The Story
Malam yang indah.
Gadis manis yang rapuh berjalan melewati reruntuhan. Menatap sebuah pondok yang roboh.
Hujan mengguyur, membasahi tubuhnya. Tidak pergi berteduh, dia menatapi bangunan itu dengan tatapan mata penuh kerinduan.
Dari kantongnya, sebuah foto terjatuh. Foto dirinya bersama seorang pemuda di halaman depan pondok itu.
***
"Ren, bagaimana harimu?"
"Baik. Bagaimana denganmu, Rei?"
"Yah, selepas membantu Rio aku pergi berjalan-jalan sebentar."
"Oh, tadi aku juga berjalan-jalan bersama Rin tetapi tidak melihatmu. Kamu ke mana?"
"Hanya penasaran, tempat yang belum pernah kukunjungi sebelumnya ...."
-
Itu adalah percakapan mereka 7 tahun lalu, ketika masih anak-anak berusia 10 tahun.
"Aku masih tidak menyangka, jalan ini yang kamu pilih ...."
Di tempat ini, Exalorn tidak terhubung. Pondok itu telah lama roboh bertahun-tahun lalu, semenjak Ren dibesarkan di sini.
Karena, Rei yang memperbaiki pondok itu tidak ada, bahkan tidak pernah ada.
Keindahan dunia beberapa saat yang lalu, telah berubah menjadi pemandangan yang mengerikan. Di balik rintik-rintik hujan, tidak ada yang ingin mengetahui apakah yang terkubur di dalamnya itu.
Kematian, sesuatu yang tidak dapat dihindari. Sebuah batu nisan terukir di depan rumah di sebelahnya.
"Nana."
Seorang gadis kecil yang tinggal bersama mereka.
"Chicco, Vanilli, Alia, Risa."
Di sebelahnya terdapat nama-nama lain.
"Rio, Rin."
Nama yang terukir di sisi lain jalan.
Melangkah ke dalam gedung yang masih berdiri, menara dengan tiang atap yang roboh.
Di sini mereka berempat menantang gilanya dunia, dengan berbagai makhluk dan kekuatan mistis yang tidak terduga.
Yah, kebocoran itu tidak pernah ada di dunia ini. Setidaknya, hal itu telah menghilang.
"Di sana!"
"Baiklah Misa, tembakanlah!"
"Rusha, mode Dual Sword!"
Ah, dia mengingat tentang keberadaan dua makhluk mistis, yang muncul bersamaan dengan Rei. Faktanya, mereka tidak berasal dari dunia ini.
Ke puncak, Ren membungkuk berdoa sambil menaruh setangkai bunga. Bukan tanah, tetapi sebuah meja kosong bertuliskan "A.S.A".
A.S.A, sebuah organisasi supranatural. Membersihkan dunia dari gilanya makhluk di luar akal sehat.
Berjalan pergi menuju pintu keluar di lantai pertama, ia melihat loker-loker. Di antaranya bertuliskan nama-nama yang tidak asing.
"Rex, Torpa, Goste, Tonbro dan Ren."
Nama miliknya berada di loker sebelahnya, tempat yang cukup dekat. Namun, loker itu sudah tidak ia gunakan lagi semenjak naik jabatan dan sebelum mereka berempat bergabung.
Lupakan tentang menara tertinggi di dunia, namanya telah terlupakan. Ren memasuki mobil hitam dan mengelus tempat dudui di samping tempat supir.
"Paman ...."
Menempatkan tangannya di kemudi, Ren menginjak gas dan berkendara melewati kota. Di sana, orang-orang sudah mulai terlihat. Wilayah yang masih aktif berbeda dengan sebelumnya, tempat tertinggalkan.
Ren pergi melewatkan sebuah klinik, yang disampingnya terlihat para polisi mengintai.
"Ah ... orang itu masih hidup, ya?"
Yang dimaksud adalah seorang wanita berusia dua puluhan. Salah satu agen A.S.A yang selamat dan kembali dalam kehidupan normal.
(Michel744350 - losted casted - if you remember)
Ini bukanlah kisah fantasi, tetapi kenangan seorang gadis manis nan rapuh.
"Aneh sekali toko itu masih diintai pada keadaan seperti ini, yah biarlah."
"Edo, Reno, Eri ...."
Nama-nama yang kali ini terpajang pada kuburan semestinya. Ren ingin memindahkan mereka semua ke tempat yang layak, tetapi di dunia ini dia tertidur selama bertahun-tahun, sehingga dia khawatir hanya akan menyulitkan diri mereka.
Meski begitu, dia tetap ingin memindahkannya. Sebuah tekanan batin.
"Aku lihat ... hm."
Mengangkat telapak tangannya, dia tidak melihat terjadi hal apapun. Itu artinya, hal 'itu' telah benar-benar lenyap.
Energi sihir dan magis. Rekayasa genetik, supranatural dan makhluk di luar akal sehat, monster, predator.
"Entah di mana mereka taruh, atau masa depan telah berubah."
Yah, sebenarnya nama di samping keempat loker orang sebelumnya tidak ada. Itu hanya loker kosong.
"Aku tidak tahu apa-apa lagi soal dunia ini."
Di tengah derasnya hujan, terlihat seorang pencopet yang telah mengambil dompet seorang nenek tua.
Mobil Ren melaju secara mendadak di hadapannya sehingga dia hampir saja tertabrak dan terjatuh ke belakang dengan napas terengah-engah.
"Ini dia! Akhirnya tertangkap!"
Para warga menangkap pencopet itu. Seorang pemuda mendapat pujian.
"Yah, paling tidak aku tidak kehilangan kemampuan pahlawan dalam bayangan ini."
Hal itu disengaja. Insting pikiran dapat berbeda dari refleks tubuh, tetapi hanya butuh waktu untuk kembali menyesesuaikan.
Saat melintas di sebuah perempatan, sebuah mobil yang hilang kendali melaju.
Mobil itu melewati bagian belakang mobil Ren tanpa terkendali, menabrak mobil lain. Dalam situasi ini, Ren tidak dapat menghentikannya.
Yah, Ren sudah belajar bahwa ia tidak bisa menyelamatkan semua nyawa. Bahkan tidak menabrak pencopet sebelumnya saja sudah salah satu upayanya, tahu?
Hampir dekat dengan tujuan, sebuah rumah menarik perhatian. Ren pergi ke rumah itu dan mengetuk pintu.
"Siapa itu? ... oh, Nak Ren. Ayo, masuk."
Ren tersenyum, meski hanya senyuman palsu. Ia masuk bermaksud untuk melihat-lihat saja, lalu ingin melanjutkan perjalanan.
"Maaf tidak bisa menemani lebih lama, ada hal yang harus kulakukan."
"Ya, tidak apa. Bibi tahu, ini adalah harinya."
Berbeda dengan yang lain, meski dunia berubah, dia salah satu orang yang tidak terpengaruh. Selain itu, ada hal misterius pada dirinya.
"Baiklah bibi, aku pergi dulu."
"Ya, hati-hati."
Dalam perjalanan Ren juga tertarik pada dua rumah lainnya, tetapi ia tidak memiliki waktu untuk mengunjunginya saat ini. Mungkin lain waktu.
Jika kau bertanya rumah siapakah itu, itu adalah dari para teman sekolah Rei. Reno, Edo, Eri. Kupikir nama-nama itu sudah kukatakan sebelumnya.
***
Sebuah rumah yang kosong. Hujan yang sebelumnya mereda kini mulai deras kembali. Ini saatnya untuk menghadapi kenyataan, lagi.
Genangan air yang sebelumnya ada, kini memercikkan air hujan mengenai sepatu Ren. Wajahnya tidak berubah tetapi ia merasakan sedikit hawa dingin.
"Ini sangat membuatku ragu untuk tidak masuk."
Ya, dia tidak ingin masuk. Dia hanya ingin berada di luar, menunggu tanpa menghadapi kenyataan. Namun cuaca membuatnya tidak dapat menolak.
