Chào các bạn! Truyen4U chính thức đã quay trở lại rồi đây!^^. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền Truyen4U.Com này nhé! Mãi yêu... ♥

39. Midnight Walk

Dari tempatnya duduk di salah satu cabang ranting pohon tinggi, Seren dapat melihat banyak hal. Mulai dari bebatuan besar sampai tumbuhan yang menghiasi lantai hutan. Akan tetapi, tentu bukan itu yang menjadi incaran matanya.

Melainkan sekelebat rambut merah.

Iris gelap berkilat dari balik tudung ketika dia mengamati Dorothea Tuning bergerak. Sang gadis tampak diikuti oleh bocah berambut pirang pasir. Sungguh malang nasibnya, terpisah dari si hijau yang loyal dan biasa menemani. Namun, harusnya ini menjadi semakin mudah. Mengingat satu pemburu lebih gampang diatasi daripada dua.

"Belum, belum..." Seren bergumam pada dirinya sendiri. "Harus menunggu tanda si arsonist itu. Dan si bocah gas. Siapa namanya—Mayonaise? Ah, bukan—Mustard!"

Tawa kecil menghiasi bibir Seren. Ditutupi oleh tangan kiri. Sementara tangan kanan memainkan lempengan bulat keemasan. Batu hitam yang ada di tengah benda itu berkilat di bawah cahaya bulan.

Demonic Amulet.

"Sebentar lagi," ucap Seren pada kegelapan malam.

"Kami akan mendapatkanmu, Sang Mata."

***

Gemeresak daun seperti bergema dalam malam yang hening—

"GAH! Kenapa aku harus terjebak denganmu?!"

Yah, mungkin tidak hening juga.

Dorothea bertaruh teriakan Bakugou pasti menggema di seluruh hutan. Sang gadis tidak yakin apa dia harus membekap mulut atau sekalian mencekik anak itu. Lagipula, mereka ada di tengah hutan yang sepi, tidak akan ada yang tahu—

Ehem.

Kontrol dirimu, Dorothea.

Jadi, dia memilih menjaga jarak beberapa langkah di belakang Bakugou. Berjalan berdekatan dengan si dinamit hanya akan mengundang baku hantam.

"Ugh, ini yang terburuk," bisik Dorothea sembari mengusap wajahnya. Eins 'memeluk' lehernya dengan simpati.

"Kalau begitu, sebaiknya kalian menyelesaikan ini dengan cepat, hmm?"

"Itu yang aku mau," desis Dorothea. "Sayang Anak Bom ini memperlambat kita dengan omong kosongnya."

"HEH?! KAU BILANG APA, MESIN JAHIT?!"

Bakugou berbalik. Iris merahnya beradu dengan iris emas Dorothea yang tampak bosan. Tidak tersinggung, hanya kesal.

"I said what I said, Baka-gou."

Jawaban sang gadis itu membuat hidung rekannya kembang kempis. Dorothea tidak peduli. Dia melipat tangan di depan dada. Berjalan melewati si pirang dengan santai.

"Kita berdua sama-sama tidak menyukai ini. Jadi, berhentilah mengoceh! Semakin cepat ini selesai, semakin baik."

"JANGAN SOK MEMERINTAH!"

Bakugou bersumpah serapah. Tak lama, kakinya berderap untuk menyusul Dorothea.  Sang gadis bisa merasakan pandangan dua netra merah terpaku pada belakang kepalanya. Jika Dorothea tidak terbiasa dengan hantu atau situasi berbahaya lainnya, tatapan yang diberikan Bakugou pasti sudah membuatnya merinding. Gadis itu mendengus, membatin sembari mengatur napasnya.

Cukup ikuti jalur, ambil tanda dengan nama kita, lalu kembali. Dan jangan sampai kaget karena anak kelas 1-B. 

Setelah pikiran itu terlintas—

Sebuah kepala menyembul dari tanah.

Kaki Dorothea menginjaknya.

"Ow!"

"Shit!"

Kaki Dorothea hampir terjengkal ke belakang. Sementara tubuh si kepala termuntahkan dari tanah. Seorang anak berambut hitam dan berbaju putih kini terduduk. Tangan mengelus dahi yang tadi diratakan sol sepatu. Anak itu mengaduh, namun tidak tampak terlalu kesakitan.

"Kodai!" Jeritan terdengar dari balik semak. Dua orang menyembul dari balik semak. Dorothea mengenali salah satu yang berambut jingga sebagai teman anak pirang bermulut pedas yang pernah mencari masalah di kafetaria. "Kau baik-baik saja?!"

