23. Another Hospital Visit
Benang melintas di udara.
Menangkap sayap cyrokite yang meronta. Demon itu menggeram keras. Namun, lilitan benang Dorothea tidak goyah.
"Izuku!"
Syuut...
Clap!
Pisau tertancap di kepala monster itu. Terdengar raungan. Lalu diam. Diikuti bunyi berdebam. Sang demon jatuh ke tanah.
"Nice work," puji Dorothea. Memutus benang tipis yang ada di jarinya.
Dia tertawa kecil melihat rekannya yang berusaha menarik kembali pisau di kepala makhluk itu. Berjengit ketika cairan hitam pekat mengucur dari luka yang dalam.
"Ugh, aku benci tipe yang tidak langsung menghilang," keluh Izuku. Kembali memasukkan pisau ke sarungnya. Dorothea terkekeh.
"Yeah, sama." Kaki sang gadis menendang mayat monster itu. Si cyrokite bergerak sedikit. "Ini yang terakhir?"
Izuku mengangguk. Mata terfokus pada layar Meteran Anomali. Tidak ada lagi titik yang tersisa di area mereka.
"Kalau begitu, ayo pulang," ajak Dorothea. Dia menutupi mulutnya yang menguap. "Besok aku masih ada urusan."
"Ah, soal Ando Kuroo, kan?" ucap Izuku. Dia menepuk bahu Dorothea. "Maaf aku tidak bisa ikut."
"Tidak masalah Izuku-kun."
Dorothea melirik ke kawannya. Mata menatap ke punggung anak berambut hijau itu. Malam ini, Jadestaff tidak ada di sana.
"Apa rusaknya parah?"
"Tidak, sih," jawab Izuku. "Tapi Saiki-san ingin mengeceknya. Tidak mau ambil resiko."
Dorothea bersiul. Bentrok Izuku dan Todoroki saat Festival Olahraga tidak bisa dianggap sepele. Berakhir dengan lapangan yang rusak parah. Seakan bom baru meledak di sana. Sang gadis heran bagaimana Jadestaff masih utuh.
"Good luck with that. Untung kita dapat libur dua hari."
Akhirnya, setelah pamit dan bertukar lambaian tangan, dua anak itu berpisah di jalan.
***
Ada hantu melintas menembus resepsionis bermuka lelah. Dorothea berjengit sedikit. Namun, secara keseluruhan, sang gadis berhasil menjaga ekspresinya tetap netral.
"Jadi, anda mau menjenguk...Ando Kuroo?" tanya resepsionis. Matanya sedikit menyipit membaca data di layar. "Ah, kondisi pasien itu agak... tidak stabil. Aku senang ada yang mengunjunginya. Apa anda keluarga?"
"Eh, kami... kenalan. Kurang lebih."
Alis wanita setengah baya di depannya terangkat. Dorothea meneguk ludah. Dia membenarkan tas selempangnya dengan canggung. Belum sempat satupun dari mereka angkat bicara—
"Tuning-san?"
Mendengar namanya disebut, sang gadis menoleh. Melihat wanita berpakaian formal mendekat mereka. Dia membenarkan kacamatanya di hidungnya.
"Ah! Anda sudah datang, syukurlah!" Dia merangkul Dorothea. Lalu memberikan kedipan mata ke wanita resepsionis. "Aku ambil alih dari sini."
Tanpa menunggu jawaban, orang berkacamata itu menarik Dorothea menjauh. Dalam hati, sang gadis mengucapkan syukur karena tidak perlu menjawab pertanyaan yang lain.
"Terima kasih banyak, err—"
"Hirata Keiko." Wanita itu menyeringai lebar.
"Dan kau tidak perlu berterima kasih, ini sudah tugasku."
Dia menarik sesuatu dari balik kerahnya. Sebuah kalung besi berujung pada liontin berbentuk burung elang yang disimplifikasi.
Lambang The Children.
"Oh," gumam Dorothea. Wanita itu terkekeh pelan.
Mereka sampai di depan elevator. Hirata menekan satu tombol yang kemudian menyala. Dia lalu menoleh ke Dorothea.