Menutup pintu, pakaiannya basah. Jadi ia melepas jaketnya dan menggantungnya di samping pintu masuk. Takut basah, Ren menunggu beberapa saat sampai ia merasa tubuhnya cukup kering.
Walau ingin melepas pakaian untuk mengeringkan pakaian, tentu saja kewarasannya tidak memperbolehkan. Ini bukanlah tempat di mana kamu boleh melakukan hal seperti itu.
Mengalihkan pandangannya, Ren melangkah maju. Namun, tekanan luar biasa sudah menggenggamnya.
Baru saja satu langkah, tetapi aura mengerikan ini tidak akan pernah pudar. Malahan, semakin dalam ia masuk, semakin intens tekanan ini.
Tanpa mempedulikan kondisi fisiknya, saat ini mental Ren serasa kosong. Dia berhasil melangkah masuk hingga sebuah pintu kamar.
Membuka pintu, tekanan yang terpancarkan berkali-kali lipat. Satu langkah saja membuatnya berlutut. Tekanan di dalam jauh lebih besar, hingga puluhan kali lipat.
Dia mencoba berdiri. Dengan gemetar, kakinya berhasil tegak kembali. Hingga tempat ini saja, Ren dapat melangkah maju. Dia tidak bisa melangkah lebih jauh lagi
Perlahan Ren berjalan, terlihat sebuah foto dalam bingkai yang diletakkan di atas lemari kecil samping tempat tidur di kejauhan.
Foto itu berisi sekumpulan orang dari nama-nama yang telah disebutkan sebelumnya, dan seorang gadis lain di samping Rei.
"...."
Bahkan tekanan ini tidak memperbolehkan Rasi berbicara. Tidak ada yang tahu kenapa, tetapi hanya Rasi yang merasakan tekanan batin di tempat ini seperti ini.
***
"Ada apa Ren, kamu terlihat seperti orang yang bermasalah saja."
"Tidak apa," jawabnya cuek.
Gadis yang menanyakan itu langsung berjalan pergi. Dia berkumpul dengan gadis-gadis lainnya.
"Hei, dia tidak ingin berbicara lagi kali ini."
"Hm, sudah tiga tahun aku sekelas dengannya, tetapi tidak pernah melihat gadis itu berbicara dengan wajah tersenyum."
Tentu saja, mengetahui rahasia dunia yang begitu menyakitkan, terlebih di dunia ini para sahabat-sahabatmu wafat dalam keadaan tidak mengenalmu, apakah itu tidak membuatmu sedih?
Berjalan melewati koridor, seorang pria membuka pintu kelas dan memasuki ruangan. Dia mengatakan, "Kelas akan kita mulai!".
Ren mengabaikannya dan tetap menatap langit berawan yang berada di kejauhan. Melihat salah satu muridnya menengok ke luar jendela, dia menegurnya. Tetapi tidak ada respon, sehingga pria itu sambil menghela napas mengabaikan dan melanjutkan pelajaran.
Orang-orang mulai kembali berbisik, "Lihat, bahkan guru saja menyerah," "bagaimana dia bisa masuk sekolah ini?" "aku merasa cukup kasihan ...."
Berbagai kata yang dilontarkan mulai dari nada heran, benci dan sedih, bahkan tidak dianggap sebagai angin lewat oleh Ren. Seolah-olah dunia yang ia tempati saat ini tidaklah nyata, hatinya hampa.
Satu hal lagi yang aneh.
"Rei."
Ketika nama itu disebutkan, tekanan menyelimuti kelas ini. Hanya ia yang merasakannya, jadi itu benar-benar tidak realistis.
"Dunia yang damai, tidak akan ada kejanggalan yang terjadi di dunia ini. Karena itulah, ini terasa tidak nyata."
***
"Oke, aku tarik kembali ucapanku."
Ren terdiam saat duduk di kursi, menonton televisi di asrama. Tentu sendirian.
"Kupikir hal-hal di luar akal sehat sudah lenyap, tapi ...."
TV memberitakan tentang kemunculan cacing raksasa di Amerika, penampakan Megalodon di Samudra Pasifik, Yeti di pergunungan Himalaya hingga Garuda di puncak Jaya Wijaya.
"Apakah aku harus memastikannya secara langsung, atau tidak ...."
Seketika Ren terkenang petualangan di masa-masa lalunya ... yang tidak nyata di dunia ini.
"Dunia, dunia, dunia. Ada apa sebenarnya dengan dunia?" adalah pertanyaan yang bergeming di kepalamu. Meski tak seberapa, sebanyak apapun kamu menanyakan itu tidak akan habisnya. Bahkan jika kamu kebingungan saat membaca ini, nikmati saja apa yang ada. Begitulah caranya menjalani hidup.
Ren memutuskan untuk pergi menjelajahi tempat-tempat itu, sambil melewati beberapa tempat kenangannya. Salah satunya adalah rumah milik Rei dan Rasi dahulu, yang di mata orang lain itu hanyalah sebongkah beton dan atap yang telah runtuh. Mata mereka melihat dunia dngan cara berbeda.
Mengemasi barangnya, Rasi pertama pergi ke tempat yang menyimpan banyak kenangan dan pengaruh besar terhadap dunia ini, sebuah pinggir pulau yang menjadi perkotaan dan sangat luas, yang sebelumnya hanyalah pasir dengan gundukan-gundukan sekitar 1 meter di atas air laut sejauh 5 kilo meter (Pembaca BLOEW, Elaina_Xy7, samm_san, Arura_Happy, dll tolong ingatkan aku apa nama pantai ini. Ada di story yang Rei pertama kali gabung ASA dulu).
Dia menuju ke tempat terdekat, Gunung Jaya Wijaya terlebih dahulu. Menaiki kereta dan beberapa bus, dia sampai dalam 3 hari. Ingin menaiki kapal dan pesawat, tetapi uang tak mencukupi.
Setidaknya sampai di sana, dia perlu mendaki gunung itu. Puncak disebut sebagai satu-satunya tempat dengan salju terutama saat subuh, udara sejuk menyapu dataran tinggi dan seekor Burung Garuda datang untuk menikmati hawa dingin tersebut. Akan tetapi ada yang Ren lebih penasaran daripada hal itu.
Dunia ini. Ya, dunia.
Ren benar-benar penasaran bagaimana bentuk dunia sekarang, mengingat bahwa perusakan 5.000 tahun lalu tak terjadi karena tidak ada bantuan dari energi magis yang bocor dari dunia sihir. (Bagi yang tak tahu, anggap saja jika ini adalah backstory dunianya).
Yah, tetapi ada tujuan yang Ren ingin capai sembari mewujudkan keinginannya itu. Dan sekarang, tujuannya berada di hadapannya.
"Aku tahu bahwa gunung itu tinggi, tapi tak kusangka puncak dari gunung bersalju indonesia, Jaya Wijaya hingga setinggi ini."
Rasa kagum sekaligus kesal memenuhi dirinya. Bagaimana tidak? Dia hanyalah manusia biasa dan perlu waktu untuk mencapai puncak gunung ini. Dan jika hanya itu, tidak masalah. Masalahnya adalah Burung Garuda itu belum tentu datang dan dia melakukannya dengan sia-sia.
"Yah, tidak ada salahnya mencoba."
Meyakini itu, setelah istirahat Ren mulai mendakinya. Tidak terduga jika ia akan sampai dengan sangat cepat, tetapi itu barulah awal dari misi pencariannya.
"Kemampuan memanjatku ternyata dapat berguna."
Bbbrrr
"Selain itu, udara di sini sangat dingin saat malam hari. Pagi juga masih lama ... ah, bagaimana jika aku mendirikan tenda."
Saat itulah Ren sadar bahwa ia tidak memilikinya. Untungnya sebuah sweater milik pendaki lain tanpa sengaja terbawa angin ke arahnya, atau itulah yang ia pikirkan.
