Chào các bạn! Truyen4U chính thức đã quay trở lại rồi đây!^^. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền Truyen4U.Com này nhé! Mãi yêu... ♥

24. Everyone's Holiday

Dorothea bangun mendengar suara lagu pop keras. Dia meraba-raba nakasnya sembari menggerutu. Setelah jari merasakan ponsel, sang gadis meraihnya dan mematikan alarm yang muncul di layar. Aneh, ini masih hari libur. Kenapa alarmnya sudah berbunyi?

Dia menguap. Mata masih separuh tertutup ketika melihat notifikasi pesan di layar. Dari Izuku.

***

Private Messages
You >> Broccoli Boi

Broccoli Boi
Aku dan Mei-san pergi ke bengkel Saiki hari ini.

Broccoli Boi
Good luck soal Shinsou-kun.

***

Dorothea merutuk di balik napasnya.

Benar, itu sebabnya dia menyetel alarm pagi-pagi di hari libur.

Hari ini dia akan memberi tahu Shinsou.

"Uuugh..." Dorothea mengerang sembari membenamkan wajahnya ke bantal. Jujur, sang gadis tidak terlalu bersemangat untuk ini.

"Pagi, Dorothea!"

Suara Eins yang riang membuat sang gadis tersadar. Dia menengok melihat sang hantu yang menembus dinding kamarnya dengan santai. Ada senyum kecil di wajah pucat semitransparan makhluk itu.

"Apa kau sudah siap?"

"Entahlah," gumam Dorothea sembari mengucek mata. Wajahnya murung.

"Bagaimana kalau dia menganggapku aneh?"

"Hei, jangan berpikiran buruk dulu." Eins melayang mendekat. 'Duduk' di kasur di samping Dorothea. Dia 'menepuk-nepuk' kepala sang gadis.

"Kupikir Shinsou akan mengerti. Kalau tidak, kita bisa menggeretnya ikut ke salah satu patroli malammu dan Izuku."

Dorothea terkekeh.

"Boleh juga. Menjadikannya umpan demon ganas pasti bisa meyakinkan semua orang kalau mereka ada."

Keduanya bertukar tawa. Akhirnya, Dorothea bangkit dari tempat tidur sembari meregangkan tubuh.

"Ayo, Eins. Sebaiknya kita tidak membuat Shinsou menunggu."

***

"Aku tidak percaya ini! Greenie, cubit aku!"

"Kau sudah mengatakan itu tiga kali, Mei-chan. Dan tidak, aku tidak akan mencubitmu. Lagi."

Begitu kedua anak itu masuk ke bengkel Saiki, mata Hatsume langsung menyala bak anak kecil di toko permen. Sejenak, dia bahkan hanya terpatung. Mulut menganga. Izuku takut kawannya itu kena stroke ringan.

Namun, begitu sadar, Hatsume langsung sibuk meracau dan menunjuk berbagai benda. Bersemangat menarik Izuku diantara onderdil dan besi yang teronggok di bengkel berantakan Saiki.

"Aku tidak pernah melihat alat-alat seperti ini sebelumnya!" ucap Mei separuh menjerit. "Oh! Apa aku sudah mati? Tempat ini seperti surga!"

"Aku seratus persen yakin kau masih hidup, nak."

Hatsume langsung diam.

Mereka menoleh. Melihat Saiki Kazuhiko tersenyum dengan cengiran lebar.

"Selamat datang di l'atelier de Saiki!"

Laki-laki itu menunduk dengan elegan. Walaupun pipinya tercoreng oli dan ada baut mengintip dari rambut berantakannya. Ketika kepala kembali terangkat, dia masih menyeringai.

"Kau pasti Hatsume Mei! Izuku banyak bercerita tentangmu!"

Hatsume langsung berbinar. Dia menengok ke kawannya itu. Izuku bersumpah mata sang gadis berkaca-kaca.

"Aww, Greenie..."