Mata emas membelalak. Tersadar bahwa yang baru diinjaknya adalah murid lain. Murid itu seharusnya menakut-nakutinya.

"Astaga!" pekik Dorothea. Dia buru-buru membantu gadis yang dipanggil Kodai tadi berdiri. Kemudian menyapu rambut hitam dari dahinya. Memastikan tidak ada lecet parah di sana. 

"Maaf." Dorothea berbisik. "Aku pikir kau yang asli!"

"Yang asli?"

Sial, keceplosan!

"Bukan apa-apa!" balas Dorothea cepat. Kepala menengok ke belakang. Melihat Bakugou yang terpaku. Dia langsung menyambar lengan anak laki-laki itu. Menariknya menjauh. Senyum canggung dilemparkan pada Kodai yang menatap datar.

"Uhm, maaf lagi soal kepalamu! Tapi—sebaiknya kami—em, pergi! Sampai nanti!"

Genggaman erat Dorothea memaksa Bakugou untuk menyamakan langkahnya. Tidak lama, kedua anak itu sudah menghilang dibalik vegetasi hutan. Meninggalkan tiga anak kelas 1-B yang saling menatap heran.

***

"Midoriya, apa kau baik?"

Pertanyaan Todoroki membuat anak itu terlonjak. Dia sibuk dalam pikirannya sehingga tidak menyadari bahwa kawannya itu kini berada di sampingnya. Agak jauh dari murid-murid U.A. yang lain. 

"Ah, maaf Todoroki-kun, aku melamun."

Sejenak, netra biru-abu-abu mengamatinya lekat. 

"Apa kau khawatir soal Dorothea?"

"Aku khawatir soal banyak hal," ralat Izuku. Dia mendesah dan berbisik, "Dorothea juga salah satunya. Bukan hanya karena dia temanku, tetapi karena dia juga Sang Mata. Jatuh ke tangan yang salah, kita tamat. Dunia tamat."

Sudut mata Todoroki berkedut. Setelah Hosu, dia paham pentingnya Children of Earth. Namun, mendengar Izuku menjabarkannya seperti itu—bahwa satu kesalahan kecil dapat berakhir dengan kepunahan manusia—rasanya sangat memberi deskripsi jelas tentang urgensi tugas mereka. Kini, tatapan Todoroki dilemparkan pada hutan. Lalu pada teman-temannya yang belum melakukan uji nyali. Saling bercanda dan tertawa. 

"Apakah ini alasanmu menghajarku saat festival olahraga?"

"Eh?"

"Karena aku tidak serius," kata Todoroki datar. "Tidak sepertimu. Kau memberikan semua yang aku punya, sedangkan aku—"

Jemari Todoroki terkepal. Dia mengalihkan pandangan. Membuat rambut dwiwarnanya tersibak.

"Aku yang waktu itu—hanya memikirkannya saja, aku sudah malu."

"Oh, Todoroki-kun..." Izuku berucap lembut. Dia menggeleng dan menaruh tangannya di pundak anak itu. "Aku paham kenapa dulu kau berpikir seperti itu. Yang penting sekarang, kau sudah tahu—"

"Bahwa api ini apiku."

Senyum kecil terpulas di bibir anak itu.

Izuku ikut tersenyum.

"Dan kau harus bangga menggunakannya. Itu api yang indah. Aku yakin kau akan menyelamatkan banyak orang dengan quirkmu itu."

"Begitu..," gumam Todoroki. Senyum kecil muncul di wajahnya. Dalam hati dia bertanya-tanya bagaimana anak satu ini bisa memiliki hati yang begitu besar. "Terima kasih sudah percaya padaku."

"Sama-sama!" kata Izuku. 

Dari jauh, Hagakure dan Jiro sudah berdiri di pinggir hutan bersama Pixie-Bob. Mereka kelompok yang selanjutnya mengakuti uji nyali. Kedua anak itu saling memeluk. Tubuh mereka bergetar

"Baru nomor tiga," gumam Todoroki. "Giliran kita masih nanti."

"Tidak perlu takut, Todoroki-kun!"

"Aku tidak takut."

Izuku tertawa melihat wajah datar sang kawan. Kepala mengangguk. Dia melirik lagi ke hutan yang gelap dan lebat. Memang tampak menyeramkan dalam bingkai malam seperti ini. 

Semoga Dorothea baik-baik saja bersama Katsuki.

***

Kodai Yui berdiri di tengah jalan setapak. Baru saja keluar dari quirk sang kawan dan bersiap untuk masuk lagi ke tanah untuk 'menyapa' pasangan murid kelas 1-A berikutnya.