"Kamu akan kedinginan jika menggunakan pakaian seperti itu malam-malam di tempat ini. Bagaimana kamu dapat bertahan?"
Tidak ada kalimat ajakan melainkan hanya pertanyaan, jadi Ren dapat dengan tenang menjawabnya. "Entahlah, itu ketahananku."
Dia--gadis itu menaruh sarung tangannya di bahuku sambil mengatakan, "Ini, gunakanlah. Paling tidak dapat mencegahmu dari kedinginan."
"Orang yang baik ...," Ren tersenyum.
"...," gadis itu hanya terdiam.
***
"Aku bukannya dingin atau apa, tetapi hanya sulit untuk mencari sebuah topik."
"Ya, aku mengerti."
Sejam berlalu hingga menunjukkan pukul dua, tetapi mereka sudah akrab saja. Seolah-olah ia adalah api yang membantu es mencair, Ren mendengarkan keluh kesah gadis di sebelahnya yang dicap dingin dan pendiam.
"Hm, sebentar lagi jam 3 akan datang. Apakah kamu sudah makan?"
"Haha, konyol. Kita di sini bersama dari awal. Selain itu aku mengejarmu di belakang dari 3 jam lalu tanpa henti, tahu!"
"Oh, begitu. Tunggu sebentar, aku akan mengambilnya."
"Apa itu?"
"Lihat saja."
Sambil menyiapkan roti lapis, Ren berpikir sejenak. "Dia orangnya baik, ya? Mengejarku selama 3 jam ... aku tidak tahu dia terlalu baik atau apa, tapi aku mensyukurinya."
"Baiklah ini dia," memberikan roti tawar yang berisi selada dan keju."
"Maaf, ini yang tersisa dari tasku. Aku lupa membawa selai, saat persediaanku cukup untuk kembali, aku menjatuhkan beberapa tomat," ucap Ren menunduk meminta maaf.
Angin pergunungan berhembus, mengibarkan rambut Ren ke belakang yang membuatnya menghalangi sesuatu memasuki matanya. Gadis itu melihat Ren dengan takjub, "Seberapa cantiknya dirimu."
"Uh ... maaf?"
***
"Ah, sudah pukul tiga!" gadis itu cukup terkejut melihat jam arlojinya, lalu angin kembali berhembus.
"Hm ... omong-omong Shi, kamu hebat juga ya. Aku sih wajar dapat bertahan tanpa tenda, tetapi dirimu ...."
Ren takjub terhadap ketahanan tubuh Shina, gadis yang bertemu dengannya. Ren memakai sweater milik Shi sehingga dia bisa bertahan di hawa dingin, sedangkan Shi hanya menggunakan pakaian biasanya, sebuah kaos polos putih dengan celana jeans.
"Yah, aku dapat bertahan seperti ini berkat bantuan seseorang. Sudah tujuh tahun aku tidak bertemu dengannya, aku merindukannya."
"Begitu, ya."
"Dan meski dunia telah berubah, akan akan tetap dan selalu mengingatnya ...," gumam Shi pelan.
"Shi, kau mengatakan sesuatu?"
Tersenyum, "Tidak, tidak ada."
Ren langsung mengabaikannya dan berjalan sedikit ke tengah. Sekarang pukul 03.14. Waktu di mana langit mulai sedikit lebih terang.
"Kalau tidak salah, di sini kan?"
"Ya, di situ."
Saat bercakapan, Ren dan Shina memberitahu masing-masing apa tujuan mereka dan tanpa diduga tujuan mereka sama, untuk mencari burung garuda. Shina dan Ren tidak tahu apakah itu benar karena mereka juga tidak tahu apakah burung garuda menyukai hawa dingin, tetapi karena itu tujuan mereka berada di sini adalah untuk membuktikannya.
"Selain itu, aku tidak menduga bahwa Shi adalah pendaki pemula. Padahal alat bawaanmu cukup banyak."
"Yah, tas dan senter ini berasal dari pemberian ayahku saat kami pergi berkemah. Meski aku lupa membawa tenda."
Ren kembali teringat beberapa jam lalu saat Shina menanyakan mengapa ia tidak mendirikan tenda.
"Omong-omong, sepi juga ya. Kukira dengan menyebarnya rumor ini para pendaki akan banyak berdatangan."
"Mereka memang banyak, tetapi jauh datang lebih cepat dari kita. Seingatku orang yang berangkat bersamaan denganku telah kembali 14 jam yang lalu setelah mencapai puncak."
"... hebat sekali."
Ren yang memakan roti kering sisa kemarin dan berbagi dengan temannya yang berpura-pura menikmatinya hanya terdiam. Terlebih Ren tidak tahu bahwa sebenarnya Shina adalah orang yang menemukan tomat Ren terjatuh dan ternyata sudah mulai membusuk. Karena khawatir, Shina tidak jadi memanggil dan mengamatinya hingga ke puncak.
"Hm, tapi seharusnya mereka sampai di sini dengan kita. Walau bukan sepemberangkatan, setidaknya orang yang berangkat satu hari setelah kita."
"Ya, begitulah. Biasanya beberapa mengambil rute lain dan baru ingin ke puncak saat salju muncul, jadi beginilah adanya." Hanya ada mereka berdua yang di puncak.
Shina terlalu baik untuk tidak memberitahukan bahwa dia berangkat sehari setelah Ren karena Ren mengambil batas pendaki terakhir hari itu, dan orang yang berangkat bersamanya sampai jauh lebih cepat dua hari dari Ren.
Atau mungkin karena dia tidak peduli dengan itu.
(Bingung? Pertama bayangkan suasana bebas dan sejuk, kedua bayangkan seberapa baiknya Shina, ketiga penggunaan 'ia' hanya untuk Ren dan 'dia' teruntuk yang lain.)
"Aku cukup sedih mengatakannya, tetapi kita akan berdua sampai waktunya tiba."
"Yah, itu tidak buruk." -Ren.
***
Berjam-jam telah berlalu dan kini para pendaki sudah berdatangan, menandakan fenomena itu akan segera terjadi.
"Shina! Mereka mulai berdatangan!"
"Ren, lihatlah itu!" menunjuk ke arah sebuah bunga.
Awalnya bunga itu biasa saja, tetapi lama-kelamaan ia terselimuti oleh salju. Orang-orang baru takjub dengan pemandangan itu, dan tanpa disadari seluruh daratan tinggi telah diselimuti oleh sang serpihan putih.
"Indahnya ...."
"Sekarang, aku hanya perlu menunggu hingga ia muncul!"
Aku menunggu beberapa menit agar burung itu muncul, namun dia tak muncul-muncul hingga salju mulai mencair.
"...."
"Jangan sedih Shi, kau bisa melihatnya lagi nanti. Kamu bilang ingin menjadi pendaki ahli, kan? Nah, tempat ini dapat menjadi tempat latihanmu berhubung rumahmu berada di dekat sini."
"Hm, kurasa bisa begitu. Bagaimana denganmu? Hari ini kamu tidak menemuinya, apakah kamu akan kembali ke rumahmu?" tanyanya terlihat sedikit sedih.
Kami telah berbicara banyak hal, termasuk tempat asal kami. Shina memiliki rumah di bawah gunung ini sehingga ia dapat dengan mudah menggapainya kembali, sedangkan aku berasal dari tempat yang jauh.
"Tidak," ucapku membuat Shina tersenyum senang.
"Aku akan pergi menjelajahi dunia."
Wajah bahagianya luntur, digantikan oleh senyuman kaku. "Begitu ya, baiklah ...."
Sepertinya dia sedikit kecewa karena aku akan pergi, tetapi aku pura-pura tidak menyadarinya. Daripada membuatnya bersedih, lebih baik tidak tahu dan 'tanpa sengaja' memberinya semangat.
"Tapi, yah ... aku akan merindukanmu. Aku juga ingin melihat burung itu, jadi mungkin aku akan kembali lagi."
"Benarkah?!"
"Ya. Saat itu, jika kamu sudah melihatnya beritahukan kepadaku."
