikutimu ke belakang. Tempat yang memiliki privasi dan jauh dari orang-orang yang mulai memperhatikan kalian.
Di ruang kecil di belakang kafe, aroma kayu manis dan kopi yang masih menggantung di udara menjadi saksi bisu dari dua orang yang kini berdiri berhadapan. Tak ada lagi sorotan kamera, tak ada suara tawa atau candaan menggoda. Hanya kau dan Mystery, dengan jarak yang terlalu dekat untuk pura-pura tidak peduli, tapi terlalu jauh untuk benar-benar menyatu.
Mystery menunduk, seolah tak berani menatapmu. "Maaf," ucapnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. "Aku tidak bermaksud mengekangmu atau mengaturmu. Aku hanya... aku tidak tahu kenapa aku merasa seperti itu."
Kau memperhatikan wajahnya. Poni panjang Mystery jatuh menutupi matanya, rahangnya mengeras karena ia menggigit sisi dalam pipinya, dan genggaman tangannya di saku hoodie-nya mengencang.
"Kau tidak perlu minta maaf, karena aku tidak keberatan dengan sikapmu yang merasa... cemburu."
Mystery mengangkat wajahnya perlahan, seolah ragu apakah ia benar-benar mendengar ucapanmu dengan benar. "Kau tidak marah?" tanyanya pelan.
Kau menggeleng. "Tidak. Karena sejujurnya, jika posisi kita dibalik mungkin aku juga akan merasakan hal yang sama."
Hening beberapa saat. Lalu kau melangkah lebih dekat, cukup dekat hingga kau bisa menyentuh lengan jaketnya. "Kalau kau cemburu, itu artinya kau peduli, kan?" bisikmu seraya menatap wajahnya.
Mystery mengangguk pelan. "Aku peduli," bisiknya nyaris tak terdengar, "Mungkin terlalu peduli."
Kau masih berdiri sangat dekat. Napasnya terasa hangat di kulitmu, dan kau bisa mencium aroma familiar dari hoodie-nya. Aroma kopi dan sedikit wewangian kayu yang hanya ada padanya.
Tanpa bisa dicegah, tanganmu terulur untuk menyingkirkan rambut yang selama ini menutupi matanya.
Mystery hanya diam, seolah memberimu izin untuk membuka tirai yang selama ini menjadi pelindung emosinya.
Matanya kini sepenuhnya terlihat. Dalam, gelap, dan indah. Penuh perasaan yang terlalu lama disimpan.
Napasmu tercekat. Kau selalu menganggap Mystery tampan meski bagian atas wajahnya selalu ditutupi oleh helai panjang rambut lilacnya, namun baru kali ini kau melihat seluruh dirinya tanpa penghalang. Dan yang kau temukan bukan hanya ketampanan, tapi kejujuran. Luka. Harapan. Semuanya terangkum dalam sorot matanya yang kini terpaku padamu.
Mystery menatapmu seakan kau adalah satu-satunya hal yang nyata di dunia yang terlalu rumit ini. Dalam diam, ia terlihat bergumul dengan pikirannya sendiri, mencoba menahan perasaan yang sudah terlalu lama ia kubur dalam-dalam.
"Aku tidak biasa begini," gumamnya lirih. "Terlalu banyak hal yang tidak bisa kujelaskan. Tapi bersamamu, semuanya jadi lebih mudah sekaligus pmenakutkan."
"Menakutkan karena apa?" tanyamu pelan.
"Karena aku tidak tahu apakah kau akan tetap di sisiku kalau kau tahu siapa aku sebenarnya."
Kau tak langsung menjawab. Sebaliknya, kau memegang tangannya. Bukan hanya menyentuh, tapi menggenggam erat, seolah memberi sinyal bahwa kau tidak akan lari.
"Aku tidak peduli siapa kau sebenarnya, Mystery. Karena kau yang aku kenal adalah orang yang berdiri di hadapanku sekarang. Seseorang yang tulus, itulah dirimu di mataku."
Mystery menggigit bibirnya lagi, mencoba menahan emosi yang mulai bergolak.
"Dan soal cemburu," lanjutmu. Suaramu terdengar lebih hangat dari sebelumnya, "Kau punya hak untuk merasa seperti itu. Karena aku juga menyimpan perasaan yang membuatku takut. Takut jika kau terlalu lama diam, aku akan terus menebak-nebak kemana arah hubungan yang kita miliki ini."
Ucapanmu menumbuhkan keheningan yang berbeda. Bukan keheningan yang canggung atau menegangkan, melainkan hening yang menyimpan sesuatu yang belum diucapkan.
Sampai akhirnya, Mystery bergerak. Perlahan dan sangat hati-hati, seperti takut membuatmu pergi kalau ia terlalu cepat. Ia menyentuh pipimu dengan jemarinya yang dingin ketika seulas senyum tipis mulai menghiasi wajahnya. Bukan senyum yang percaya diri seperti Abby, atau senyum manis seperti Baby. Tapi senyum tulus yang hanya muncul ketika seseorang merasa aman.
Lalu, dalam sunyi yang diselimuti aroma kopi dan senja yang mulai redup di luar jendela, Mystery menunduk perlahan. Gerakannya penuh kelembutan dan penghargaan. Hingga akhirnya keningnya menyentuh milikmu, dan dunia seolah berhenti berputar.
Dalam keheningan itu, tidak ada yang lebih nyaring dari detak jantung kalian yang saling bersahutan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com