"Ando Kuroo ada di kamar nomor 46, lantai 5," katanya. Dia mendesah. "Aku ingin menemanimu, tetapi kita tidak tahu apa dia akan bicara jika aku di sana. Dia hanya ingin bicara dengan 'Sang Mata'."
"Aku paham," ucap Dorothea.
Hirata tersenyum. "Baiklah, kalau begitu, aku pergi dulu. Godspeed, Dorothea."
Sebagai jawaban, si gadis mengangguk. Wanita yang lebih tua melambai sebelum pergi. Diiringi derak high heels sepatunya. Dorothea berusaha memasang senyum.
Pintu elevator terbuka. Sang gadis melangkah masuk. Tidak ada orang lain di dalam. Jadi dia menekan tombol dengan nomor lima dan merasakan lift mulai naik. Dorothea mendesah. Menempelkan punggung di dinding logam yang dingin.
"Gugup?"
Eins melayang rendah disampingnya. Ikut 'bersandar' ke dinding. Tangannya terlipat di depan.
"Sedikit," gumam gadis itu. Tangan memainkan surai merah poninya.
Tidak lama, bel terdengar dari speaker elevator. Pintu terbuka otomatis. Dorothea melangkah keluar. Melirik ke kanan-kiri. Lantai itu sepi. Tidak menghitung beberapa hantu yang menyingkir merasakan kehadiran Eins.
Dorothea berjalan menyusuri lorong. Otaknya mengulang-ulang beberapa pertanyaan yang sudah diberi oleh Nikky. Sebenarnya dia membawa catatan. Tetapi rasanya mengeluarkan notes agak terlalu formal dari yang dia suka.
Akhirnya, dia sampai di depan pintu. Tangannya memegang gagang yang dingin sembari menarik napas.
"Ugh, baiklah."
"Tunggu dulu, Doro—!"
Terlambat.
Pintu sudah terbuka.
Namun, bukannya melihat wajah laki-laki yang dulu sekali berusaha menikamnya dengan pisau-
Ada wanita berambut putih di kasur.
Dan—
"Dorothea?"
"Lho? Candy Cane?"
Mata dwiwarna Todoroki Shoto membelalak.
Sama terkejutnya dengan Dorothea sendiri.
"Er, ini kamar nomor 46?" tanya gadis itu.
Todoroki menggeleng. "Bukan, itu kamar sebelah."
Anak perempuan itu merutuk.
"Oh, err—maaf, aku salah—" ucapnya dengan canggung. "Umm, permisi. Sekali lagi—maaf."
Pintu ditutup dengan terburu-buru.
Dorothea membenamkan wajahnya ke tangan. Merah menyembur di pipi. Merambat sampai ke telinga.
"Yah, aku sudah coba memperingatkan," ucap Eins sembari 'menepuk-nepuk' pundak anak itu.
"Aaaaa—mati saja kau, Eins."
"Aku sudah mati."
Dorothea melemparkan pandangan kesal ke kawannya itu. Sang hantu hanya tertawa. Sebelum memberi gestur ke pintu lain. Dengan papan bernomor 46 di depannya. Pintu yang benar, kali ini.
"Ayo. Masalah malu kita urus nanti."
Benar.
Ada hal lain yang lebih penting.
Tangan Dorothea kembali ada di gagang pintu dingin. Sang gadis mengecek lagi nomornya. Tidak mau mengulang kesalahan. Setelah yakin, dia mendorong pintu itu. Terdengar suara berderak kecil.
Kali ini, yang terlihat sesuai praduga Dorothea.
Tampak seorang pria kurus duduk di tempat tidur. Infus terhubung di tangan. Menatap jauh ke luar jendela.
Mendengar derit pintu, dia menoleh. Matanya tidak seperti yang dulu. Tidak lagi hitam penuh. Kini hanya dua iris yang tampak mati. Seperti hantu yang kerap dilihat Dorothea.
Tanda perasukan berbekas di dahinya.
"Kau—!"