"Hehe, tidak mau!"
"Eh~ kenapa?" aku cemberut.
...
Kami berdua tertawa. Rasanya lega dapat membuang kekhawatirannya. Lagi pula itu bukan hanya janji lisan, melainkan aku akan benar-benar kembali.
Yah, tidak ada yang bilang makhluk itu tidak nyata, kan? Jadi sembari menunggu Shina menyelidikinya, aku akan menyelidiki makhluk lain.
***
"Selamat tinggal Shi, aku akan merindukanmu."
"Selamat tinggal juga Ren, ingat janjimu."
"Pasti."
Ren berjalan pergi dari tempat singgah sebelum pendakian, lalu menghentikan langkahnya.
Ia berbalik dan memanggil Shina yang dikiranya sudah berjalan pergi, masih berdiri melihatinya.
"A-Ada apa? Pergilah, kau membuatku merasa malu."
"Sebelum itu, ada yang ingin kupastikan," melangkah mendekat kembali.
"Apa itu?"
"Kemarin lusa kamu bilang ada seseorang yang memberimu inspirasi untuk melakukan pendakian, kan? Boleh tahu, siapa namanya?"
"Hmm, tidak masalah sih. Tetapi kemarin ada sedikit kesalahan. Kukira hanya satu orang, tetapi ada dua orang."
"Dua orang?"
"Ya, satu adalah seorang pendaki yang sekarang sedang menuju ke Himalaya bernama Arie, dahulu dia adalah seorang pemuda asing. Satu lagi ... ah, saat itu dia bersama Arie yang tersesat di sekitar sini dan memberiku motivasi untuk mmengikuti Arie yang membukakan jalan seorang pendaki."
"Siapa nama orang yang satunya itu?"
"Saat itu dia seumaran denganku, jadi mungkin sekarang dia seumuran denganmu juga. Namanya kalau tidak salah, R ... R-Re ...."
"Rei?"
"Ah, iya itu!"
Ren langsung syok.
"Hm? Ada apa?"
"Tidak, tidak apa."
Apakah pemuda bernama Rei ini adalah orang yang sama atau itu adalah orang lain.
"Ren, ada apa?"
"Tidak, tidak apa-apa."
Merengut, "Jangan mengelak, aku ada yang kamu sembunyikan."
Terdiam, Ren menatap langit menghela napas. "... Shina."
"Ya?"
"Aku juga mengenal seseorang bernama Rei dan dia sangat dekat denganku. Kamu mungkin tidak akan percaya, tetapi dia telah menghilang sejak dunia terulang dan hanya beberapa orang yang dapat mengingat semuanya. Sebagian merasa itu hanya mimpi."
"Aku percaya."
"Eh?"
"... soalnya, Rei yang kumaksud juga berasal dari pengulangan dunia itu."
***
Ren menaiki kapal. Di tengah badai, ia melihat ombak besar yang akan segera menabrak kapal ini. Dia merasakan firasat buruk.
Benar saja, kapal ini terombang-ambing dan sesuatu yang buruk terjadi. "Kapten, kapal kita akan karam!"
"Apa?! Ungsikan seluruh penumpang! Amankan mereka!"
"Kamu ingin mengungsikan mereka ke mana?"
"Hm?"
Kapten itu melihatku, lalu mengikuti arah yang kutunjuk. Saat dilihat, ada bayangan besar seperti seekor paus-lebih besar berada di bawah kapal ini.
"Sepertinya itu hanya ekornya. Aku tidak tahu bayangan itu berada di kedalaman berapa, tapi kurasa sekitar 100 meter lebih."
"Kau bercanda, kan?!" Kapten itu terkejut.
Bayangan mirip seperti seekor paus, dikatakan oleh gadis itu hanya sebuah ekor, yang ia bilang berada di kedalaman 100 meter. Apa masuk akal bayangan ekor sebesar paus itu berada di kedalaman 100 meter?!
Para kru kapal awam hanya mengabaikannya dan mulai mengungsikan penumpang di kapsul penyelamat. Namun, kapten itu menatap mata Ren seolah tak percaya.
"Gadis ini ...."
Tak masalah jika itu orang biasa, mungkin khayalan dalam situasi seperti ini menandakan bahwa ia tenang dan itu cukup bagus. Namun, matanya mengatakan hal lain.
Itu sebuah mata elang. Mata yang dapat melihat dengan sangat jauh-tidak, jika tidak salah menilai, mata itu dapat melebihi sebuah-"
"Jangan lakukan itu, kamu akan membuat mereka terbunuh."
Dalam kondisi kapal yang miring ke samping, "Apa yang gadis ini bicarakan?!" kru itu tetap menurunkan kapsul keselamatan dan tak terjadi apa-apa. "Lihat!" ucapnya memasang senyuman palsu guna mempertahankan akal sehat.
Kapten menatapi kapsul itu, "Jika tidak ada darah, seharusnya-"
"Sepertinya makhluk ini spesial. Dia merasakan benda asing di atas permukaan air."
Mulut kapten ternganga. Dia tidak bisa percaya. Tetapi entah kenapa, mendengar perkataan gadis ini dia merasa bahwa yang dikatakan tidak mengandung kebohongan. Bukan, itu mengandung seluruh fakta.
Sontak panik, kapten menyuruh kru-nya. "Hei, jangan turunkan kapsul!"
"T-Tapi, kapten!"
"Jangan membantai. Kau, yang di sana! Naikkan dan bawa kembali kapsul yang sudah turun!"
"Bagaimana caranya?!"
"Aku tidak peduli bagaimana caranya, pokoknya kembalikan!"
"Ah, kamu menggali kuburan seseorang."
"...," tidak bisa merespon.
"Jika kamu menyuruh mereka melakukan sesuatu yang tidak mungkin, maka mereka akan gila sebelum makhluk itu muncul. Saat dia muncul, waspadalah. Sepertinya kengeriannya dapat memunculkan kepanikan, bahkan hingga gangguan jiwa."
Sekali lagi, tidak terkandung kebohongan atau asumsi dalam kata-katanya, melainkan seperti sebuah fakta.
"Siapa yang menyebarkan berita bahwa muncul seekor megalodon? Tampaknya ini jauh lebih buruk dari itu."
"Megalodon, kah?"
Kapten pernah mendengarnya, tetapi dia pikir itu tetaplah rumor dan berlayar dengan kapal kecilnya (yang tanpa layar). Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika berada pada situasi seperti ini.
"Gadis manis ... siapa kau sebenarnya?"
"Shht!" dia menutup mulut kapten.
...
Suasana mulai tenang. Saat ingin berbahagia, kapten itu ditahan oleh Ren.
"Jangan gegabah, jalankan kapalnya perlahan," bisik Ren.
"T-Tapi ...."
"Kapal tidak akan karam. Itu hanya terjangan ombak dan kru yang sudah hampir gila mengatakannya."
Kapten menatap orang yang sama yang disuruh olehnya menaikkan kapsul, sedang terduduk di pojokan. Dia adalah kru magang. "Sepertinya aku terlalu berlebihan kepadanya."
"Sekarang, lakukanlah sesuai ucapanku. Selagi aku mengawasi situasi, tetap tenang."
"Baiklah ...," ucap kapten pelan.
Kapten menjalankan kapal secara pelan, sambil sangat berhati-hati. Penumpang juga dikeluarkan dari kapsul darurat dan yang sudah diturunkan berhasil kembali berkat laut yang kembali tenang.
"Anu ...," kru yang terduduk tadi berdiri dan mendekat seperti ingin memegang bahu Ren.
"Jangan ganggu gadis itu!" seru kapten pelan.
"Tidak apa, bicaralah."
"Bagaimana kamu tahu jika itu bukan megalodon dan makhluk lain?"
"... dari ukurannya. Itu sesuatu yang lebih gila dari megalodon seperti pada makhluk-makhluk mitologi."
"Apa ...?" kapten kaget bukan main.
