32. New Day, New Problem
Bel berdering bertanda waktu ujian sudah selesai. Dorothea berjalan lesu keluar. Meratapi nasib mengingat jawaban abstrak yang dia bubuhkan pada detik-detik terakhir.
Eins seperti biasa melayang di belakang pundak dengan setia. Pandangan di mata semunya turut prihatin.
"Maaf aku tidak bisa banyak membantu."
Ya, beberapa kali si hantu memberinya uluran tangan di pelajaran seperti sejarah dan sastra Jepang. Namun, dalam matematika, seperti skill mereka ada di level yang sama.
Tidak bagus-bagus amat.
Gadis berambut merah itu mendesah. Namun, dia tersenyum menenangkan kepada si hantu. "Tidak masalah. Itu bukan salahmu," bisiknya pelan.
Tidak jauh, telinganya mendengar suara Izuku dan Shinsou yang sudah mendahuluinya. Dua anak itu sibuk berdebat.
"Aku menjawab 8 untuk nomor itu."
"Sungguh? Aku menjawab asal yang itu. Sial."
"Bagaimana dengan nomor tujuh? Aku menjawab 42."
"Eh? Nomor tujuh kau menjawab 42?"
"Err, yeah?"
"Aku dapat 21!"
"Shinsou, kau harusnya membaginya dulu baru—"
"Tolong diam," keluh Dorothea. Dia menutupi kuping dengan tangan. "Aku sudah muak dengan segala perhitungan ini. Yang berlalu biarlah berlalu."
"Datang, kerjakan, lupakan, eh?" goda Shinsou.
Bibir Dorothea maju beberapa senti. Namun, dia tidak bisa menyanggah anak ungu itu. Otaknya terasa terbakar walaupun dia secara teknis hanya menghitung di soal yang dia paham. Itupun belum pasti benar.
"Ughh, sudahlah. Ayo ke kantin. Kepalaku butuh energi tambahan setelah neraka tadi."
"Kau berlebihan, Dorothea-chan."
"Aku bukan genius sepertimu, Izuku-kun."
***
Lunch Rush memberi mereka porsi besar hari itu. Mungkin tahu bahwa anak-anak yang sudah bersusah payah ujian butuh sedikit dihibur. Apapun itu, Dorothea berterimakasih atas sepotong roti isi tambahan di piringnya.
Trio itu membawa nampan mereka yang sekarang penuh dan mulai mencari tempat duduk. Untung saja, di tengah lautan siswa kelaparan, seseorang berambut merah-putih sudah menjagakan tiga kursi untuk mereka. Di sampingnya, tampak remaja berkacamata dan gadis berambut cokelat yang familiar.
"Kalian lama," cetus Todoroki ketika trio 1-C itu sudah dekat. Shinsou mendesah kecil.
"Hari ini kami dapat matematika. Kau tahu perasaan Dorothea soal itu."
"HEI!"
"Senang bertemu denganmu lagi, Izuku-kun!" sapa Uraraka Ochako. Iida yang duduk di sebelahnya ikut mengangguk.
"Aku juga." Izuku terkikik.
Mereka duduk sebelum fokus melahap makanan. Sesekali kunyahan disela oleh obrolan bertopik ringan. Mulai dari ujian yang mereka kerjakan tadi sampai berita-berita baru yang muncul di televisi.
"Oh! Apa kalian sudah dengar soal Stain—AH!"
Ucapan Uraraka terputus ketika seseorang mendorong kursinya. Sang gadis pemanipulasi gravitasi itu tersentak ke depan. Hampir menyenggol mangkok berisi nasinya.
"Oh, jadi ini kelas 1-A yang sering dielu-elukan itu~?"
Suara itu membuat mereka menoleh. Pandangan terpaku pada seorang anak rambut pirang yang tampak necis. Satu tangan membawa nampan, sementara tangan yang lain digunakan untuk menutupi mulut yang tertawa.