Suara serak Ando Kuroo mengagetkan si gadis. Dia melihat pria ringkih itu menggeliat di atas kasur. Berusaha turun. Dorothea buru-buru menghampirinya. Memegang tangannya lembut.
"Hei, hei, tidak perlu, Ando-san. Anda tiduran saja, hmm?"
Mendengar usul itu, tubuh sang pasien melemas. Dia kembali rileks. Tidak meronta ketika Dorothea membantunya kembali duduk di posisi yang nyaman.
Setelah itu, sang gadis menarik bangku kecil yang ada di sana. Menaruhnya di samping kasur sebelum duduk. Eins terbang ke sudut ruangan. Memutuskan untuk tidak mengganggu. Dia memberikan pandangan meyakinkan. Dorothea menarik napas. Lalu memulai.
"Ando-san, apa anda mengingatku?"
Ando mengangguk. Bibir yang kering terbuka. Berbicara dengan parau.
"Kau—kau Sang Mata," ucapnya. "Begitu m-mereka menyebutmu."
Dorothea berjengit. Sebelum posturnya kembali tegak. Dia menarik ponsel dan mengaktifkan aplikasi perekam suara di sana.
"Boleh aku tahu siapa 'mereka' ini?"
"Dia—dia yang di sini," Ando mengetuk-ngetuk jidatnya. Tepat di atas tanda.
Sang gadis tahu implikasi gestur itu.
Wraith yang merasukinya dulu.
Ando menggenggam selimut erat-erat. Sebelum menelan ludah. Dia melanjutkan.
"Dan—dan yang bertudung."
Yang satu itu sudah jelas.
"Apa kau ingat apa yang terjadi, Ando-san? Bagaimana kau bisa bertemu mereka?"
"Mereka—mereka mengambilku saat pulang kerja—"
"Orang yang bertudung?"
Sang pria menggeleng kuat.
Jujur, Dorothea tidak menyangka itu.
Ando kemudian menarik sesuatu dari nakas yang ada di samping tempat tidurnya. Selembar koran. Dia mendorong kertas itu ke wajah Dorothea.
"Ini—dia di sini!"
Itu berita serangan USJ.
Dengan gambar beberapa penjahat di bawah headline-nya.
"League of Villain?" Dorothea terpana. "Kau diculik oleh mereka?"
Ando mengangguk. Dorothea terdiam.
The Silent Hands bekerjasama dengan organisasi lain?
Ini agak di luar karakter.
"Apa kau ingat apa yang terjadi setelah itu?"
"Mereka membawaku ke—ke—aku tidak tahu. Tapi itu gelap. Gelap sekali. Lalu—lalu yang bertudung datang. Dan mereka—mereka memberiku ini."
Dia menunjuk ke jidat. Ekspresinya semakin suram.
"Lalu dia mengambil alih."
Yeah, pengalaman ini pasti sangat tidak menyenangkan untuknya. Akan tetapi, belum sempat sang gadis mengganti topik—
Ando menyambarnya. Tangan mengcengkeram pergelangan Dorothea erat. Membuat sang gadis berjengit.
"Dia mengincarmu."
"Ya, aku—"
"Dia menunjukkanku kiamat. Neraka. Semua orang mati. Dan—dan—"
Mata Ando jelalatan. Pupil melebar. Iris bergerak tidak karuan. Seakan mencari-cari orang lain dalam ruangan selain mereka.
"Kau adalah kuncinya."
"Ando-san—" Dorothea berusaha menarik tangannya. Tetapi, sang pria tidak bergeming.
"Kau harus aman—mereka—mereka—aku harus memperingatkanmu!"
"Aku tahu." Dorothea berusaha menjaga agar suaranya tidak bergetar. "Bisa kau lepaskan genggamanmu? Ini agak sakit..."
Tersadar. Pasien itu langsung menarik tangannya. Dia menggumakan maaf berkali-kali. Tubuhnya maju-mundur. Dorothea menggeleng. Mengusap pergelangan tangannya sendiri.
"Tidak apa-apa," ucap Dorothea. "Err, soal orang bertudung... apa kau ingat jumlah mereka."
Ando terpaku. Di menelengkan kepala.
