Chào các bạn! Truyen4U chính thức đã quay trở lại rồi đây!^^. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền Truyen4U.Com này nhé! Mãi yêu... ♥

37. Different Perspective

Wajah para calon Pahlawan yang pucat pasi seusai latihan sudah cukup untuk membuat Dorothea merasa kasihan.

Namun, ekspresi anak kelas 1-A dan 1-B ketika Ragdoll berkata mereka harus membuat makan malam sendiri membuat sang gadis ingin memberikan bocah-bocah malang itu pelukan.

Untung saja, Iida langsung menyemangati mereka.

Jadi, memasak dimulai.

Izuku dan Dorothea tentu ikut turut tangan. Sang gadis membantu memotong dan mengupas sayuran. Sementara anak yang satunya membantu di tungku untuk menjaga api.

Tidak lama, acara memasak itu selesai. Anak-anak yang kelaparan itu langsung menyerbu nasi dan kari yang baru matang dengan rakus.

"Mereka mirip sekawanan serigala," celetuk Dorothea.

Izuku langsung membungkam sang sahabat dengan menyikutnya, sementara Eins terkekeh.

Kedua anak itu memang yang paling sedikit membakar kalori. Seharian, Izuku hanya mengutak-atik peralatan. Dorothea malah hanya duduk-duduk dan mencatat informasi untuk artikel. Maka, mereka tidak keberatan mengambil jatah makan paling akhir.

Pada akhirnya, dua anak itu duduk bersama Iida, Tsuyu, Uraraka, dan Todoroki. Menikmati kari mereka sembari mengobrol ringan.

"Kau mengatakan hal seperti itu kepada Stain?!" pekik Uraraka.

Iida memang sedang merekap kejadian di Hosu.

"Aku hanya bertindak sesuai adrenalin!" Izuku mengelak. "Filter otak-ke-mulut mati waktu itu!"

Dorothea tergelak disebelahnya. Tangan memelintir surai rambut merah selagi dia tersenyum jahil.

"Jangan dengarkan Izuku-kun," ucapnya disela terkekeh. "Bahkan tanpa adrenalin, anak ini sama nekatnya."

"Lucu kau bilang begitu. Ingat siapa yang melempar obat tidur ke Stain?"

"Shut your mouth, Candy Cane."

Anak-anak itu tertawa. Bahkan Todoroki tersenyum sedikit. Bunyi kelontang alat makan mengiringi mereka. Hiruk-pikuk yang lain sibuk menyantap makan malam juga meramaikan udara.

Walau lelah karena sudah berlatih, malam itu tetap sangat meriah.

"Aku sudah selesai." Dorothea bangkit dari tempat duduknya. Dia mengumpulkan alat makannya. "Aku kembali duluan, ya."

"Ah, baiklah, Dorothea-kun!"

"Selamat istirahat, Dorothea."

"Sampai nanti, Dorothea-chan."

Si rambut merah melempar senyum. Sebelum berjalan menjauh dari meja kayu. Dia mencuci piring, menaruhnya dengan tumpukan yang lain, kemudian berjalan menjauhi kerumunan murid yang lapar.

Eins melayang disamping sang gadis dengan setia. Tubuhnya dalam pose tidur terlentang di udara. Lengkap dengan tangan terlipat di belakang kepala.

"Apa kau sungguh sudah mengantuk?"

Mulut Dorothea hanya berdehum. Sang gadis meregangkan tubuh. Merasakan tulang-tulangnya bergemeletuk karena duduk seharian.

Hantu itu benar. Dia belum mengantuk.

Itu yang terjadi jika kau terbiasa bergadang untuk berlarian memburu demon.

Seperti bisa membaca wajahnya, Eins hanya tersenyum simpul. Kemudian 'menepuk' rambut merah sang gadis.

"Ngomong-ngomong soal belum tidur, sepertinya ada bocah kecil yang masih terjaga juga."

Kepala Dorothea dimiringkan. Wajah memasang ekspresi bingung. Matanya mengikuti tangan pucat Eins yang menunjuk.

Tampak Kota berjalan menjauh. Tidak menghiraukan panggilan Mandalay untuk makan malam.

Dorothea memandang hantu di sebelahnya sejenak. Kemudian mulai mengambil langkah cepat untuk mengikuti anak bertopi merah itu.

***

Pada akhirnya, gadis itu menemukan Kota di sebuah gua di atas tebing. Kepalanya tengadah ke langit. Namun, anak itu jelas sedang melamun. Fokus ada pada pikirannya. Bukan pada bintang-bintang di angkasa.