"Oh, begitu ya. Jadi, bagaimana cara menghindarinya?"
"Asalkan tidak ada lagi benda baru yang terapung, maka seharusnya dia akan menjauh."
"Hm, begitu," kru itu tersenyum palsu.
"Ya-"
Saat ini tubuh Ren melayang dengan terkejut di udara, dengan cahaya matahari tepat pada sudut arah diagonalnya. Saat kapten berpikir Ren akan tenggelam, dia menggenggam sebuah tangga di samping badan kapal.
"Selama ini aku pikir tangga itu tidak lagi berguna karena ada penarik, tapi tak kusangka akan berguna seperti ini."
"Aku juga," Ren menghela napas lega.
Kapten bertanya kepada sang kru, "Hei! Kenapa kau melakukan itu-"
Namun sebelum mendapat jawaban, kru itu menginjak pagar di ujung kapal dan melompat ke laut bebas. Kapten ingin menyelamatkannya diperingati oleh Ren.
"Percuma, dia sudah gila. Sekarang, lebih baik tolong aku!"
Yah, lagi pula kru magang itu sudah tercebur dan jika didekati oleh kapten dia menjauh, jadi kapten hanya menarik Ren saja.
"...," Ren menatap samudra yang bergelembung, besar.
"Dia datang?!" kapten berbisik.
"Hei, kapten. Kamu tahu kenapa kita hanya melihat ekornya saja yang mencurigakan dan saat ada kehadirannya, terjadi gelombang yang tak beraturan?"
"... kenapa?"
"Karena itu adalah kemampuannya. Apapun yang mengotori laut adalah musuhnya. Dia mengenali kapal sebagai hal yang wajar dan membiarkan kita. Tetapi jika ada sesuatu selain itu yang memasuki wilayahnya ...."
"Dia akan kembali mengamuk?"
"Satu hempasan ekornya saja sudah menciptakan sebuah ombak besar seperti tadi. Dan saat melihat bayangan ekor sebesar paus dan aku mengatakan itu lebih besar dari megalodon kamu tidak merasa dapat percaya walau hatimu menyuruhmu percaya, kan?"
"U-Um ...."
"Itu karena tubuhnya spesial, lalu ...."
"Lalu?"
Awan mendung datang.
"Ah, ini gawat," Ren menatapi langit dengan sedikit gelisah.
"Hei, gadis manis, kali ini ada apa?!"
"Ah, jangan berisik! Bersiaplah!"
Ren tidak lagi berbisik. Kali ini, hujan deras membawa ombak. Tidak sekuat tadi, tapi bagi Ren ini merupakan pertanda buruk.
"Lalu apa? Bisa kamu sambung perkataanmu tadi."
"...," Ren hanya menatap laut di mana jasad kru yang gila tadi tenggelam dan kini darah segar malah naik ke permukaan.
Kru lain melihat dengan sedikit ngeri, "Kalau tak salah, akhir-akhir ini tidak ada predator. Tidak ada yang tahu apa alasannya, tetapi ini cukup aneh. Lalu, kenapa mereka muncul tiba-tiba?"
"... dia datang."
"Eh, apa?!" kru tadi kebingungan dan langsung termundur. Sementara Ren masih di tempat dan hanya mengangkat wajahnya.
Lautan bergoyang kencang dan saat petir menyambar, sesosok makhluk raksasa menerjang keluar. Jaraknya sekitar 50 kilometer, tetapi itu tidak mempengaruhi ukuran yang mereka lihat.
"A-APA ITU?!" Kapten berteriak.
Makhluk itu-seekor makhluk raksasa bertubuh panjang, bersisik, memiliki gigi dan kuku yang tajam dan seluruhnya menyerupai seekor naga,
"Leviathan!"
***
Leviathan melompati atas kepala kami. Aku menganga saat gadis manis ini menyebutkan nama itu.
Leviathan, itu adalah nama mitologi legendaris yang merupakan salah satu monster penghuni lautan. Namun aku tidak menyangka, bahwa dia benar-benar nyata.
"Tidak kusangka dia tetap ada meski keadaan dunia seperti ini. Itu artinya, kamu tidak terikat dengan sihir untuk hidup, ya?" ucap gadis itu.
Eh, apa? Dia berbicara dengan makhluk itu?!
Berdiri di ujung kapal, ombak menerjang dengan kuat. "Awas nak!"
"Tenang saja, kapten!" aku tidak tahu mengapa, tetapi saat mendengarnya hatiku terasa tenang akan keselamatannya. Eh, bukan itu! Aku harus menurunkannya dari tempat berbahaya itu!
Namun sebelum aku mulai melangkah ke arahnya, langit yang awalnya gelap mulai terang kembali, sedikit. Hal itu malah membuat sang gadis berteriak, "Kapten! Kecepatan penuh ke depan! Segera!"
"Baiklah!"
Aku tanpa sadar mulai mengikuti arahannya. Kru kapal juga disuruh untuk mengawal masing-masing penumpang agar aman jika terjadi sesuatu dan menyebar sesuai keadaan supaya kapal dapat seimbang.
Aku cukup salut kepada penumpang yang tidak mengeluh dan tetap tenang, atau setidaknya itulah yang kupikirkan.
"Kalian para kru! Hati-hati dan segera ambil tindakan jika mereka mulai menggila! Ketahanan mereka sama halnya dengan kru magang tadi!"
Eh, bagaimana dia tahu bahwa kru yang menceburkan diri sebelumnya adalah magang.
"Kalian sudah biasa menghadapi situasi seperti tempat berombak ini, tetapi para penumpang pastinya tidak semua. Oleh karena itu, jagalah!"
Ah ... aku mengerti. Dari ketahanan, tindakan, dan kewarasan sebagai acuannya. Aku mulai mengerti dan bangga kepada gadis ini.
"Kapten, bersiaplah!"
Baru saja 10 detik setelah dia menyuruhku untuk berjalan dengan kecepatan penuh, tetapi laut seperti bergetar ombak raksasa datang.
"Jika itu dari sini sampai ke daratan, hanya menjadi tsunami ringan. Namun, itu berbeda dengan situasi kita sekarang! Hidup dan mati di tangan kalian!"
Aku sontak berteriak, "Para kru, lindungi para penumpang apapun yang terjadi!"
"Baik!"
Mereka dengan sigap memasuki para penumpang ke dalam kapsul, lalu menjaga mereka tetap di dalam kapal. Tersisa lima kru yang berada di luar.
"Bagaimana ini ...," tanya salah satunya yang berada di paling pojok.
Dia terlihat tidak sanggup dan melompat ke samudra. Bodoh! Itu jauh lebih buruk!
Ombak itu akan menghantam kami, dan menghancurkan kapal kami, itulah yang kupikirkan. Anehnya, sisanya-kami berenam tetap berdiri di luar.
"Leviathan, kamu tidak memakai sihir untuk melakukan ini, kan? Baiklah, aku juga tidak akan menggunakan sihir," gumam gadis itu.
Sihir? Kali ini apa yang ia rencanakan?
Dia diam. Menarik napas. Tenang.
Kami semua yang menatapinya hanya bisa terdiam dalam berbagai ekpresi. Aku merasa gadis ini adalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan kami.
Dia mengucapkan sesuatu, "Kalian lihat? Di sini tidak ada hujan."
Eh? Apa yang dia bicarakan?
Aku melihat ke langit, tetapi seketika tidak ada awan mendung bahkan hujan.
"... apa yang terjadi?"
"Ombak itu juga hanya ilusi."
Kami semua menatap ombak tersebut. Ombak itu terlihat mengecil. Walau masih besar, tetapi aku merasa dapat mengatasi ini.
"Jika kalian dapat sadar sendiri, kalian bahkan tidak perlu melawan."
Aku menatap ombak itu dengan teliti. Tenang dan cermat. Seketika ombak tersebut menghilang.
"... apa yang sebenarnya terjadi?" aku tak percaya.
