Chào các bạn! Truyen4U chính thức đã quay trở lại rồi đây!^^. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền Truyen4U.Com này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Girl with Golden Eyes

5 tahun kemudian

Suara langkah menggema di koridor kosong SMP Aldera. Murid-murid sudah pada pergi ke kantin untuk jam istirahat. Guru-guru juga tidak terlihat.

Izuku bersyukur karena itu.

Baiklah, aku di gedung barat, jadi aku harus lari kemana?

Otak Izuku memutar peta imajiner di kepalanya. Dia sudah menghapal seluruh lorong dan lekuk Aldera. Jadi, menemukan tempat sembunyi harusnya tidaklah sulit.

Kamar mandi? Tidak, mereka pasti mengeceknya.

Ruang loker? Ah, sudah terlewat. Lupakan.

Lemari barang? Terlalu sempit.

Dimana, dimana...

Ah!

Izuku berbelok tajam di depan. Menuju ke koridor lain. Ada satu pintu di sana. Izuku buru-buru membukanya dan masuk. Menutupnya lagi dengan secepat kilat.

Pintu itu adalah pintu ke tangga yang menuju atap sekolah. Izuku sudah beberapa kali menggunakannnya sebagai tempat pelarian. Jadi, sekarang dia tinggal tenang.

Dan menunggu.

Tidak lama kemudian, terdengar suara derap kaki. Lebih dari satu. Diikuti gerutuan dan suara makian keras.

"Huh? Kemana quirkless sialan itu pergi?!"

"Haah, mungkin dia kesana, Bakugo."

"Diam, ekstra!"

Izuku mati-matian menahan tawa. Dalam hati bersyukur latihan yang dia lakukan selama ini membuat banyak aspek fisiknya bertambah. Dia memang belum memburu demon sungguhan. Namun, bisa kabur dari perundung bukanlah hal yang buruk.

Izuku : 1. Perundung : 0.

Selang beberapa waktu, suara langkah anak-anak itu mulai memudar. Sebelum akhirnya benar-benar hilang. Izuku mendesah lega. Akan tetapi, ketika baru akan membuka pintu, dia mendengar suara lain.

Sebuah nyanyian.

Izuku mendongak. Lagu itu terdengar familiar. Pandangan dilemparkan ke tangga. Suaranya berasal dari atap.

"Blessed thee who dwell in shadow.
O'er the hills, o'er the meadow."

Lirik itu familiar. Walaupun dalam bahasa asing. Dulu dia mendengarnya sebelum tidur. Itu lullaby yang sering dinyanyikan ayahnya.

Dan tanpa banyak berpikir, Izuku mulai menaiki tangga.

"Children of land, children of sea.
Don't let darkness overcome thee."

Suaranya lembut, pikir Izuku.

Kakinya masih mendaki tangga dia bisa melihat pintu di ujungnya sedikit terbuka. Pikirannya mulai menebak siapa yang ada di sana.

Dia tidak ingat ada anak Aldera yang sering pergi ke atap. Atau punya logat Inggris yang sebagus ini.

"Blessed thee who fight in the dark.
The path is long yet we must embark."

Akhirnya, Izuku sampai di ujung tangga dan membuka pintu. Sinar matahari menyilaukan matanya sejenak. Setelah beradaptasi, dia bisa melihat penyanyi misterius itu.

Seorang gadis berdiri di dekat panel pembatas. Membelakangi Izuku. Rambut merah tergulung rapi di kepala. Beberapa yang terlalu pendek bergoyang tertiup angin.

"Soldier of sun, Soldier of moon..."

Tanpa sadar, Izuku membuka mulut.

"Do not be afraid, we'll be home soon."

Gadis itu terlonjak. Akhirnya menyadari dia tidak sendirian. Dia berbalik. Menatap Izuku dan memiringkan kepalanya. Matanya menyipit dengan raut menyelidik.

Wajah gadis itu putih. Rambut merah membingkai mukanya. Tangan menggenggam buku tebal dengan judul berbahasa inggris. Dia memakai seragam sekolah standar Aldera.

Dan matanya sewarna emas. Menatap balik ke netra hijau Izuku.

"Uh... halo?"

"Ah!" Izuku tersentak. Tidak sadar dari tadi dia mengamati. Anak itu menggaruk kepala.