"Halo, Kota?" sapa Dorothea lembut.

Anak bertopi itu tersentak. Menoleh kebelakang. Bahunya menjadi rileks ketika melihat sang gadis.

"Kakak Pendongeng?"

"Huh?" Dorothea mengulum senyum. "Aku punya nama, loh."

Kota berpaling. Menunduk. Namun, pipinya yang memerah masih dapat terlihat. Dorothea tidak bisa menahan tawa kecil yang keluar dari bibirnya.

"Kau boleh panggil aku Dorothea, Kota-kun," ucap yang lebih tua. "Aku boleh duduk di sini?"

Tidak ada jawaban. Anak di depannya diam sejenak. Tampak ragu. Sebelum akhirnya memberi anggukan kecil.

"Tapi! Kau tidak boleh memberitahu orang lain soal tempat ini! Janji?"

Dorothea tertawa kecil.

Bagaimanapun, dia masih anak-anak.

"Janji kelingking!" jawabnya. Mengangkat kelingking jari kirinya.

Kota menatap jari yang diacungkan. Lalu, perlahan mengaitkan jari kelingkingnya dengan sang gadis.

Senyum Dorothea melebar. Dia lalu duduk di samping bocah itu. Sama-sama melihat langit. Eins melayang agak jauh dari mereka.

"Apa tempat ini markas rahasiamu, Kota-kun?" tanya Dorothea.

Anak bertopi itu menoleh kepadanya. Lalu mengangkat bahu. "Semacam itu... bahkan para Pussycats tidak tahu tempat ini."

"Cool," gumam Dorothea. "Mengingatkanku dengan loteng rumah saat masih tinggal di London. Dulu aku sering menyembunyikan makanan ringan di sana."

Gadis itu tertawa kecil. Dia melirik ke Kota yang terdiam.

"Ngomong-ngomong, apa kau sudah makan? Kau tahu, di bawah kami memasak kari—"

"Aku tidak sudi bergerombol dengan para Pahlawan idiot itu!"

Ah...

Wajah Kota yang tadinya datar kini mengerut marah. Dia membuang muka.

"Terus memanggil orang dengan kata Penjahat dan Pahlawan. Lalu saling membunuh—"

"—aku muak! Gara-gara quirk—semuanya—semuanya kacau!"

"Aku mengerti," ucap Dorothea. "Aku mengerti, Kota-kun."

Mata anak itu melebar. Lalu berpaling. "Dan?"

Dorothea memiringkan kepala. "Dan apa?"

"Biasanya kalian orang dewasa selalu menasehatiku..."

Gadis di sampingnya tertawa canggung. "Aku masih remaja. Lagipula, kau boleh berpendapat sesukamu, kok."

Mereka kembali duduk dalam diam. Sama-sama kembali menatap angkasa. Perlahan, Kota menoleh ke Dorothea.

"Dorothea-san," bisiknya. "Kau pernah bilang kau tidak ingin menjadi Pahlawan. Apa kau membenci mereka?"

Dorothea berdehum. "Tidak. Tidak juga. Benci itu label yang kuat. Daripada benci aku lebih merasa.... netral."

Kepala sang gadis mendongak sedikit.

"Jujur, aku tinggal di lingkungan yang tidak terlalu peduli soal Pahlawan. Bagi kami, mereka sama saja dengan penegak hukum lain. Hanya mereka juga mirip selebriti dan beberapa kadang lebih sering mengutamakan bagian selebritinya daripada bagian 'penegak hukum'-nya."

Telapak tangannya terkepal di atas paha. Dorothea lalu menolehkan kepala ke anak disampingnya.

"Tapi, tidak semua Pahlawan seperti itu, kan?"

Mereka berdua diam.

Sang gadis berdehum kecil. Lalu membuka mulut.

"Kalau Kota-kun sendiri, kenapa tidak suka Pahlawan?"

"Eh?" Anak itu tersentak. Menoleh ke arah Dorothea dengan wajah kaget.

"Aku dengar Ayah dan Ibumu Pahlawan," ucap gadis itu hati-hati. "Jadi aku agak penasaran—"

"Karena—karena Pahlawan itu bodoh!" jeritnya. Dia bangkit. Menghadap si gadis. Tangan kecil terkepal sampai buku-buku jarinya.

"Karena mereka merusak semuanya! Dan—dan—"

Kota menunduk. Mata tertutup oleh moncong topi. Dia menggigit bibit.

"Kalau Mama dan Papa bukan Pahlawan—"

Suara anak itu bergetar.