"Jangan dipikirkan, Mei-chan," balas Izuku. Ikut tersenyum. "Kau itu inventor yang baik. Tentu aku bangga bercerita tentangmu!"

Sang pinknette melompat senang. Dia menerjang Izuku dan memeluknya kuat-kuat. Saiki hanya tertawa melihat muka si bocah hijau memerah.

"Baik, baik!" ucapnya. Tawa mereda. Namun, cengiran belum hilang.

"Aku harus menyelesaikan beberapa alat. Siapa yang mau membantu?"

"Aku!" ucap Hatsume. Mengacungkan tangan seperti di kelas. Namun jauh lebih antusias.

Kedua orang itu langsung berjalan ke sisi lain bengkel. Izuku mengikuti. Mulutnya mengulum senyum.

Untung Dorothea tidak ada di sini. Dia bisa jantungan melihat tiga pecinta ledakan ada di satu tempat yang sama.

***

"Ini tempatnya?" bisik Dorothea kepada Eins.

Mereka ada di depan sebuah kafe. Kafe Kucing lebih tepatnya. Tampak tulisan besar mengkilap terpasang sebagai papan nama.

Espurresso.

Dorothea tidak menyangka Shinsou akan memilih tempat imut seperti ini.

Dia melangkah masuk. Disambut bunyi denting bel yang terpasang di pintu. Kafe itu memiliki estetika kucing dengan warna-warni pastel. Tampak kertas dinding dengan motif kaki hewan dan kursi-kursi nyaman. Satu dua kucing juga melintas. Sesekali mengeong.

Namun, tempat itu sangat sepi.

Tulisan 'Grand Opening!!!' dari kapur yang ada di sebuah papan tulis hitam cukup sebagai penjelas.

Sang gadis menebar pandangan ke seluruh ruangan. Dia satu-satunya orang di sana.

"Huh, Shinsou-kun belum datang..."

Tepat saat dia menggumamkan itu, seorang gadis berambut air muncul dari pintu di belakang meja kasir.

Tidak, rambutnya bukan biru atau semacamnya. Rambutnya benar-benar terbuat dari air yang melayang.

"Oh, pelanggan!" ucapnya antusias begitu menyadari keberadaan Dorothea.

"Selamat datang di Espurresso! Namaku Higuchi Aoi, aku yang akan menjadi pelayanmu hari ini. Dimana anda mau duduk?"

Dorothea memilih meja paling pojok di samping jendela. Setelah duduk, dia memesan cokelat panas. Si pelayan mencatatnya. Sebelum berlalu.

Sekarang, tinggal menunggu.

Jemari Dorothea mengetuk-ngetuk meja. Sesekali melirik ke pintu. Berharap rambut ungu jabrik yang familiar segera terlihat. Energi gelisah yang tertumpuk di tubuhnya sejak pagi benar-benar tidak membantu.

Untung saja, doanya terjawab.

Beberapa menit kemudian, dia melihat Shinsou tersandung kecil memasuki kafe. Untung dia tidak jatuh. Begitu melihat Dorothea, dia merutuk kecil. Wajahnya memerah. Sang gadis hanya terkikik. Kemudian melambaikan tangan. Gestur agar Shinsou mendekat.

"Pagi, Dorothea," sapa Shinsou. Muka masih merona.

"Maaf aku terlambat. Aku—uh—ini."

Dia menyodorkan setangkai bunga mawar.

Mata emas Dorothea membelalak. Namun, sang gadis menerimanya.

"Ibuku bilang tidak sopan kalau aku tidak membawakanmu sesuatu. Dan—uh, Ayahku menyarankan bunga. Jadi—"

Shinsou mengelus-elus tengkuknya. Memalingkan pandangan dari sang gadis. Dorothea sendiri terkekeh kecil. Semburat merah jambu turut muncul di pipinya.

"Terima kasih, Shinsou-kun." Bunga itu dimasukkan ke tas selempangnya dengan hati-hati. "Ini pertama kalinya ada yang memberikanku mawar seperti ini."