"A-ada dua suara. Laki-laki dan perempuan."
Alis Dorothea mengernyit. Sebelum mengangguk.
Yang laki-laki bisa saja Kuba Hisao. Berarti tinggal siapa yang satunya.
"Terima kasih, Ando-san," ucap Dorothea. Mengakhiri wawancara. Sang gadis memberikan senyum lemah ke pria itu. "Ini pasti sangat traumatis untukmu, kan?"
Si pria tidak menjawab. Hanya menatap kosong. Dorothea menarik napas.
"Apa... kau mau melupakannya?"
Ando tampak terperanjat.
"Aku—aku bisa?"
Dorothea mengangguk. Dia mengambil vial kecil dari dalam tas. Kemudian menyodorkan itu ke Ando. Yang mengambilnya dengan hati-hati. Mengamati cairan jernih di dalamnya.
"Itu amnestik," jelas Dorothea. "Jika diminum, itu bisa menghapus pikiran. Tetapi, kalau kau ragu—"
Ando sudah menegaknya.
Apapun yang wraith sialan itu lakukan pasti sudah membuat otaknya rusak parah. Kalau dia mau tanpa ragu meminum ramuan aneh yang diberikan oleh anak yang baru dia kenal. Apa saja agar memorinya hilang.
Dorothea tidak tahu harus bersyukur atau kasihan untuk pria itu.
"A-aku—"
Suara Ando memelan. Dia jatuh ke bantalnya. Matanya menjadi tak fokus. Dan pelupuk pria itu perlahan menutup.
Dorothea mendesah. Dia bangkit dan merapikan bajunya. Sebelum melirik ke laki-laki yang mulai tertidur.
"Aku ingin bilang, senang berbicara denganmu," ucapnya. Tersenyum lemah. "Tetapi, sepertinya kau tidak akan mengingat ini."
Kaki berjingkat keluar ruangan. Berusaha tidak membangunkan Ando yang sekarang sudah tidak sadar. Eins segera melayang mendekati. 'Menaruh' tangan di pundak gadis itu.
"Kerja bagus," pujinya.
Di luar bangsal, Hirata sudah menunggu. Dia tersenyum melihat Dorothea.
"Bagaimana?"
"Dia tidak ingat banyak. Tapi ini cukup. Aku akan memberi rekaman ini ke Nikky." Dia menggoyangkan ponsel.
Hirata tersenyum. "Dan aku akan mengurus Ando-san. Dia meminum amnestiknya?"
Dorothea mengangguk. Hirata berdehum.
"Bagus, sekarang tinggal menghapus beberapa hal. Termasuk tanda perasukan itu..."
"Kalian sangat detail, ya?"
"Harus," Hirata tertawa. "Baiklah, aku masuk dulu."
Dorothea mengangguk. Melihat Hirata menghilang di dalam pintu. Dia mendesah. Mengusap wajahnya dengan lelah.
"Uh, hei."
Sang gadis tersentak. Dia mendongak. Pandangan mata emas bertubrukan dengan iris biru-abu-abu.
Todoroki berdiri di depannya.
"Oh! Halo, Candy Cane!" ucap sang gadis. Dia menggaruk tengkuknya. "Eh, dengar, soal yang tadi, aku minta maaf—"
"Tidak perlu," sela Todoroki. "Lagipula, kau tidak sengaja."
Mata anak laki-laki itu sekilas melirik pintu bangsal nomor 46.
"Siapa yang sakit, kerabat?"
"Ah, bukan..." Dorothea memainkan jarinya. "Aku hanya... mencari informasi."
"Sama seperti yang kau lakukan di Hosu?"
Alis Dorothea menukik mendengar itu. Si gadis mendengus. Kemudian mengangkat bahu.
"Kurang lebih."
Mereka saling tatap sejenak. Keheningan yang ada menjadi semakin berat. Bahkan Eins tidak memberi komentar apapun.
"Apa kau mau bertemu Ibuku?"
Dorothea tersentak. Tidak menyangka itu.
"Huh?"