"Maaf. Aku tidak bermaksud mengagetkanmu!"

"Oh. Uhm, tidak apa-apa."

"Yah, jarang ada anak di sekolah yang pergi ke atap. Aku penasaran. Jadi..."

"Ah! Aku bisa pergi kalau-"

"Tidak!" sela Izuku. "Eh, aku bukan mengusir. Kau boleh di sini."

"Oh. Terima kasih."

Keduanya kemudian diam. Hanya menatap satu sama lain. Kecanggungan mulai memenuhi udara. Kedua anak menatap apapun kecuali satu sama lain.

Akhirnya, setelah mengumpulkan keberanian, Izuku berjalan mendekati panel kaca. Berdiri di samping gadis itu dan melihat lapangan di bawah.

"Jadi, apa kau baru? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya."

"Oh—uh, iya," gumam si gadis. Ikut melihat ke bawah. "Baru seminggu lalu. Dari London."

"London?" ulang Izuku. Itu menjelaskan kenapa gadis ini punya paras orang asing. Izuku tersenyum kecil.

"Well, your Japanese accent is good."

Gadis itu tersentak. Menoleh ke Izuku. Kemudian tertawa kecil.

"Ayahku orang Jepang. Dan logat inggrismu tidak buruk."

Izuku tersenyum bangga. Berbicara dengan bahasa inggris juga salah satu hal yang diajari ayahnya. Karena bahasa universal yang dipakai The Children juga bahasa inggris. Selain itu, tidak ada salahnya belajar banyak bahasa. Itu sangat berguna.

"Ah, iya! Aku belum memperkenalkan diri!" ucap Izuku. Dia mengulurkan tangan.

"Midoriya Izuku, salam kenal."

Si gadis menjabat tangannya.

"Dorothea Tuning. Panggil saja Dorothea."

"Bagaimana Jepang sejauh ini, Dorothea-san?"

"Uh, tempat ini baik. Hanya... berbeda. Setidaknya di sini cerah. Tidak banyak hujan seperti London."

"Heh, itu belum musimnya saja."

"Oh sialan..."

Mereka berpandangan. Kemudian sama-sama terkikik kecil.

Jam istirahat itu dihabiskan oleh kedua anak dengan mengobrol. Hanya sekedar basa-basi. Bahkan melemparkan sedikit candaan. Sampai akhirnya, bel masuk berbunyi.

Saat kembali ke kelas, anak hijau itu merasakan langkahnya lebih ringan.

***

Izuku tidak terlalu memikirkan pertemuannya dengan Dorothea sebagai hal yang besar. Kesan pertama, gadis itu ramah. Akan tetapi, dia belum tahu soal status quirkless Izuku. Dan Izuku paham betul apa yang biasanya terjadi jika orang lain tahu.

Jadi, seramah apapun Dorothea. Izuku tidak mau menaruh harapan.

Keesokan paginya, anak berambut hijau itu berjalan ke sekolah seperti biasa. Sampai dia mendengar namanya dipanggil.

"Midoriya-san! Tunggu!"

Ketika dia berbalik, visinya disapa dengan gadis berambut merah yang berlari dan melambaikan tangan ke arahnya.

Ketika Dorothea sudah cukup dekat, barulah Izuku menyapanya.

"Pagi, Dorothea-san," ucap Izuku. "Aku tidak tahu kau lewat rute ini juga."

Dorothea tersenyum. "Yeah, kebetulan sekali. Mau berjalan bersama?"

Izuku berpikir sebentar. Kemudian mengangguk setuju. Tidak ada salahnya berangkat bersama orang lain. Dia jadi memiliki teman bicara. Selama perjalanan, Dorothea menanyakan beberapa hal. Soal sekolah maupun Jepang pada umumnya. Juga pertanyaan standar seperti dimana Izuku tinggal atau pekerjaan orang tuanya.

Akan tetapi, yang aneh, gadis itu tidak bertanya soal quirk.

Entah Izuku harus bersyukur atau tidak. Di satu sisi, dia sedikit senang. Karena berkata kau quirkless di zaman ini sama seperti berkata kau punya penyakit menular. Semua orang akan menjauh.