"Ah, sama-sama."

Shinsou duduk. Tidak lama, Higuchi datang untuk menanyakan pesanan. Anak itu memesan kopi hitam tanpa gula. Yang langsung membuat Dorothea berjengit.

"Ew."

Laki-laki di depannya mengangkat alis.

"Apa maksudnya 'ew'?"

"Kupikir seleramu lebih bagus dari itu," goda Dorothea setengah serius. "Kopi hitam pahit? Sekalian saja minum tar basah."

"Hei!" protes Shinsou. "Kau sendiri? Apa yang kau pesan?"

"Cokelat panas, duh. Minuman terbaik."

"Pfft, dengan marshmallow?"

"Tentu saja!"

"Hati-hati diabetes, Dorothea." Senyum jahil muncul di wajah sang purplenette. "Dengan wajah sepertimu, aku pikir kau tidak butuh lebih banyak gula."

"Hei! Apa maksudnya itu?!"

Shinsou tertawa melihat wajah Dorothea yang dipenuhi bingung. Ternyata gadis di depannya ini cukup lugu juga.

Pesanan mereka datang tidak lama. Dorothea menunduk memperhatikan gumpalan marshmallow putih yang berenang di cokelatnya. Pikiran mulai melayang.

Dia tahu semakin cepat dia bicara, semakin cepat ini selesai.

Namun, bibir Dorothea masih terasa kelu.

"Jadi...?"

Suara Shinsou menyentaknya. Sang gadis mengangkat kepala. Sejenak, manik violet bersirobok dengan emas.

"Jadi... apa?"

Shinsou memutar matanya.

"Penjelasan. Kau sudah janji."

Gadis itu meringis. Dia melirik Eins. Si hantu hanya menunjuk ke Shinsou dan mengangguk.

"Lakukan saja!"

Dorothea menarik napas. Menenangkan detak jantungnya. Sebelum menatap ke temannya itu lekat-lekat.

"Shinsou, yang akan kukatakan padamu ada informasi sensitif," ucapnya. "Kau harus bersumpah tidak akan membocorkan ini. Tidak kepada siapapun."

Napas Shinsou tercekat. Netra ungunya melebar.

Sebelum ekspresinya menjadi tegar. Dan dia mengangguk serius.

"Baiklah. Aku berjanji."

Setelah itu—

Cerita.

Dorothea menceritakan semuanya.

Soal The Children dan The Silent Hands. Demon. Serathephim. Hantu.

Sang Mata.

Semua dituturkan lirih lewat bisikan. Hati-hati dan detail.

Di akhir cerita, mata Shinsou melotot. Seakan bola matanya akan melompat keluar.

"Tunggu—hantu? Jadi—bata waktu itu—"

"Benar."

Dorothea memberikan anggukan kecil ke Eins yang melayang mendekat.

Hantu itu menggeser gelas kopi Shinsou.

Si purplenette memekik. Hampir terjungkal dari kursinya.

"Astaga—" gumamnya. "Oh Tuhan, ya ampun—"

"Jadi..." Sang gadis menggigit bibir. "Kau... percaya?"

"Kupikir semua ini terlalu detail untuk sebuah lelucon," jawab Shinsou. Wajahnya masih agak pucat. Namun dia tersenyum ke Dorothea.

"Tentu aku percaya."

Tubuh sang gadis melemas. Beban yang tadi ada di pundaknya seakan meluap. Dia melempar senyum kepada Eins selagi sang hantu menggumamkan 'sudah kubilang'.

"Bagus, kita tidak perlu mengeksekusi rencana B."

"Huh? Apa itu rencana B?"

"Mengajakmu berburu demon langsung di lapangan."

"EH?!!"

***

Suara video ulangan pertarungan final Festival Olahraga U.A. memenuhi kamar Bakugo Katsuki.