"Setelah dilihat, kalian tidak terlalu impresif, ya~?"
Lagi-lagi nada mengejek.
Shinsou mendecih kecil.
"Apa maumu?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Hei, ini urusan antara Prodi Pahlawan. Anak 1-C seperti kalian—"
"Pikirkan baik-baik apa yang akan kau katakan selanjutnya, mate."
Nada tajam kalimat yang merembes dari mulut Dorothea membuat semua yang duduk di meja tersentak. Mata emas menatap tajam. Jemari sang gadis berkedut. Seakan gatal mengeluarkan benangnya.
Si Pirang tertegun. Akan tetapi, kembali memasang senyum miring.
"Yah, ini persaingan antara kami. Kelas 1-C sepertinya tidak berhak—"
"Lucu."
Izuku yang menyela kali ini. Diikuti oleh kikik kecil tanpa humor.
Udara seakan menjadi dingin di sekitar mereka. Dan kali ini, bukan karena Eins.
"Kupikir kau terlalu meremehkan kami, hmm? Kami. Murid 1-C yang berhasil lolos ke babak terakhir Festival Olahraga."
Dengan elegan, anak itu menyenderkan pipi ke tangan yang bertumpu di meja. Mata hijau mengintip dibalik surai yang sama hijaunya. Menantang.
"Secara teknis, kami mengalahkanmu. Bukankah itu berarti kami juga bisa bersaing?"
Kali ini, anak kelas 1-B itu terlonjak.
"Y-yah, itu—!"
BATS!
Dia ambruk—
Seseorang memukul tengkuknya dari belakang.
Namun, orang itu juga yang menangkapnya—begitu juga dengan nampannya—sebelum jatuh ke tanah.
"Maafkan teman sekelasku ini! Kadang dia tidak bisa menjaga mulutnya!" ucap gadis berkucir kuda itu. Dia menundukkan kepala sedikit. Lalu melirik pada Todoroki, Uraraka, dan Iida.
"Ah, apakah kalian sudah siap untuk ujian praktik? Ada yang bilang, kita akan melawan robot!"
Uraraka yang pertama kali sadar dari keterkejutannya. Dia langsung memasang senyum.
"T-terima kasih informasinya! Kami akan ingat itu!"
Si gadis mengangguk. Sebelum berbalik pergi. Menggeret bocah pirang yang masih pingsan. Sementara orang-orang di meja saling bertukar pandang.
"What an asshole," cibir Dorothea. Menarik sehelai selada dari rotinya.
"Kalian Prodi Pahlawan memang spesies yang unik."
"Dorothea-chan!" pekik Izuku sembari menyikut sahabatnya itu. "Tidak boleh mengatai orang!"
"Lagipula hipokrit sekali kau bilang begitu." Todoroki menyela. "Kalian adalah anak paling aneh yang pernah kutemui dan kalian semua dari Prodi Umum."
Uraraka menelengkan kepala. "Huh? Aneh bagaimana, Todoroki-kun?"
"Orang 'normal' tidak bisa menghajarku habis-habisan dengan alat support buatan sendiri." Todoroki melirik Izuku. Lalu beralih ke Dorothea.
"Dan kau. Banyak sekali yang salah dalam hidupmu."
Sang gadis hanya menyeringai tanpa dosa. Kemudian menoleh pada teman-teman calon Pahlawannya.
"Perempuan tadi mengatakan sesuatu soal ujian praktik?"
"Benar sekali Dorothea-san!" ucap Iida. Tangan naik-turun memotong udara seperti biasa.
"Prodi Pahlawan mendapat ujian praktikum khusus. Seperti Prodi Support yang harus membuat temuan inovatif dan Prodi Bisnis yang harus mempraktikkan teknik sales mereka!"
"Dan seperti biasa, Prodi Umum terlupakan," ucap Shinsou.
Dorothea tertawa. "Well, aku tidak akan protes kali ini. Kita dapat lebih banyak waktu luang."