Kepala ketua kelasnya—Kendo Itsuka—serta kepala kawan yang disebut tadi—Honenuki Juzo—terangkat dari balik semak. Juzo terkekeh kecil. Wajahnya yang mirip tengkorak menampilkan raut senang.

"Kodai, sejauh ini kau sudah menakuti semua orang!" pujinya

Kendo juga mengangkat jempol. "Kau benar-benar niat, Yui!"

"Yeah, bahkan setelah kau tidak sengaja terinjak tadi—"

Kalimat Honenuki terputus.

Asap tipis berwarna keunguan diterbangkan angin ke arah mereka.

"Huh? Kenapa ada banyak a... sap...?"

BRUKH!

"Honenuki?!" Itsuka menjerit melihat sang kawan jatuh tak sadarkan diri. Mata membelalak.

"YUI! JANGAN DIHIRUP!"

Tangan gadis itu membesar—quirknya—dan menggenggam sang kawan yang berdiri bingung. Membekapnya dari udara sekitar. Dia sendiri menahan napas.

Asap ini beracun!

***

Beberapa menit kemudian, giliran Uraraka dan Tsuyu.

Masih ada beberapa kelompok sebelum Midoriya dan Todoroki. Si rambut hijau sibuk mengoceh tentang Jadestaff-nya. Sementara kawannya menyimak, walau tidak memahami separuh apa yang dibicarakan.

"Nah, karena kristal ini adalah energi sihir murni—"

Ucapan Midoriya terputus. Bulu kuduk mendadak berdiri. Sesuatu terbersit di benaknya. Perasaan yang sama yang muncul ketika dia diawasi oleh imp di sudut gang sempit.

Ada yang salah.

Pixie-Bob sepertinya merasakan hal yang sama. Hidungnya mengendus udara.

"Bau terbakar apa ini?"

Asap membumbung di kejauhan.

"Itu—"

"Asap hitam—"

"Apa ada sesuatu yang terbakar?"

"Jangan-jangan terjadi kebakaran di gunung!?"

"A-apa!?"

"Pixie-Bob!"

Pussycats pirang itu melayang.

Tubuhnya tertarik ke belakang oleh energi aneh.

Semua anak menoleh.

"Nona kucing ini mengganggu saja..."

Dua orang berdiri di sana. Satu bertubuh besar. Tangannya membawa benda balok yang dilapisi kain.

Kepala Pixie-Bob tertindih di bawahnya.

Berdarah.

Netra hijau Izuku terbelalak.

Oh, sialan! Jangan bilang!

"K-kenapa?" anak yang memiliki bola ungu di kepala—Mineta—melangkah mundur.

"Padahal kupikir sudah dilakukan tindakan pencegahan—"

Kumohon. Tolong jangan seperti yang kupikirkan

"Kenapa ada Penjahat disini?!"

Serius?! Di saat seperti ini?!

"Pixie-Bob!!"

Kaki Izuku refleks mengambil langkah. Namun, tangan Tiger menahannya.

"Gawat!" desis Mandalay.

Izuku memandang Pussycats merah itu. Matanya membulat. Bahkan tanpa komunikasi verbal, pikiran mereka tertuju pada satu hal yang sama.

Kota-kun.

***

Mandalay melakukan telepatinya. Memberitahu soal dua penjahat itu. Dan kemungkinan adanya penjahat lain. Dalam hati Izuku berdoa Aizawa dan Vlad King sudah siaga.

"Apa kabar SMA U.A?" seseorang di samping orang yang menyerang Pixie-Bob maju. Dia memiliki quirk mutasi. Membuat penampilannya seperti kadal.

"Kami adalah Vanguard Action Squad dari League of Villain!"

"League of Villain?" ucap Ojiro. Ekornya terlibas karena tegang. "Kenapa mereka ada di sini?"

"Bagaimana kalau aku menghancurkan kepala gadis ini? He, bagaimana?" ejek pria yang memegang balok.

"Mana mungkin kubiarkan, kurang aj—"

"Tunggu, tunggu, jangan terburu-buru Magne," si Pria Kadal menyela Tiger. "Kau juga Tiger, tenangkan dirimu!" 

Pria itu tersenyum.

"Tinggal dia ini memiliki pandangan yang sama dengan Stain atau tidak."

"Jadi kalian orang yang setuju dengan prinsipnya?!" seru Iida.

Sial, Iida, kumohon jangan sekarang.