"Aku bercerita kalau kita satu sekolah. Lalu Ibuku bilang ingin bertemu denganmu." Giliran Todoroki yang menggaruk kepala. "Kalau kau tidak keberatan...?"
"Ah, tentu! Tentu tidak."
Todoroki tersenyum kecil. Kemudian memberi gestur agar Dorothea mengikutinya. Dia membuka pintu kamar 45. Dorothea mengintip dari balik bahunya. Melihat wanita berambut putih tadi masih terduduk di kasur.
"Okaa-san," ucap Todoroki pelan. "Ini Dorothea Tuning. Yang tadi kubilang."
"Uhm, salam kenal, Ma'am."
"Oh, salam kenal! Namaku Todoroki Rei. Panggil saja Rei-san agar tidak tertukar dengan Shoto. Ayo, masuk, masuk."
Todoroki menarik satu bangku lagi untuk Dorothea. Keduanya lalu duduk bersebelahan. Ibu Todoroki tersenyum kepada mereka berdua.
"Dorothea Tuning, ya?" gumamnya. "Itu tidak terdengar seperti nama Jepang."
"Ibuku orang Inggris," ucap sang gadis. "Dan Dad mengambil nama Ibu. Dia bilang, Akira Takeshita-Tuning terdengar lebih pas daripada Takeshita Avery."
"Takeshita?" gumam Rei lagi. "Seperti nama desainer terkenal itu?"
Dorothea meringis. "Yep, the one and only."
"Ah, begitu. Ayahmu orang yang hebat. Desainnya sering muncul di majalah," ucap Rei. Matanya mengerling.
"Jadi, kau teman Todoroki di sekolah?"
Dorothea terhenyak. Dia menatap wanita di depannya dalam diam. Eins mendenguskan napas yang tidak dia butuhkan di samping sang gadis.
"Pertama kali kalian bertemu, kau memprovokasinya."
Yep. Dorothea tidak lupa soal itu. Terima kasih, Eins.
"Sebenarnya...," Dorothea berucap dengan pelan.
"Aku dan Candy—er, Todoroki—beda kelas. Aku Prodi Umum. Tapi..."
Sang gadis melempar pandangan ke anak laki-laki di sebelahnya. Memberikan sebuah senyum lebar.
"Kalau Todoroki tidak keberatan, aku mau menjadi temannya!"
Anak berambut merah-putih itu tersentak. Pupil sedikit melebar. Tawa lembut Rei terpecah. Membuat dua murid U.A. kembali terfokus padanya.
"Kamu baik sekali, Dorothea," kata wanita itu. "Kalau begitu, aku titip Shoto, ya?"
Dorothea mengangguk. Senyumnya melebar. "Tentu! Lagipula, Izuku-kun sudah mengadopsinya!"
"Tunggu—adopsi?" tanya Todoroki. Tampak masih syok.
"Iya, kau temannya sekarang. Jadi kau temanku," kata Dorothea yakin.
"Aku dan Izuku-kun itu partner. Sepaket. Beli satu gratis satu. Maaf, pal. Itu sudah peraturannya."
Todoroki masih terpana. Dorothea terkikik melihat ekspresi anak itu. Begitu juga dengan Rei. Yang kini tertawa lebih rileks.
"Syukurlah," ucap wanita berambut putih itu. Menyeka setitik air di sudut matanya. Dia menatap sang anak dengan senyum yang sangat tulus.
"Aku senang kau punya teman-teman yang baik, Shoto."
"Aku—" Todoroki akhirnya tersadar. Dia menengok ke Dorothea. Gadis itu memberikannya jempol dan cengiran lebar.
Todoroki mau tidak mau tersenyum.
"Yah, syukurlah."
***
Setelah mengobrol banyak. Akhirnya dua anak itu pamit. Todoroki keluar setelah Dorothea dan menutup pintu. Dia menghembuskan napas lega.
"Well, itu menyenangkan," ucap Dorothea. Dia memberi gestur ke arah elevator.
"Terima kasih sudah mengundangku, Candy Cane. Kalau begitu, aku permisi—"
"Tunggu."