Anak itu mendecih. Masih murka mengingat Todoroki yang langsung pingsan tanpa sempat menggunakan apinya.

Dia pikir dia siapa?!

Berani-beraninya dia tidak maju sepenuhnya!

Dan malah menggunakan seluruh kekuatan untuk melawan

Deku.

Bukan, bukan Deku.

Sebuah suara kecil meralat jauh di balik benaknya. Suara yang selalu mengganggu anak dengan quirk peledak itu.

Izuku sudah lama sekali tidak menjadi deku.

Katsuki menggeram. Namun suara itu tidak hilang. Tetap ada. Walau jauh di belakang otaknya.

Dia tidak ingat kapan Izuku berubah.

Dia tidak ingat kapan Izuku berhenti mengikutinya.

Yang dia ingat, ketika menoleh ke belakang—

Izuku tidak ada di sana lagi.

Anak berambut hijau itu tiba-tiba menjadi lebih cepat. Lebih pintar. Saat masuk SMP, Bakugo sulit sekali menangkap. Terlalu licin layaknya belut. Jujur saja itu membuat Bakugo frustasi.

Dia juga lebih tenang di kelas. Menunduk. Berusaha tidak mencolok. Tidak memprotes ejekan. Hanya fokus belajar. Tidak peduli pada yang lain.

Kemudian—

Gadis berambut merah itu datang.

Dan mereka berdua seakan punya dunia sendiri.

Mereka seperti lem dan kertas. Rekat. Jika kau melihat satu, kemungkinan besar yang satunya lagi tidak jauh. Datang ke sekolah bersama. Pulang bersama. Bahkan Bakugo pernah menemukan mereka makan siang di atap.

Dia ingat gadis itu memotong sekaleng soda menjadi dua dengan benang quirknya.

Izuku tampak tidak menyadari keberadaan Bakugo. Sibuk bersorak dan mencatat apapun itu di bukunya. Namun, si rambut merah—

Dia berbalik.

Menatap Bakugo tepat di mata.

Dan tersenyum.

Bakugou tidak akan pernah mengakui kalau bulu kuduknya berdiri waktu itu.

Dia tidak tahu apa yang mereka berdua lakukan. Apa rencana mereka. Kenapa mereka tampak sibuk setiap waktu.

Lalu—

Semua berpuncak pada hari itu.

Kalimat Izuku yang tidak akan pernah dia lupakan seumur hidup.

'Silahkan'

'Aku punya impian baru. Dan aku masuk ke U.A. untuk Prodi Umum. Bukan untuk menjadi Pahlawan.'

Bukan untuk menjadi Pahlawan.

Bukan untuk menjadi Pahlawan.

Ini—ini Izuku, kan?

Bukan orang lain yang memakai wajahnya?

Ini Izuku yang mengidolakan All Might. Ini Izuku yang sedari kecil bermain Pro Hero dengan Bakugo. Ini Izuku yang menulis quirk di buku bodohnya dengan harapan agar bisa menjadi Pahlawan.

Apa yang terjadi?

Bukankah harusnya Bakugo puas? Bukankah harusnya dia senang anak quirkless itu berhenti mencoba?
Bukankah dia harusnya senang karena itu yang dia mau?

Jadi kenapa—

Kenapa—

'Kau menang, Katsuki.'

Kenapa dia tidak merasa menang?

***

"Murid-murid Prodi lain banyak yang meyakinkan tahun ini!"

Para guru sedang berkumpul di ruang rapat. Nezu berdiri di meja. Layar di belakangnya menunjukkan rekaman ulang Festival Olahraga.

"Tapi, sepertinya ada beberapa yang lebih mencolok dari yang lain!"

"Shinsou Hitoshi dan Midoriya Izuku," celetuk Kan Sekijiro—Vlad King.

"Jarang sekali ada anak Prodi Umum yang lulus sampai babak tiga. Sayang sekali, mereka harus saling mengalahkan."