Jemari Izuku siaga di pegangan Jadestaff. Kemungkinan terburuk, dia harus menyerang. Namun, mereka masih menyandra Pixie-Bob. 

Pilihan sulit.

"Ya, benar!" seru Pria Kadal. "Aku—ya, kau orangnya anak berkacamata! Kau anak yang ada di kota Hosu saat Stain ditangkap!"

"Maaf terlambat memperkenalkan diri!" ucap Pria Kadal. Dia menarik gagang buntalan besar dari punggungnya.

Perban yang menutupnya terurai. Menunjukkan berbagai jenis senjata tajam terikat menjadi satu.

Senjata macam apa itu!?

"Aku adalah Spinner! Orang yang akan memutar impian Stain menjadi kenyataan!"

Tiger melangkah maju. Mukanya marah. Urat-urat nadinya tampak.

"Mau siapapun, tak jadi masalah..."

"Gadis bernama Pixie-Bob yang terbaring di sana itu bermaksud untuk menikah...," geram Tiger. 

"Meskipun tidak muda lagi, sebagai wanita dia berjuang mengejar kebahagiaan, tahu?! Berani melukai wajah wanita seperti itu—"

Cakar di sarung tangannya menajam.

"—Sebagai laki-laki jangan menertawakannya seperti itu!"

Dia marah.

Dia sangat marah.

Dan Pria Kadal—Spinner—menerjang maju.

"Jadi Pahlawan juga ingin hidup bahagia, ya!?"

"Tiger, aku sudah memberi instruksinya!" ucap Mandalay. Posisinya siaga.

"Serahkan perlindungan murid lain pada Ragdoll!  Kita berdua akan menghadapi mereka di sini! Semuanya, pergilah! Dengar, jangan coba melawan mereka. Ketua Kelas, kau yang memandu!" perintah Mandalay.

Iida mengangguk. "Ayo pergi!"

Namun, kaki Izuku tidak beranjak.

Wajah anak itu mengeras.

"Midoriya-kun?"

"Kalian duluan saja!" serunya. Kemudian berpaling pada Pussycats yang berambut cokelat. "Mandalay!"

"Eh?"

"Aku tahu dimana dia berada! Aku bisa menjemputnya!"

"Aku ikut denganmu."

Izuku sontak menoleh. Netra hijau langsung bertaut dengan biru-abu-abu yang penuh determinasi. Ekspresi Todoroki menunjukkan bahwa dia tidak menerima penolakan kali ini.

"Kau bodoh kalau kau pikir aku akan membiarkanmu bertingkah nekat sendirian."

Mau tidak mau, kekehan terlepas dari mulut Izuku. Adrenalin mulai mengambil alih sistem tubuhnya. Jantung berdegub kencang.

"Ayo, kalau begitu! Mandalay! Serahkan Kota-kun pada kami!"

***

"Sudah dimulai!"

Senyum Seren merekah. Tangan menjatuhkan amulet ke tanah.

Batu hitam pecah.

Asap hitam menari di udara. Layaknya pintu menuju neraka. Cakar besar menjelma darinya.

Raungan monster menembus malam.

Siap meramaikan kegilaan yang akan datang.

***

BRUKK!

"Shinsou!"

Sepasang mata violet memandang nanar ke atas. Wajah Nikky menatap balik. Memberi raut khawatir di atas platform tempatnya mendarat. Tempat Shinsou harusnya mendarat juga. Akan tetapi, dia malah berakhir mengerang di atas matras yang menahan jatuhnya.

"Peganganku terselip," gerutu sang anak. Menutupi mata dengan lengan.

Nikky terkekeh. "Ya, aku bisa lihat."

Wanita itu melompat turun dari platform parkour, lalu berdiri di sampingnya. Tangan terulur untuk membantunya berdiri. Si rambut ungu menerimanya dengan senang hati.

"Kau baik?" tanya Nikky sembari berkacak pinggang. "Ini memang sudah larut, tetapi... biasanya parkour-mu masih jauh lebih baik dari ini."

"Entahlah..." 

Shinsou menggaruk tengkuknya dan menggigit bibir. Sekejap, ada dingin yang menyergap tubuh. Lebih dingin daripada hawa malam kota Hosu.

Hari ini dia memutuskan untuk datang kota itu. Setidaknya mengisi liburan dengan berlatih agak mengalihkan pikirannya dari keadaan Dorothea dan Izuku. Dan Karena Nikky memperbolehkannya menginap, jadi latihan mereka berlangsung sampai malam. 

"Mungkin hanya kurang fokus...?"

"Huh, kau tidak terdengar yakin."