Tangan Todoroki meraih lengan Dorothea. Mencegahnya untuk beranjak. Sang gadis bersyukur dia menggenggam pergelangan yang tidak ditarik Ando. Tangan yang itu masih kebas.
"Uh, ya?"
Todoroki tercekat. Melepas tangan Dorothea ketika sadar apa yang dia lakukan.
"Mau makan?" tawar Todoroki.
Diikuti rutukan dalam hati karena itu keluar lebih canggung dari yang dia kira.
Dorothea mengamatinya dengan awas. Mata menatap netra dwiwarna seakan menusuk langsung ke jiwanya. Mencari maksud tersembunyi.
Bohong jika Todoroki bilang bulu kuduknya tidak berdiri.
"Ada tempat makan enak di dekat sini," ucapnya lagi. "Kupikir kita bisa—"
"Eh, kenapa tidak?"
Bahu Todoroki melemas. Tubuh menjadi rileks setelah Dorothea melepas wajah interogasinya. Mengganti itu dengan sebuah senyum senang.
***
Ternyata, rumah makan yang disebut dekat. Jadi, dua anak itu tinggal berjalan kesana. Tempat itu tampak higienis dan memiliki arsitektur Jepang klasik.
Pelanggannya tidak banyak. Jadi mereka bisa memilih meja yang ada di dekat jendela. Tidak lama kemudian, seorang pelayan datang membawakan menu.
Dan dari menu itu Dorothea tahu kenapa pelanggan di sana sedikit.
Astaga... harganya...
Untung tadi pagi, Akira memberikan sang buah hati tercinta kartu ATM-nya.
'Dengar, jadi calon Pemburu monster bukan berarti kau tidak boleh jadi remaja.'
Begitu kata sang Ayah.
'Bersenang-senanglah. Pergi ke mall. Beli baju baru-atau pisau baru, kalau di kasusmu. Serahkan masalah pakaianmu padaku.'
Dia ingat Akira bergidik. Mengingat semua pakaian yang dipilih oleh Dorothea kebanyakan kaus dengan referensi ke media di masa sebelum quirk.
'Paling tidak, kau harus mengajak Eins keluar. Kasihan kalau dia terkurung di rumah karena kau introvert.'
'Dad, kau membuat Eins terdengar seperti anjing yang harus diajak jalan-jalan.'
Ngomong-ngomong soal Eins, hantu itu sudah melayang entah kemana. Berkata kalau dia tidak ingin merusak momen keakraban mereka berdua atau semacamnya.
"Apa kalian sudah siap memesan?"
Suara pelayan mengagetkan Dorothea dari lamunan. Gadis itu kembali menunduk melihat menu.
"Oh! Aku mau tsukemen. Dan, hmm, mugicha." Dorothea memutuskan.
"Aku pesan soba dingin," ucap Todoroki. "Ocha hangat untuk minumnya."
Sang pelayang mengangguk. Menulis itu semua, mengambil menu, lalu berlalu. Meninggalkan Todoroki dan Dorothea.
"Ibumu ramah," kata si gadis membuka pembicaraan. "Walaupun yang tadi itu agak impromptu, aku senang bisa bicara dengannya."
Anak berambut dwiwarna itu melihat gadis yang tersenyum di depannya.
"Yeah," jawab Todoroki. "Ini—ini pertama kali aku bertemu dengannya setelah sekian lama."
"Oh?" gumam Dorothea.
Todoroki diam. Menunggu gadis di depannya mengatakan sesuatu. Tetapi gadis itu hanya mengangkat alis.
"Yah, aku tidak akan memaksamu bercerita, Candy Cane," ucap Dorothea. "Aku tahu aku harus jadi teman level lima untuk membuka tragic backstory-mu atau semacamnya."
Sang gadis terdiam. Kemudian terkekeh.
"Oh, tunggu. Aku sudah tahu tragic backstory-mu. Mengingat kau menceritakannya pada Izuku-kun. Di lorong stadion. Tempat orang bisa lewat kapan saja."
Anak laki-laki itu berjengit. Dia mengelus leher dan membuang pandangan.
"Yeah, itu... tidak terlalu cerdas, huh?"