"Quirk Shinsou bisa sangat berguna untuk menangkap Penjahat," ucap Kayama Nemuri—Midnight. "Dan Midoriya—"

"Walaupun tanpa quirk, dia punya otak dan peralatan yang menutupi itu," sambung Maijima Higari—Power Loader.

"Dan dia merancang semua alat rumit itu sendiri. Anak yang mengerikan."

"Coba lihat hasil pertandingan quartefinal-nya," imbuh Snipe. Dia memperhatikan rekaman di layar. Tepat sebelum kekuatan tongkat Izuku dan quirk Todoroki saling hantam.

"Todoroki boleh menang, tetapi Izuku yang lebih banyak mengenainya sebelum itu."

Semua guru mengangguk. Senyum Present Mic menjadi yang paling lebar diantara semuanya. Sementara itu, berkebalikan, All Might tampak bergerak tidak nyaman di tempat duduknya.

"Bukan dua anak itu saja."

Suara Aizawa mengagetkan yang lain.

Guru itu sudah tidak lagi dibalut perban. Sehingga wajah datarnya bisa kembali tampil ketika dia memberi gestur ke layar. Rekam ulang adegan lain mulai berputar.

Ada seseorang gadis berambut merah di sana.

"Aha! Kau jeli seperti biasa, Eraserhead!" ucap Nezu. Dia mengacak-acak dokumen yang ada di meja.

"Dorothea Tuning!" ucapnya. "Atau kalian kenal dia sebagai anak yang berusaha memperingatkan kita soal USJ!"

Present Mic dan Aizawa berjengit mendengar itu.

Mereka memperhatikan gadis di layar yang menggunakan quirknya untuk membebaskan diri dari kerumunan anak. Lalu menghadapi dua robot tanpa masalah. Gerakannya cepat dan praktikal. Benang memotong kepala besi dengan mulus.

"Seperti... dia sudah terbiasa," gumam Midnight.

"Tepat sekali!" ucap Nezu.

Adegan terus berputar. Menunjukkan gadis yang sama menuntun kawannya yang berambut biru keluar arena. Walaupun, jika dia berlari waktu itu, dia masih bisa lolos.

"MURID-MURIDKU SANGAT BAIK HATI!" jerit Present Mic. Telunjuk secara dramatis menyeka sudut mata. Seakan dia menangis.

"Kalau begitu—" Vlad King menggosok dagu. "Tiga orang ini yang akan kita transfer ke Prodi Pahlawan?"

"Kita tawarkan transfer ke Prodi Pahlawan."

Ralat dari Nezu itu membuat guru-guru lain terlihat bingung. All Might mengangkat alis.

"Menurut anda, mereka akan menolak?"

Kepala Sekolah itu terkekeh. Dia melihat ke layar. Yang kini menunjukkan foto resmi ketiga anak saling berjejer. Shinsou dengan wajah lelahnya, Dorothea yang mengulum senyum, dan Izuku yang tampak gugup.

"Untuk Shinsou, kupikir tidak."

Mata hitam kecil beralih ke foto dua yang lain.

"Tapi, Midoriya-san dan Miss Tuning, ada kemungkinan."

"Menolak?" Midnight mengangkat alis. "Aku tidak pernah dengar ada anak yang menolak dipindahkan ke Prodi Pahlawan."

"Oh, percayalah."

Senyum Nezu mengembang.

"Aku menggali sedikit soal mereka. Dan yang aku temukan sangat—unik."

Dia terkekeh. Kekehan kecil yang dalam. Kekehan yang biasanya berarti Nezu menemukan sesuatu yang menarik.

Dan ini Nezu.

Hal yang menarik baginya bisa berarti bencana atau berkah.

"Sebut saja—"

"Dua murid kita ini punya agenda lain yang tidak kalah penting."

***
.
.
.
.
.
.
.
.

A.N. :
Maaf ini agak weaksauce!
Harusnya ini aku up kemarin tapi selesainya baru jam segini :")

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com