Ya, Shinsou memang tidak yakin. Tetapi dia tidak tahu juga apa yang harus dikatakan. Jadi dia memilih diam sembari diamati oleh Nikky.

"Baiklah, cukup saja untuk hari ini," ucap si wanita pada akhirnya. Mata hijau-biru mengerling. "Oh, dan satu lagi!"

Tangan Nikky merogoh saku, menarik keluar sebuah benda kecil hitam yang berkilat dan memberikannya pada Shinsou. 

"Switchblade?" gumamnya ketika menyadari benda apa itu. Sang mentor tersenyum sebelum mengangguk. Dia menaruh tangannya di pundak Shinsou.

"Aku dengar dari Aizawa kau ingin mencoba capture weapon. Itu akan berguna jika kau terlilit senjatamu sendiri," jelas Nikky. Mulut menampilkan seringai. "Lagipula, tidak ada salahnya untuk bersiaga."

Shinsou berdehum paham. "Terima kasih," ucapnya sembari memasukkan pisau itu ke dalam saku. Terasa ringan, bahkan seperti benda tersebut sama sekali tidak ada. 

Berbeda sekali dengan perasaannya sekarang. 

Sesuatu seperti mengganjal hatinya. Sebuah firasat.

Apa yang sebenarnya terjadi?

***

Kota terpaku.

Kakinya tidak bisa bergerak kecuali untuk bergetar.

Sementara itu orang—bukan, monster—di depannya menyeringai. Menampilkan deret gigi di wajah dengan luka besar bermata palsu. Wajah yang tidak pernah dia lupakan.

Wajah yang membunuh orang tuanya.

"Papa..." Kota terisak. "Mama..."

Tangan monster itu terangkat. Sayup suara tawa terdengar. Tinggi dan mencemooh. Sang anak bisa melihat akhir yang tinggal sejengkal—

Dan dia melayang.

Bukan—

Seseorang menariknya!

Berpapasan dengan tangan berotot pria menghantam tanah. Meluluh-lantakkan tempat Kota tadi berdiri. Jika tinju itu menyentuh kepalanya, pasti tengkorak sudah hancur berkeping-keping. 

Untungnya tidak. 

Kota masih hidup.

Dia mengangkat kepala. Mencari tahu siapa penyelamatnya. Orang yang kini mendekap Kota dengan protektif. Dia melihat sekelebat surai hijau. Dan mata zamrud yang menatap balik dengan hangat. Senyum menenangkan muncul di wajahnya yang berbintik. Itu hampir membuatnya menangis.

Si Rambut Brokoli! 

"Aku tahu memakai hovershoe adalah ide bagus," kata remaja itu. Posturnya tenang. Kota bahkan menangkap nada geli dalam suaranya.

Rambut Brokoli—Izuku—lalu mendorong Kota ke belakannya. Tangan mengacungkan sebuah tongkat berwarna hijau kepada si monster. Terdengar suara berdengung kecil. Ujuk dari tongkat itu memercikkan cahaya biru.

"Oh? Aku tahu kau, Muscular benar? Kau salah satu yang paling menjijikkan. Dan aku sudah banyak melihat makhluk yang membuatku jijik."

Si monster mendelik. Sementara itu, Izuku menoleh pada Kota. Senyum kembali diberikan pada anak itu.

"Kau pasti sangat takut, ya? Kota-kun?" ucapnya.

"Tenang saja, aku akan mengatasi ini. Kau tidak perlu khawatir lagi."

*** 

.

.

.

.

.

.

.

A.N.:

Soooo... come here often?

Maaf sudah mengghaib selama beberapa saat. Sumpah, ide buat fic satu ini nggak mau datang walaupun udah kukejar sampai ke ujung semesta. Makanya aku akhirnya berusaha sebisaku untuk membuat seenggaknya chapter ini kelar. Ada adegan canon yang males banget kubuat alterasinya jadi aku copas dari Normal dan kuubah dikit. Hahaha... tolong jangan bunuh saya... :'V

Anyway, ada krisar untuk chapter ini? Tulis saja! Dan apa pendapat kalian soal cover barunya?

Oh, dan btw...

KITA DAPAT FANART PEMIRSAAH!

Karya super keren ini dari ohlaylaylay! Aaa! Just look at it! Bahkan dikasih background! Aku sendiri jarang bangt gambar background asdfghjkl! Makasih banyak! Great job!


Well, hope you guys enjoy this one! Terima kasih sudah mau menunggu dan setia dengan fic ini! Aku sangat mengapresiasinya!

Thank u for reading! :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com