Namun, di sisi lain, dia penasaran dengan quirk Dorothea. Akan tetapi, jika dia bertanya, Dorothea pasti akan bertanya balik.

Lalu, kembali ke poin pertama.

Entah kenapa, dia tidak mau Dorothea berhenti bicara padanya. Mungkin karena dia sudah lama tidak melakukan interaksi dengan anak yang sebaya.

Sayangnya dia ternyata tidak perlu susah payah mencari cara untuk memberitahu gadis itu soal quirk yang tidak dia miliki.

Karena, baru saja mereka menginjak area sekolah, bisikan mulai menyebar di mulut anak-anak yang lain.

"Hei, itu murid pindahan yang dari luar negeri, kan?"

"Ih, kenapa dia mau dekat-dekat dengan si quirkless itu?"

"Mungkin dia tidak tahu kalau Midoriya quirkless."

"Huh, dasar. Bisa-bisanya dia..."

Apa tadi Izuku bilang bisikan? Lebih tepatnya, mengucapkan semua itu dengan keras.

Izuku melirik Dorothea. Melihat wajah gadis itu berubah menjadi ekspresi kecut.

Dan Izuku merasa agak sakit hati.

"Ah, uhm." Anak itu berjalan lebih cepat. "Aku duluan, Dorothea-san!"

Belum sempat sang gadis mengucapkan apapun, Izuku sudah berlari pergi. Dia tidak mau mendengar apapun yang dikatakan gadis itu.

Dia muak dengan ejekan atau permintaan maaf atas status yang tidak bisa dia kontrol.

***

Pelajaran berlalu seperti angin musim gugur. Sedikit terlalu cepat dan terlalu ribut. Izuku sendiri melamun melewati itu semua. Alhasil membuat guru menegurnya. Toh, walaupun dia tidak melakukan apapun, dia akan tetap ditegur. Jadi, dia tidak terlalu peduli.

Akhirnya jam istirahat datang. Kelas langsung sepi. Tinggal Izuku sendiri. Dia mengeluarkan kotak bekal berisi katsudon. Rasanya lebih nyaman makan sendirian begitu. Daripada pergi keluar dan harus menghadapi pandangan menghakimi teman-temannya.

Dia hanya mau makan siang dengan tenang. Hal sesederhana itu tetap sulit dalam hidupnya.

Izuku baru akan menyumpit nasi ketika sudut matanya menangkap rambut merah familiar.

"Ah, ternyata di sini kelasmu," sapa Dorothea. Tangannya menenteng kotak bekal juga. Diikat kain bermotif garis.

Izuku mengerjap. "Uh, ada yang bisa kubantu?"

"Kebetulan lewat dan melihatmu," ucapnya. Dia melirik ke kotak bekal Izuku. Sebelum kembali menatap mata hijau dan tersenyum simpul.

"Mau makan di atap?"

***

Izuku tidak tahu kenapa dia menjawab iya. Mungkin, lubuk hatinya tahu bahwa dia kesepian. Jadi dia memutuskan untuk mengikuti orang yang tidak keberatan berada di dekatnya. Dan Dorothea tidak terlihat punya maksud tersembunyi. Jadi, Izuku mengikutinya ke atap seperti kemarin.

Mereka duduk di lantai. Bersender di tembok dekat pintu. Membuka bekal masing-masing. Izuku melanjutkan melahap katsudonnya. Sementara Dorothea mengeluarkan roti isi.

"Hey, Midoriya-san," bisik Dorothea. "Apa... kau baik-baik saja?"

Pertanyaan itu membuat Izuku terhenyak.

"Aku tidak percaya orang-orang bodoh tadi pagi mengataimu begitu," dengus Dorothea. "Apa kita harus melaporkan mereka?"

Kali ini, mulut Izuku jatuh ternganga. Dia hanya diam dan mengamati sementara Dorothea mencibir orang-orang itu.

Dia—dia membelaku?

"Uh, Midoriya-san? Kau baik? Tutup mulutmu. Nanti kemasukan lalat."

Anak berambut hijau itu menggeleng untuk menyadarkan diri. Kepalanya menunduk. Tangan menggaruk belakang leher dengan canggung.

"Ah, maaf," gumamnya. "Aku... tidak memprediksi ini?"