"Mereka—mereka bisa masih hidup."

Hati Dorothea mencelus.

Tangan terulur tanpa sadar. Dorothea mendekapnya lembut. Sang anak membiarkan. Tidak menarik diri. Malah membenamkan kepala di pundak gadis itu.

"Ssh, ssh, tidak apa Kota-kun. Lepaskan saja."

Kau sebenarnya tidak membenci Pahlawan, kan?

Kau benci ditinggal oleh orang tuamu.

"Tidak adil," bisik Kota. "Kenapa mereka harus jadi Pahlawan?! Kenapa mereka harus pergi?!"

Dorothea melepaskan pelukannya. Kota masih berdiri. Sementara si rambut merah bersimpuh agar mereka bisa saling tatap.

"Karena, Mama dan Papa Kota-kun itu orang baik."

Jari lentik menghapus air mata yang mengalir di pipi anak itu. Dorothea berusaha tidak ikut menangis.

"Mereka ingin menyelamatkan banyak orang. Dan aku yakin, mereka pasti melakukan itu agar Kota-kun bisa hidup aman juga."

Anak di depannya mengusap mata dengan kepalan. Sementara Dorothea mengelus pundaknya dengan lembut.

"Ada beberapa Pahlawan yang mungkin patut dibenci," bisik Dorothea. "Tetapi, orang tua Kota-kun tidak termasuk bagian itu, kan?"

"Tentu tidak!" pekik Kota sesegukan. "Mereka—mereka baik—"

"Aku tahu, aku tahu." Dorothea menenangkan. Dia tersenyum lembut.

"Aku yakin, teman-temanku di bawah, mereka juga berusaha menjadi Pahlawan yang baik juga. Sama seperti Papa dan Mama Kota-kun."

Tangan Dorothea meraup pipi anak itu. Mata emas memandang ke hitam.

"Jadi, daripada langsung membenci Pahlawan, bagaimana jika kita menilai mereka lewat diri mereka?"

Senyum manis tersungging di bibir perempuan itu.

"Pahlawan, Penjahat, itu hanya label. Aku lebih suka menilai mereka sebagai manusia."

Kota terkesiap.

Entah karena terkejut atau karena paham apa yang dimaksud oleh yang lebih tua. Akhirnya, anak itu mengangguk kecil.

"Tetapi, mereka harus benar-benar membuktikan diri," ucap Kota pelan. Wajahnya kembali merengut. Tangan cepat-cepat mengusap sisa air mata. Wajah memerah malu.

Dorothea tersenyum kecil.

Anak ini ternyata imut sekali!

"Tentu saja, toh, kita tidak bisa langsung percaya dengan orang lain, kan?" ujarnya sembari terkikik. Dia menepuk-nepuk kepala anak itu.

"Ah, sepertinya aku harus turun. Kau mau ikut? Kau juga belum makan, kan?"

Kota diam. Memainkan ujung kausnya. "Tapi... aku masih mau di sini."

"Ah, kalau begitu, mau aku ambilkan—"

"Sudah kuurus!"

Suara baru yang menyeletuk membuat dua orang itu tersentak. Mereka menoleh.

Tampak anak berambut hijau yang berdiri dengan senyum canggung. Tangannya membawa sepiring kari dan nasi.

"Izuku-kun!" sapa Dorothea.

"Aku mencarimu, tadi ada yang bilang kau mengikuti Kota," jawab sang anak sembari menggaruk rambut. "Jadi, sekalian saja kubawakan makanan malam untuknya."

Piring diulurkan ke anak bertopi merah itu. Yang diterima dengan ragu-ragu. Izuku tersenyum simpul. Sebelum kembali pada Dorothea.

"Aizawa-sensei bilang ini hampir jam tidur, kita harus kembali."

"Ah, baik. Kota-kun—"

Dorothea menoleh padanya, anak itu hanya menggeleng.

"Tidak apa," ucapnya. "Aku bisa turun sendiri."

"Oh, baiklah. Hati-hati, ya!"

Kota mengangguk. Kemudian melempar pandangan ke Izuku. Matanya menyipit tajam.

"Hei Rambut Brokoli!"

Yang dipanggil tersentak. Bagai rusa yang tertangkap moncong senapan. Menunjuk ke dirinya sendiri. Dorothea menutup mulut menahan tawa. Kota mendengus.

"Kau tidak boleh cerita soal tempat ini ke siapapun, mengerti?!"

"Ah..." Izuku terkekeh. Kemudian mengangguk. "Tentu Kota-kun! Kami turun dulu, ya!"