Bahkan, selama ini aku berada di depan kapal dan gadis itu yang mengemudi? Tunggu, dia bahkan bisa mengemudikan kapal?!
"Ah, kapten. Kamu sudah sadar?"
"Aku tidak tahu apa yang terjadi?"
"Baiklah, biar aku jelaskan."
***
Gadis itu menjelaskan segala yang terjadi pada kapten. Yah, singkatnya ada obat yang membuat kamu berhalusinasi menyebar di udara dan yang pertama kali sadar adalah gadis itu.
Rupanya, kru magang itu adalah seorang pembajak kapal yang menyamar. Namun saat ini dia telah tenggelam, dilemparkan oleh gadis itu.
Satu hal yang kuketahui, ini adalah ilusi yang berada pada diri kami, berbeda-beda setiap orang. Namun, jika hal yang berkaitan dengan dunia nyata terjadi, kira lebih gambarannya sama.
Aku membayangkan sebuah bajak laut menyerang dan kru baru itu adalah mata-mata yang dilemparkan oleh gadis itu. Sedangkan kapten bilang dia melompat sendiri saat sedang gila.
Saat kami berdiskusi tentang ini, kami sepakat untuk meningkatkan keamaan. Aku dan kapten menatap gadis itu dari jauh.
"Kamu terlalu tenang leviathan," ucapnya tersenyum melihat laut.
Aku tidak tahu apa yang ia bicarakan, tetapi aku yakin sekali kapten mengatakan "Apakah ia masih terjebak dalam ilusi itu?" yang berarti mimpi mereka hampir sama.
Saat sampai di pelabuhan dan kutanya kapten, dia mengatakan bahwa ada busa besat di laut dan makhluk mitologi Leviathan muncul, menyebabkan kru baru gila dan melompat untuk bunuh diri.
***
Cerita sebenarnya tidaklah begitu. Itu semua adalah ilusi dari Leviathan, yang menunggu di laut dalam. Sementara aku dan penyamar itu tersadar, aku bersantai sebentar agar mereka tidak segera tersadar.
Oh, yang terakhir mengatakan bahwa itu ilusi adalah Leviathan. Dia tidak jahat kok, hanya saja kemampuannya di luar akal sehat. Sekali lagi, itu bukan sihir melainkan murni dari kemampuannya.
Aku hanya berdiri di ujung kapal melihati gelembung dari laut. Meski ... tidak yakin juga bila itu dia.
Dunia ini tidak memiliki sihir. Dan jika meski tanpa sihir Kraken dan Leviathan dapat hidup, bukan berarti mereka dapat berbicara.
Yah, lupakan saja itu. Karena yang kucari adalah kebenaran tentang megalodon, bukan Leviathan atau Kraken. (Ren meneliti makhluk yang diberitakan, karena jika sampai menjadi berita kemungkinan akan ada korban).
***
"Hm, jadi ini Amerika?"
Ren berdiri di samping pelabuhan. Memandangi daratan utama yang tentunya sangat luas. Matahari terbenam terlihat indah dari sini, tentunya bukan dari arah laut sebab itu mustahil.
Alasan Ren belum dapat mengkonfirmasi megalodon, karena dia pergi terlebih dahulu ke Amerika. Banyak yang tidak menyadari, tetapi Indonesia ke Amerika lebih dekat melalui timur daripada barat.
Dan ya, kapal yang dinaiki Ren menepi di pelabuhan yang berada di timur, jadi Mataharinya tenggelam di balik kota.
Lupakan tentang itu, Ren pergi ke Gurun Atacama, yang disebut sebagai gurun terkering di dunia. Bukan tanpa alasan, di sanalah cacing raksasa tersebut tinggal.
...
Tidak ada. Jejaknya belum ketemu.
Meski Ren tahu baru beberapa saat, tetapi ini sangat membosankan. Dia merasa lebih baik melakukan sesuatu yang menyenangkan seperti belayar atau mendaki.
Oh, mendaki. Benar. Nanti dia akan mendaki Pergunungan Himalaya dan bertemu dengan orang yang kemungkinan besar mengenal Rei.
Siapa namanya? Ar ... Are .... Ah, Arei! Ya, Arei. Ren hampir lupa.
Namanya memang mudah, tapi justru itu membuat dia sulit diingat. Ren pun hanya bisa pasrah jika melupakannya nanti.
"Baiklah, sepertinya aku harus pergi."
Dia berjalan. Ingin ke mana? Tentunya kota atau desa terdekat. Siapa yang ingin bermalam di tengah-tengah gurun terkering dunia tanpa persediaan.
Berjalan ke arah utara, Ren mendapati sebuah perumahan. Setelah ia sedikit memutar, terlihat rumah-rumah lain dari samping. Depan sebuah gerbang memiliki tulisan "Selamat Datang di Kota Ark Ville" yang membuat Ren yakin jika ini adalah kota.
Masuk ke sebuah bar, ia memesan minuman. Tentu saja ... air putih, uangnya harus hemat.
"Makan?"
"Oh, ayam goreng dengan kecap dan lalapan. Serta ikan nila bakar dan mas goreng."
... kalau tidak salah, dia bilang ingin berhemat. (Lupakan)
"Ini dia."
Mengambil makanannya, Ren mulai dari ikan nila bakar terlebih dahulu. Setelah menghabiskannya, ia memakan ayam goreng dengan kecap. Ikan mas goreng diberikan kepada anak di sebelahnya.
"Terima kasih ...."
"Ya, sama-sama."
Ren memakan ayam gorengnya sedikit demi sedikit. Untuk menikmati makanan, setelah menghilangkan lapar dengan ikan haruan bakar.
Tidak berselang lama setelah gigitan pertama, seseorang membuka pintu dengan keras sehingga membuat Ren sedikit terkejut dan ayamnya terjatuh. Ren terdiam.
"Hei! Saatnya lunasi hutangmu!"
"... maaf, aku tidak ada hutang," ucap pemilik bar lalu berjalan ke pintu belakang.
Saat pintu terbuka, seorang pria berjas hitam menjaganya. "Kamu pikir kamu bisa pergi?" ucap penagih tadi.
"... bisa, sih."
Pemilik bar menutup pintu belakang kembali yang membuat orang di belakang sedikit terkejut dan heran hingga terdiam, sementara pemilik bar menaiki tangga yang menuju atap.
Penagih hutang sempat membuka mulutnya terdiam, sebelum menggelengkan kepalanya tersadar kembali. "Jangan bercanda, anak tetangga! Meski kamu anak tetangga, bayarlah hutangmu!"
Karena tidak diherani, penagih hutang itu ingin menaiki tangga. Tanah sedikit bergetar sebelumnya, lalu saat penagih itu berada tepat di samping Ren, ia menahan.
"Jangan menghalangi!"
"Hei, aku sebenarnya ingin marah karena hal lain, tapi ...."
"Hm?" menaikkan alisnya.
"-lihatlah, kamu membuat gadis kecil ini menangis."
"Gadis kecil?" penagih itu menengok ke sampingnya, ke arah gadis kecil yang menangis.
Penagih-pria itu melihat dalam diam sebentar, sebelum wajah datar dan seriusnya digantikan senyum dan tawa. "Haha, ha, ha! Gadis kecil?" menunjuk gadis itu lalu memegang kepala, "kamu telah ditipu!"
"Apa?"
Menatap Ren dengan wajah lucu, "Dia adalah seorang minta-minta yang mengandalkan wajah mudanya untuk mendapatkan makanan gratis!"
"Benarkah itu?!" tanya Ren ke arah gadis itu.
"B-Benar," ucapnya dengan ekpresi bercanda.
"...," Ren merasa kecewa.
Tersenyum, "Huh, kota ini penuh dengan tipuan," menunjuk pintu ke luar, "jika kamu tidak kuat dan minum air putih, maka pergilah!"
Ren memang ingin segera pergi karena merasa kecewa berlipat dan tidak ingin ikut campur, tetapi begitu mendengar kalimat terakhir tersebut, ia berhenti bergerak.