Dorothea mengangkat alis. Menggigit roti isi tanpa melepaskan pandangan dari Izuku. Lawan bicaranya tertawa datar.

"Kupikir, uh—kau tidak mau berteman denganku setelah itu."

"Eh? Kenapa?"

Izuku tersentak. "Uhm, karena aku... quirkless?"

Dorothea menelan rotinya. Muka mengerut dengan bingung. "Hah? Apa maksudmu? Memangnya kenapa kalau kau quirkless?"

Memangnya kenapa kalau aku quirkless?

Benar.

Memangnya kenapa?

"Entahlah. Aku juga tidak tahu kenapa mereka heboh sekali soal itu," dengus Izuku.

Dorothea tersenyum. "Lagipula, punya quirk bukan berarti kau lebih baik dari orang lain. Contohnya siswa tadi pagi."

Izuku tertawa kecil. Rasanya menyegarkan mengetahui masih ada orang lain yang tidak terlalu memikirkan quirk. Dan memutuskan untuk melihatnya sebagai manusia.

Akan tetapi, walaupun Izuku ingin memiliki teman, dia tidak ingin menjadi egois.

"Aku senang kau berpikir begitu, Dorothea-san," kata Izuku tulus. "Tetapi, mungkin ada baiknya kau tidak dekat denganku?"

Alis Dorothea naik. "Apa aku mengganggumu?"

"Ah! Bukan begitu!" Izuku melambaikan tangannya. Dia memalingkan pandangan kembali ke makan siangnya.

"Hanya saja, kalau kau berteman denganku, yang lain akan menjauhimu juga."

Hening sejenak.

Gadis di sampingnya diam mendengar itu. Izuku tidak yakin apa yang ada di kepalanya. Anak itu berharap Dorothea tidak merasa tersinggung.

Akan tetapi, tidak dia sangka—

Dorothea malah tertawa.

"Well, tidak akan jadi pertama kalinya."

Wajah Izuku merengut mendengar jawaban itu. Dorothea menggaruk kepalanya.

"Dulu, aku juga tidak punya banyak teman. Tidak satupun, malah."

Jujur, Izuku sangat ingin bertanya. Namun, melihat gestur dan ekspresi Dorothea yang murung. Izuku pikir dia lebih baik tidak menggali soal itu.

Kepercayaan harus dibangun.

"Yah, kau punya satu sekarang," gumam Izuku.

Dorothea menoleh ke arahnya. Mata emas berkilat. Izuku menunduk. Pipinya terasa panas.

"Uh, k-kalau kau mau, tentu saja."

Kalimat itu membuat senyuman gadis di depannya melebar.

"Tentu. Artinya, sekarang kau punya satu teman juga."

Izuku mengangguk. Jantungnya berdetak lebih cepat.

Senyuman Dorothea manis. Dia tidak ingat apa ada anak lain yang pernah tersenyum seperti itu kepadanya. Biasanya, hanya sebuah bentuk ejekan. Tidak pernah tulus.

Dia tidak percaya dia bisa mengatakan hal tadi begitu saja. Biasanya, dia banyak berpikir sebelum berucap. Namun, dia senang Dorothea tidak keberatan.

Dan dia harus segera mengganti topik. Hanya saling pandang dan tersenyum membuat Izuku merasa... sesuatu.

"Ah, uh Dorothea-san, bolehkah aku tahu apa quirkmu?"

"Ah, benar! Kau belum tahu." Dia mengelus kepala. "Maaf, aku biasanya tidak mengurusi quirk orang. Jadi, aku tidak merasa quirkku sendiri cukup penting untuk dijelaskan."

Dorothea mengangkat telunjuknya. Izuku memperhatikan dengan seksama ketika sebuah benang tipis naik dari ujung jarinya dan menari di udara.

"Quirkku disebut Thread," gumamnya. Benang di jari perlahan menekuk dan membentuk bintang.

"Aku bisa menciptakan benang dari ujung jariku. Bisa mengatur ketebalan dan kekuatannya. Serta bisa mengendalikannya selagi masih menempel."

"Woah, itu sangat keren!" puji Izuku.

Dorothea terkikik kecil. "Terima kasih. Quirk ini sudah banyak membantuku."