"Kalian bilang Prodi Support juga dapat praktik? Aku penasaran apa yang Mei-san buat!"
Pembicaraan hanyut pada topik-topik baru. Anak aneh berambut kuning tadi sudah terlupakan. Diganti pembahasan tentang seberapa besar kira-kira ledakan yang akan dibuat Hatsume Mei saat ujian praktik nanti.
***
Empat langkah kaki berderap menunju pintu gerbang. Bel pulang yang berbunyi mengiringi gerak gontai para murid yang pasti sudah merindukan kasur mereka.
"Tiga hari yang melelahkan!" ucap Izuku sembari mengolet.
Todoroki berdehum di sebelahnya. "Belum untuk kami."
"Yeah... ada baiknya aku berhenti ingin jadi Pahlawan."
"Bila aku melakukan itu, Pak Tua pasti akan murka."
"Ngomong-ngomong soal Endeavor—"
"Tidak, Dorothea-chan. Kau juga tidak boleh membunuh Pahlawan nomor dua."
"Kau tidak pernah membiarkanku bersenang-senang, Izuku-kun."
"Aku 100% yakin 'pembunuhan' tidak bisa masuk dalam kategori bersenang-senang."
"Kuharap kalian tidak merencanakan apapun, problem children."
Yang bicara terakhir itu bukan salah satu dari mereka. Nadanya berat dan datar, membuat keempat anak berbalik.
Eraserhead ada di sana dengan ekspresi datarnya. Bibir terlipat menjadi garis lurus yang bosan.
"Aizawa-sensei?" gumam Todoroki. "Ada yang bisa kami bantu?"
Si Pro Hero mendesah kecil. Menyilangkan tangan di depan dada.
"Bisa kau ikut denganku sebentar, Dorothea? Nezu ingin bicara."
Keempat anak saling pandang. Perasaan tidak enak mulai terkumpul di perut gadis itu. Namun, dia dengan cepat memasang senyum. Walaupun ekspresi itu tidak mencapai mata emasnya.
"Kalian duluan saja," ucapnya sembari mengibaskan tangan.
"Kalau kau pikir kami akan membiarkanmu pulang sendirian, kau salah besar." Shinsou langsung menggeleng. Akan tetapi, dia tetap membalikkan badan. Sebelum melempar satu tatapan serius ke Dorothea.
"Kami akan menunggu di gerbang, bergegaslah. Saya permisi, Aizawa-sensei."
Anak violet itu lalu berjalan pergi. Diikuti Todoroki dan Izuku yang turut mengucapkan pamit mereka.
Setelah ketiga laki-laki itu cukup jauh, Dorothea berpaling menatap gurunya.
"Jadi...?"
"Ikuti aku. Kita bicara di lounge room."
***
"Ah, Miss Tuning! Masuklah!"
Suara tinggi Nezu menyapanya dari ruang guru. Dia tidak sendirian di sana. Seorang detektif yang tidak asing berdiri di sampingnya.
Detektif Tsukauchi.
"Silahkan duduk. Apa kau mau teh, Miss Tuning? Teh melati? Oolong?"
Dorothea duduk. Lalu menolak tawaran teh itu dengan lembut. Dia bergerak dengan gelisah.
"Maaf Nezu-san, bisa kita langsung ke intinya saja?" tanya Dorothea. Perasaan ini familiar. Seperti waktu pertama kali dia ditanyai soal USJ.
Aura dingin Eins ada di punggungnya. Dan Dorothea menarik napas panjang.
"Ah, memang tidak ada cara yang mudah mengatakan ini tetapi—"
"Kuba Hisao melarikan diri dari penjara."
Dan dengan kalimat itu.
Hancur sudah harapan Dorothea tentang kedamaian.
Dia menghela napas berat.
"Oh...," ucapnya pelan. "Aku harusnya menebak itu, huh?"