"... m."
"Hm?"
"Itu ... haram."
"Apa maksudmu?" tanya pria itu menampakkan wajah aneh, "tidak ada yang haram dari minuman ini!" ucapnya mengambil segelas minuman yang disuguhkan tanpa pemesan. Ya, kerjaan siapa lagi jika bukan pemilik bar.
Orang-orang tertawa, ternyata Ren telah dihina. Selama ini, setiap orang yang memesan air putih akan disiapkan minuman di depan mejanya. Maksudnya adalah "Haha! Pecundang yang tidak bisa meminum ini!" kira-kira seperti itu.
Ren berjalan ke luar pintu, merasakan getaran kembali. Ia tidak mengatakan apapun, sampai akhirnya sampai di tengah pintu keluar.
Tanpa menghadap belakang, "Hancurlah," ia menjentikkan jarinya. Orang-orang melihati Ren dengan tatapan perasaan aneh.
Ren hanya melangkah beberapa kali, sebelum akhirnya bangunan itu diremuk dari dalam bumi oleh seekor cacing. Cacing tersebut memiliki ukuran raksasa dengan diameter seluas 12 meter.
Ren telah merasakan kehadirannya. "Membawa gadis kecil itu keluar bersamaku" adalah hal bodoh yang pernah dipikirkannya. Andai dia tahu tentang penipu itu dari awal, ia bahkan tidak akan memberi ikan mas goreng sedikit pun.
Walau, sebenarnya orang-orang yang mengenalnya dengan dekat tak yakin, melainkan Ren yang saat ini menyesalinya sebenarnya merasa menyesal karena tidak bisa meluruskan mereka sebelumnya.
Tidak perlu memperdulikan bar dan isi bar itu, Ren hanya berjalan menjauh. Dia juga sudah mendapatkan makanan walau hanya mengganjal perut dan membuktikan bahwa makhluk itu ada, jadi ia bisa melanjutkan perjalanan.
Apa? Kamu kira Ren akan membasminya? Tentu saja tidak, tidak akan dan tidak mungkin.
Pertama, Ren hanya ingin mengetahui kenyataan tentang makhluk itu bahwa apakah mereka nyata atau tidak. Kedua, dia sudah mengisi energi. Ketiga ... dia tidak punya kewajiban untuk memburunya.
***
"Aaaahhhh!" merasa perilakunya jahat, Ren mendapatkan ganjaran.
Ketika Ren sedang berjalan menjauh dari kota debu-debu yang berterbangan mulai berhenti, lalu setelah beberapa saat tiba-tiba cacing itu muncul di hadapannya.
Sontak langsung saja Ren berlari, menuju ke daerah hutan tanpa pasir. "Dia pasti tidak akan bisa lewat," pikirnya. Tentu saja, dugaannya salah.
Setelah menyadari dirinya masih dikejar cacing itu, ia berlari dengan panik hingga tanpa sadar terjatuh ke dalam jurang.
"Aaaahhh!" tubuhnya menggelinding, membuat kepala Ren pusing.
"Aduh, duh ...."
Kepalanya sakit, tetapi tubuhnya tidak terluka parah sama sekali. Entah manusia biasa mana yang dapat menahannya, selain dari cerita dan novel.
Kepalanya masih sakit. Ren memeganginya sembari mengumpulkan kesadaran, lalu setelah pulih mengamati situasi sekitar.
"Hm, tempat ini tidak ada di peta. Kemungkinan karena tertutupi oleh pepohonan sehingga tidak terjamah."
Mencoba untuk berdiri, ia dapat melakukannya tanpa masalah. Ren bersyukur kakinya tidak terkilir. Sepertinya selain lecet tubuhnya baik-baik saja.
"Namun, aku tidak tahu di mana ini ...."
Ren membuka semak-semak, melintasi hutan rimbun yang penuh akan tanaman merambat. Ia juga perlu berhati-hati terhadap semak belukar.
"Di saat seperti ini ...," Ren berjalan lurus terus. Lurus, lurus dan lurus hingga matahari terbenam.
Merasa tidak ada harapan melalui cara ini, Ren mengubah taktik dengan mencari tempat yang tinggi. Menaiki sebuah tebing, Ren memandang ke arah barat hingga timur. Hanya hutan belantara sejauh mata memandang.
Karena merasa tak ada hasil, Ren menginap di hutan. Tepat ketika ia menyalakan api unggunnya, seseorang datang.
"Mengapa kamu melakukan ini? Ini mengganggu masyarakat sekitar."
Ren ingin menanyakan soal masyarakat, tetapi ia mengubah pertanyaan ketika melihat yang bertanya adalah seorang anak kecil. "Mengapa anak sepertimu berada di pedalaman hutan seperti ini?"
"Pedalaman hutan? Kita hanya di tepinya, kok."
"Eh?"
Saat itulah, Ren menyadari bahwa selama ini beberapa puluh meter di sisi kirinya terdapat dataran luas. "Oh iya, kalau tidak salah saat ditebing aku hanya mengecek dari timur sampai barat, untuk utara ...," ia menyesalinya.
"Pokoknya, segera matikan api itu dan ikut aku ke kota. Ingat, jangan bersikap seolah-olah menjadi orang yang sedang berkemah!"
"Baik ...." Ren hanya dapat berdiam pasrah. Hatinya telah hancur dan sepertinya ia telah dianggap aneh oleh seorang anak kecil.
***
Sesampainya di kota, Ren melihat sesuatu yang unik. "Apa itu?"
"Ah, itu? Itu adalah perangkap untuk menangkap cacing raksasa jikalau ia datang ke sini."
"Perangkap? Cara kerjanya."
Menunjuk ke sebuah katrol, "Di sana sebuah tali menarik sangkar berisi umpan. Saat dia terpancing, kami akan menyerbunya."
Ren merasa kagum terhadap kota ini. Meski kota ini lebih besar daripada sebelumnya, mereka sudah mengantisipasi apabila hal itu terjadi.
"Lalu, apa yang akan dijadikan umpan?"
"... manusia?"
"...."
Ren menarik kembali perkataannya. Ini sama saja mengorbankan warga untuk keamanan. Meski tidak ada pilihan lain, ia merasa bahwa bukanlah itu solusinya.
"Sampai saat ini ada beberapa pihak yang tidak setuju, tetapi sebagian dibungkam dengan uang. Akhirnya protes itu justru dijadikan sebagai sarana mendapatkan ladang uang ...," ucap anak itu menundukkan kepalanya bersedih.
Huh ... ladang uang, kah? Sesuatu yang sepertinya sangat Ren benci.
Ia pernah mengalami hal mengerikan karena hal itu, jadi wajar saja. Bagaimanapun, mengorbankan seseorang bukanlah solusi yang tepat. Akan tetapi, Ren memberikan apresiasi terhadap anak di depannya ini.
"Bagaimana jika kita juga protes?"
"Eh?"
"Tenang saja, aku tidak akan dapat dibungkam dengan uang," ucap Ren tersenyum menutup sebelah mata.
Anak itu merasa seperti melihat harapan. Ren merasa cukup puas akan ekspresinya.
"Benarkah ... itu?"
"Tentu saja!" ucapnya dengan penuh percaya diri.
"Baiklah," mengelap air matanya, "aku akan mempercayaimu."
Ren tersenyum menanggapi perkataan tersebut, mendekap anak itu di kepalanya sebentar kemudian melepaskannya.
"Janji?" ucapnya masih tak percaya.
"Aku berjanji."
***
Di gedung, sebuah kantor ....
"Serius?!"
"Serius."
Di hadapannya, Ren melihat uang bernilai jutaan dolar.
"Kak Ren ...," anak itu mengatakan dengan perasaan sedih.
Ren meliriknya sebentar, "Ehem, Alke, aku punya urusan. Dah!"
"Ah, tunggu-" anak itu-yang bernama Alke ingin menggapai tangan Ren, tetapi ucapannya berhenti saat dia gagal menggapainya.