Pembicaraan mereka setelah itu menjadi lebih ringan. Diisi dengan rentetan pertanyaan Izuku soal quirk teman barunya. Yang dengan senang hati dijawab oleh Dorothea.

***

Matahari mulai tenggelam di barat ketika Izuku duduk berselonjor di sofa dan mencoba membaca sebuah buku demonology.

Empasis pada kata mencoba.

Pikirannya tidak bisa fokus pada kata yang tertera di buku. Malah memutuskan memutar kejadian di atap sekolah tadi.

Izuku punya teman.

Dia sudah lama sekali tidak memiliki teman. Tidak sesudah dia didiagnosis tanpa quirk. Mungkin hanya Katsuki. Namun, dengan semua yang terjadi diantara mereka, dia tidak yakin dia bisa menganggap Katsuki teman lagi.

Setidaknya, untuk sekarang. Semua ini masih terasa surreal bagi anak itu.

"Izuku?"

"Huh?"

Anak itu mendongak. Sang ayah berdiri di depannya dengan wajah geli.

"Dari tadi aku panggil tidak menjawab. Melamunkan apa?"

Izuku terdiam sejenak.

"Uh, aku punya teman baru. Dia pindah dari London kemari."

"Oh, benarkah? Dia anak yang baik-baik, kan?"

"Ya. Dia perempuan yang agak aneh. Tapi baik hati."

"Perempuan?" Senyuman jahil muncul di bibir Hisashi.

"Apa dia cantik?"

"Otou-san!!"

Hisashi tertawa melihat bibir sang putra yang bersemu. Izuku sendiri menggumamkan kata-kata tidak jelas dibalik napasnya.

"Hehehe, aku bercanda, little bush," ucap sang ayah. Tangan mengacak-acak rambut hijau.

"Oh, aku harus pergi rapat. Mungkin akan pulang larut."

Izuku mengangkat alis. Pulang 'larut' dalam kamus ayahnya berarti jam enam pagi.

"Apa ada masalah?"

"Tidak, hanya rapat rutin. Aku sudah bilang Inko," ucap Hisashi. "Kau lanjutkanlah membaca."

Ayahnya mengucapkan sampai nanti, mengacak rambut Izuku sekali lagi, kemudian pergi.

Izuku kembali sendirian di depan televisi. Suara Inko membereskan piring di dapur terdengar sayup-sayup.

Matanya melirik ke illustrasi dalam buku. Yang lama-lama memudar dari kesadarannya.

***

Bunyi bip yang terdengar nyaring membangunkan Izuku.

Anak itu sontak bangun. Memandang sekitar dengan mata nanar dan mengelap air liur di sudut bibirnya. Dia tanpa sadar tertidur di sofa.

Jam berapa ini?

Izuku meraih ponsel yang tergeletak di meja. Jam digital di layar menunjukkan hampir tengah malam.

Ah, sebaiknya aku pindah ke kamar

Akan tetapi, bunyi bip yang barusan membangunkannya tidak berhenti. Kening Izuku mengerut.

Dia mengikuti asal bunyi itu menuju ke dapur. Benar saja, meteran anomali sang ayah tergeletak di sana.

Izuku mengambil benda itu. Dia tahu meteran anomali digunakan untuk 'membaca' energi sihir yang ditinggalkan oleh demon atau hal-hal abnormal lain. Dan menyediakan peta untuk mencapainya.

Dan anak itu tersentak melihat titik merah di layar.

Hanya beberapa blok dari sini.

Keningnya mengernyit semakin dalam.

Aneh, kenapa tidak ada Children of Earth yang mengurus itu?

Bunyi bip yang menggema semakin kentara. Titik merah itu bergerak. Izuku mengingat-ngingat lokasi tersebut di dunia nyata. Demonatau apapun itu—bergerak dari daerah rumah kosong ke daerah hunian.

Itu tidak baik.

Dan sebuah ide gila menyambar kepala Izuku. Dia melirik ke meteran anomali itu lagi. Insting menjerit agar dia melakukan sesuatu.

Kuharap Otou-san tidak keberatan aku meminjam perlengkapannya.

***

.

.

.

.

.

.

.

A.N. :
...Aku ingin mencoba membuat ini jadi sedikit romance. Tanggapan kalian?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com