Keduanya melambaikan tangan. Kota tidak membalas. Hanya berpaling. Sebelum dengan ragu melambaikan tangannya juga. Dorothea dan Izuku tersenyum.

Mereka berjalan beriringan menuruni tempat itu. Eins mengikuti dari belakang. Melayang dekat seperti biasa.

Dorothea mengeratkan syalnya ketika angin malam menderu lebih keras. Dia melirik Izuku. Sang sahabat tampak melamun.

"Jadi... berapa lama kau menguping pembicaraan kami?" celetuknya.

Izuku balas menoleh. Lalu tersenyum geli.

"Ouch, tuduhan yang menyakitkan Dorothea-chan!"

Kalimat itu dibalas oleh pukulan pelan di bahu. Yang disambut oleh rentetan tawa dari Izuku.

"Tidak lama," ucap si rambut hijau pada akhirnya. "Hanya mendapat sedikit di akhir."

Dorothea mendengus. Entah dia harus percaya dengan senyum polos Izuku atau tidak. Mereka ada di frekuensi yang sama. Dia tahu kawannya itu bisa bemulut licin kalau dia mau.

Tetapi, sepertinya itu tidak penting. Lagipula, obrolannya dengan Kota hanya sekedar obrolan biasa. Tidak membahas rahasia dunia atau hal semacam itu.

"Tetapi..." Izuku bergumam. Jarinya mengelus-elus dagu. "Aku penasaran dengan satu hal."

"Apa?" Dorothea mengangkat alis.

"Tadi kau bilang teman-teman kita di bawah bisa menjadi Pahlawan yang baik," reka Izuku sembari tersenyum.

"Apa kau sungguh yakin soal itu, Miss 'Aku-tidak-peduli-soal-Pahlawan'?"

Dorothea terdiam.

Dia baru sadar bahwa kata-katanya tadi itu memang sangat di luar karakter.

"Entahlah," jawabnya. "Kamu tahu sendiri manusia itu dinamik. Mereka bisa jadi idealis sekarang, tetapi kedepannya? Siapa yang tahu."

"Dasar pesimis."

"Realistis," koreksi Dorothea.

Tangan gadis itu dilipat di dada. Dia berdehum sembari menatap jalan menurun di depan.

"Yah, aku percaya pada Shinsou, Todoroki, Iida, dan yang lainnya. Mereka sepertinya tidak akan menjadi korup semudah itu."

"Dan kalau iya?" tanya Izuku. Sudut bibirnya tertarik ke atas.

Dorothea balas menyeringai.

"Kita bisa ada untuk meluruskan mereka."

Keduanya terkekeh. Eins menggelengkan kepalanya. Ikut tersenyum. Sebelum 'menaruh' tangan pucat di bahu Dorothea. Membuat sang gadis menggigil sedikit.

"Seandainya kalian tak sibuk, salah satu dari kalian pasti akan cocok menjadi penerusku."

Alis sang gadis terangkat. Meminta penjelsan lebih lanjut tanpa suara.

Hantu itu malah terkikik. Tidak menjawab. Hanya menaruh telunjuk di depan bibirnya.

Dorothea hanya bisa menggelengkan kepala. Eins kadang menyampaikan hal-hal aneh seperti itu.

"What a cryptic bastard."

"Hei!"

"Kau mengatakan sesuatu, Dorothea-chan?"

"Untuk Eins," jawabnya sembari mengangkat bahu. "Dia berbicara dalam teka-teki."

Kini sang penampakan merengut. Akan tetapi, dia tetap 'melingkarkan' tangannya di pundak Dorothea. Jadi si rambut merah tau bahwa kawan tak kasat matanya itu tidak benar-benar marah.

Selanjutnya, perjalanan menuruni bukit diisi diam. Keheningan nyaman menyelimuti mereka bagai angin dingin yang dibawa malam.

Selama beberapa detik, masalah mereka seperti terhapus dari pikiran.

***
.
.
.
.
.
.
.

A.N. :
...

Author akhirnya bangkit dari kubur, hahaha.

Anyway, gimana gimana? Kangen nggak sama series ini? Maaf ya, aku sibuk banget di irl dan ide buat cerita ini agak ngaret beberapa saat. Tapi semoga chapter ini memuaskan.

Terima kasih sudah membaca!

Btw, boleh tulis gimana harapan kalian soal plot di sini. Prediksi atau teori juga boleh! >_<

Yah, segitu dulu dari author. Semoga chapter ini bisa dinikmati.

Thank u for reading! :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com