Sang gadis terkekeh lagi. Menggelengkan kepalanya.
"Kesalahan pemula," ucapnya. "Kau harus banyak latihan, anak muda."
Todoroki memiringkan kepala. "Latihan? Darimu? Apa kau punya tragic backstory juga?"
Gadis itu mengerjap. Kemudian, tawanya pecah. Walaupun dia langsung mengecilkannya. Mengingat mereka ada di tempat umum.
"Yah, mendekati." Dorothea tersenyum geli.
"Tapi kau harus jadi teman level lima dulu untuk membukanya. Atau menyelamatkanku dari pembunuh berantai sebagai side quest."
"Itu... agak spesifik."
"Memang."
Todoroki berdehum. Dia melihat keluar jendela sejenak.
"Yang di rumah sakit tadi..." Dia kembali menoleh ke Dorothea. Matanya berkilat.
"Soal berteman denganku, apa kau serius?"
"Tentu," jawab si gadis tanpa ragu. "Aku ingin mengenalmu lebih dekat kalau kau mengizinkan."
Mata heterokrom mengerjap. Dia menunduk sejenak. Menarik napas.
"Kalau begitu..."
Todoroki mengulurkan tangan.
Gadis di depannya memasang wajah bingung. Dia menatap tangan yang melintang di meja. Lalu ke Todoroki. Anak laki-laki itu mengambil insiatif.
"Namaku, Todoroki Shoto," ucapnya. "Pertemuan pertama kita tidak benar-benar... baik. Jadi..."
Dorothea terkekeh. Dia menjabat tangan yang diulurkan.
"Dorothea Tuning. Panggil saja Dorothea. Senang berkenalan denganmu, Candy Cane."
"Namaku Todoroki," ralatnya.
Dorothea menggeleng. Senyum tengil muncul di bibir ranum gadis itu.
"Tidak. Untukku, kau Candy Cane."
"Kau memanggilku begitu hanya agar aku kesal, huh?"
"Pfft, so?"
Todoroki diam sejenak. Mengelus dagunya dan berpikir.
"Kalau begitu..." Dia bergumam. Sebelum menjentikkan jari dan menatap Dorothea tepat di mata.
"Strawberry."
Anak perempuan di depannya tersentak.
"Heh?"
"Kalau aku Candy Cane." Todoroki mengelus rambut merah-putihnya. "Maka kau Strawberry."
Tangan menunjuk ke rambut merah sang gadis.
Dorothea mengerjap. Sebelum tawanya lepas lagi. Sedikit lebih keras. Walaupun dia berusaha menahannya. Todoroki tersenyum puas. Ikut merasa senang melihat ekspresi bahagia gadis itu.
"Oke itu adil. Itu adil." Sang gadis masih terkikik. "Oh! Kalau begitu, Izuku bisa jadi Peppermint, dan Shinsou bisa jadi Sour Grapes!"
Todoroki berdehum. "Bagus, kita bisa membuat band."
Pembicaraan mereka mengalir ringan setelah itu. Tidak canggung lagi. Sampai makanan mereka datang dan keduanya makan dengan lahap. Pantas harga di restoran itu mahal. Mie yang mereka pesan sangat lezat. Dan Dorothea berharap bisa terus minum mugicha—barley tea—seenak itu setiap minum teh.
Setelah semua habis. Mereka menuju ke kasir.
Dan keduanya mengeluarkan kartu dengan bersamaan.
"Eh, biar aku saja, Todoroki-kun!" ucap Dorothea. "Ini kartu Ayahku!"
"Sama," imbuh Todoroki. "Ini kartu Ayahku juga."
Ah, benar.
Eins bilang dia anak Pahlawan Nomor 2, kan?
"Uh, kalau begitu... patungan?"
"Malah lebih merepotkan," tolak Todoroki. Dorothea menggeleng kuat.
"Tapi—"
Akhirnya mereka berakhir berdiskusi soal siapa yang lebih berhak membayar. Todoroki merasa harus membayar karena dia yang mengajak. Dan Dorothea ingin membayar sebagai ucapan maaf setelah salah masuk kamar tadi.