Beberapa menit, diam menghuni ruangan. Dorothea berusaha mencerna semuanya. Otak mulai mengaitkan setiap peristiwa seperti puzzle.
Pertama serangan Seren di Hosu.
Lalu Kuba melarikan diri.
Tidak—tidak mungkin semudah itu.
Apa Seren membantunya?
Itu sebuah posibilitas. Tapi bagaimana—
"Dorothea?" suara Aizawa membuat dia tersentak. "Kau baik-baik saja?"
Hawa dingin dari Eins terasa mengguyur ke kepalanya. Jari-jari spektral hantu itu 'mengelus' rambut merah. Dingin itu mengikatnya pada realita.
"Aku—" suara Dorothea tercekat. "Apa kalian tahu detailnya? Apa yang terjadi?"
"Mereka berdua berhasil lari menggunakan portal dari penjahat lain, Kurogiri," Detektif Tsukauchi angkat bicara.
"USJ," bisik Eins. Dorothea mengangguk kecil.
"Berarti... mereka benar-benar bekerjasama dengan League of Villain, huh?"
"Ah?" Dua manik keleren Nezu menatapnya penasaran.
"Aku tidak tahu soal ini. Apa itu sebuah kemungkinan?"
Si gadis mendengus. Rasanya sulit percaya bahwa Nezu bisa tidak tahu soal sesuatu. Dorothea yakin tikus satu itu omnipoten.
"Ya, aku mengumpulkan informasi sampingan dan—" Dorothea menggigit bibir. "Aku menemukan bukti yang menghubungkan The Silent Hands dengan League of Villain."
Gambaran Tanda Perasukan di dahi Ando Kuroo terlintas sejenak di kepala.
"Begitu," gumam si kepala sekolah. Dia menggosok cakar berbulunya.
"Oh, dan—" Nezu menyela. "Detektif Tsukauchi di sini sudah tahu soal situasi-mu. Kuharap kau tidak keberatan."
Mata emas membulat. "Uh, aku tidak keberatan. Tetapi, Nikky mungkin punya satu dua kata untuk diucapkan soal itu."
"Dan aku tidak yakin kata-kata itu menyenangkan," imbuh Eins.
"Maafkan kami, Tuning-san," ucap Detektif Tsukauchi. "Kami tidak bisa mengutus polisi untuk perlindungan. Informasi ini terlalu sensitif. Aku tidak tahu siapa yang seratus persen bisa kupercaya. Aku sendiri masih tidak sepenuhnya paham."
"Kami akan segera mencari tahu keberadaan mereka," suara Aizawa terdengar keras dan mantap. "Kami juga akan menghubungi Nikky Ito dan Monika Ashling. Mereka pasti membantu."
Nezu menepukkan tangannya. "Nah, sebelum itu, kita harus mencari cara membuatmu tetap aman!"
Dorothea berkedip. Dia tidak tahu harus mengatakan apa.
"Aku belum mempunyai rencana jangka panjang. Namun, aku punya rencana untuk melindungimu setidaknya beberapa hari."
Gadis itu menatap wajah si Kepala Sekolah yang tampak tersenyum polos.
"Apa rencanamu?"
"Dorothea Tuning—"
Ada jeda. Mungkin untuk efek dramatisasi.
"Apa pendapatmu soal training camp?"
***
.
.
.
.
.
.
.
A.N. :
Jadi... aku belum mati.
Maaf lama sekali. Sekarang author sudah mulai kuliah, jadi begitulah (╥﹏╥)
Aku akan terus menulis di waktu luang yang kupunya. Semoga kalian suka chapter ini!
Ngomong-ngomong, kalau kalian baca sampai sini, boleh dong berbagi soal apa yang kalian suka dari Normal-verse :v
Yeah, anyway... sekali lagi, aku minta maaf. Tapi kita akan segera masuk Training Camp Arc! Itu artinya kita sudah dekat arc terakhir, woohoo!
And as always...
Thank u for reading! :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com