Sementara si kasir hanya menyimak perdebatan dua remaja itu sembari menampilkan senyum customer service terbaiknya. Dalam hati mungkin berpikir—
Dasar orang-orang kaya.
"Sudah, biar aku saja. Lebih etis kalau laki-laki yang membayar, kan?"
"Ha, etis. Memang siapa kau? Kesatria?"
"Kesatria? Bukankah aku Candy Cane?"
"Pfft! Hahaha! Oke, oke, silahkan. Ayo kita keringkan kantong Ayah sialanmu itu."
Todoroki tersenyum. Memberikan kartu ke kasir yang menggumamkan 'akhirnya' dan 'dasar, pasti kencan pertama'.
Dorothea sendiri sibuk dengan ponsel. Akhirnya punya waktu untuk mengirim hasil rekaman tadi ke Nikky. Yang dibalas dengan pujian dan terima kasih.
Mereka keluar dari toko setelah semuanya selesai. Dorothea meregangkan tubuh yang pegal karena duduk lama. Dia menoleh ke Todoroki.
"Hei, ini menyenangkan. Terima kasih sudah mengajakku ke sini," ucapnya. Todoroki mengangguk.
"Ya, aku... juga senang ada yang menemani," jawab anak panas-dingin itu. Dia menggaruk kepala. Ujung kakinya mengetuk tanah.
"Apa... kau mau keluar bersama lagi? Di masa depan, mungkin?"
"Oh! Boleh saja." jawab Dorothea antusias. "Kita bisa ajak yang lain juga!"
"Yeah, yang lain," kata Todoroki pelan. "Itu akan menyenangkan."
Anak laki-laki itu mengembangkan senyum. Sebelum tersadar Dorothea hanya terdiam. Sang gadis malah menatapnya dengan ekspresi lembut.
"Kau tahu..." gumam Dorothea.
"Senyummu manis, mirip dengan Ibumu."
Todoroki terperanjat.
Matanya melebar.
Ini—
'Oh? Todoroki? Putra Endeavor?'
'Wah, mirip dengan ayahnya, ya?'
'Semoga kau menjadi Pahlawan seperti Endeavor.'
'Quirkmu kuat, seperti Ayahmu.'
'Todoroki-san keren! Seperti Endeavor!'
'Dia mirip seperti ayahnya, ya?'
'Kau mirip sekali dengan Endeavor.'
Semua 'pujian' yang biasa dielukan orang-orang berputar di otaknya. Hiruk-pikuk yang dia benci. Membandingkan dia dengan Pak Tua yang tidak pantas menyandang gelar Ayah.
Akan tetapi, Dorothea—
'Senyummu manis, mirip dengan Ibumu.'
"Uh, terima kasih," ucap Todoroki.
"Well, kalau begitu, aku pulang dulu!" ucap Dorothea. Dia berjalan ke arah stasiun. Melambaikan tangannya.
"Sampai jumpa di sekolah, Candy Cane!"
Todoroki turut melambai. Walaupun lebih kaku dan canggung. Dia lalu mengelus pipinya. Merasakan ada senyum kecil terbentuk di sana.
"Sampai jumpa, Strawberry."
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
Rei : Siapa itu, Shoto?
Todoroki : Oh, anak dari sekolah.
Rei : /triggered karena anaknya yang tidak bisa berekspresi bisa punya teman/
Rei : Boleh ajak kesini?
Ffffudge sake's I'm tired.
But heeey, new chapter! Woohoo!
Motivasiku on-off terus yha lord. Aku ngabisin banyak waktu baca lore game yang aku nggak main. Dan baca fanfic dari fandom yang aku bahkan bukan bagiannya.
Tapi sebagai kompensasi, chapter ini agak lebih panjang.
And enjoy some Todothea moments y'all.
Thank u for reading! :D
Oh, btw...
Terinspirasi dari eskrim stroberi dan choco-mint.
Because self-care is drawing whatever the hell u want and if that happen to be your OC in cute outfit then so be it.
RIP my art style. It change everytime I blink. Aku bukan artist. Silahkan dikomentari.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com