"Maafkan aku, aku sengaja menghindarinya," ucap Ren pelan sembari masih berjalan. Ia melirik ke belakang saat mengucapkannya.
"Haha, lihat itu! Pada akhirnya, semua orang yang kamu bawa sama saja!" ucap seseorang bertubuh gendut dan berkelamin pria.
Alke hanya dapat menunduk sedih dan kecewa mendengar perkataan itu. Pada akhirnya, semuanya sama saja. Mereka meninggalkan Alke.
"Hm, benarkah? Sepertinya akhirnya tidak akan begitu."
Setelah pergi dari kantor tersebut, tentunya Ren langsung berjalan menuju toko senjata.
"Paman, AK-47, Bazooka, SR-14 dan Famas. Untuk Famas yang semi auto saja."
"Baik, siap."
"Ah, hampir lupa. Sniper 28-RE dan 3 butir peluru saja."
"Baik-baik."
Ren akhirnya membeli AK-47 dengan 90 peluru, Bazooka 15 peluru, SR-14 (Pistol Khusus) 5 peluru, Famas 45 peluru dan Sniper 28RE (Sniper Khusus) dengan 3 peluru.
Kenapa Ren senjata khusus dengan sedikit peluru? Karena harganya sangat mahal. Ya, kini dompet Ren hanya berisi 10× lipat dari jumlah awal perjalananya. Entah seberapa banyak yang telah ia habiskan untuk senjata khusus itu.
Senjata api mahal bukanlah halangan dan hambatan bagi Ren. Masalahnya adalah letak pertarungan dan ... bagaimana caranya ia memberitahu Alke nanti. Sebelumnya ia telah meninggalkannya sendirian, jadi saat sadar Ren tidak tahu harus melakukan apa.
"Yah, lebih baik aku langsung bergerak."
***
Singkat saja, Ren berhasil mengalahkan cacing itu. Bagaimana caranya? ... kau tidak perlu tahu.
Bahkan, tidak perlu menanyakan terhadap seorang prajurit dari sejarah yang menghilang ....
(Buat yang kecewa, genrenya jangan sampai melenceng lebih jauh lagi :")
Sekarang, ini saatnya untuk berhadapan dengan Alke. Ren tidak tahu harus berkata seperti apa kepadanya. Apakah harus meminta maaf? Atau langsung memberitahu bahwa cacing itu sudah binasa? Jika melakukan itu, maka kemungkinan ia akan dibenci.
Meski tak ada lagi yang memandunya, itu tidak masalah karena Ren akan segera pergi. Namun, Ren tidak bisa membalikkan wajah dari bantuan Alke.
"Ren!" suara yang tidak asing memanggil namanya.
Ren menutup matanya, bersiap merasakan hati yang pilu.
"Kamu hebat sekali, dapat mengalahkan cacing itu!"
"Eh?" tidak sesuai ekspektasi.
"Kami semua melihat kamu menembakinya dan meledakkan isi perutnya!"
"Oh, hehehe ...."
... itu saat Ren tertelan, ia langsung meledakkan bom di dalam perut cacing bersamaan dengan dirinya. Sungguh nekat, tetapi Ren berhasil selamat secara ajaib. Bahkan pistol dan sniper khusus miliknya tidak digunakan.
Walau begitu, ia kehilangan Famas dan AK-47 yang cukup merugikan, itu menyebalkan. Ren hanya dapat menjual Bazooka saja. Untuk SR-14 dan 28-RE akan ia simpan jika nanti diperlukan.
***
Ren mendaki sebuah gunung-pergunungan. Sesekali ia melirik kompas dan sebuah kamera yang tergantung di sisi kiri pinggangnya.
Kamera itu adalah hadiah dari warga untuk mengungkapkan rasa terima kasih mereka, sedangkan kompas itu pemberian dari Alke.
Kompasnya terlihat sangat tua dan kuno, tetapi Ren bersyukur memilikinya saat dalam perjalanan kemari. Karena ... kompas digital yang dikembangkan oleh para ahli teknologi, sedang mengalami masalah saat memasuki medan gaya di Pergunungan Himalaya, tetapi kompas kuno itu masih tetap berfungsi.
Itu wajar, karena kompas kuno memakai medan kutub bumi, sedangkan kompas digital sekarang menggunakan satelit. Untuk keefisienannya ... dalam keadaan normal, kompas digital jauh lebih akurat bahkan hingga 3 angka desimal, karena satelit mikro sudah memenuhi langit.
Ren mendaki sembari berpikir, karena tentu saja hal yang dapat menyebabkan masalah ini sangat hebat, karena bukan satu melainkan ratusan satelit yang tepat berada di atas pergunungan.
Oh, omong-omong penampakan Yeti yang Ren lihat di TV itu berasal dari rekaman di Antartika. Sebenarnya ia ingin pergi ke sana, tetapi bekal dan ketahanan fisiknya tidak mumpuni untuk melakukan itu.
Beruntung, penampakan lain terlihat di pergunungan Himalaya. Karena masih terdapat penduduk, Ren lebih tertarik untuk pergi ke mari.
"Namun, aku tak menyangka di ketinggian segini sudah dingin sekali. Untung saja aku membeli jaket yang disarankan oleh pedagang lewat."
Benar. Meski di tempat seperti ini, uniknya pejuang nafkah rela melakukan perjalanan naik turun gunung hingga tinggal di atasnya, hanya untuk mendapatkan pekerjaan.
Yah itu wajar karena mereka mantan pendaki, tetapi Ren tidak bisa membayangkan seberapa banyak stamina yang mereka punya untuk melakukan ini.
"Mungkin Rei lebih kuat, tetapi tetap saja orang-orang ini hebat dapat menyaingi manusia di luar nalar itu.
Stamina Rei ... haruskah aku membahas dirinya? Aku akan menjadi sedih jika membahas itu ...."
Ren kembali mendaki, hingga mencapai suatu titik yang tepat untuk beristirahat.
Ia menatapi jaket yang baru saja dibelinya.
"Andai sweater itu tidak terbang saat aku sudah seperempat jalan, pasti sudah kuambil kembali. Huh ... mungkin dia ingin kembali ke tempat asalnya."
Ren jadi teringat saat ia mendapatkan sweater itu. Itu terbang begitu saja ke arah Ren. Kini, dia kembali mengudara untuk mencari orang lain yang membutuhkannya.
Ren duduk dengan kaki sebagai tumpuan tangan. Tiba-tiba mata Ren melebar, "Ah!" menepuk dahi.
"Bagaimana aku bisa lupa dengan Shi dan Arie?!"
Rasanya ingin membenturkan kepala. Ren membenamkan kepalanya dipelukan tangan menghadap ke bawah, "Apalagi Arie yang kucari itu temannya Rei dan kakaknya Alke. Ada apa denganku?!"
Menganggap dirinya benar-benar bodoh, ia merasa sangat malu. Kepalanya yang dibenamkan tak terangkat-angkat.
"Anu ...," suara seorang pria di hadapan Ren.
Ren sontak mengangkat kepalanya dan menatap pria itu.
"Apa ... kamu baik-baik saja? Sepertinya kamu tidak terlalu sehat."
"Oh, tidak. Aku tidak apa, terima kasih atas perhatianmu."
"... kalau boleh tahu, siapa namamu?"
"Hm ... aku Ren, kamu?"
Pria di hadapannya terlihat lebih tua. Ren sadar ucapannya tidak sopan dan langsung menutup mulut dengan tangan.
"Aku Aria, salam kenal, Ren."
"... Arie?"
"Ya?"
"...."
"Ada apa?"
... dia Arie?
"Benar, kamu tidak enak badan?"
Mengabaikannya, Ren mengambil kamera di pinggangnya dan sedang melakukan sesuatu. Itu membuat Arie memiringkan kepalanya heran.
Ren hendak menunjukkan sebuah foto, tetapi ia langsung menahan tangannya untuk memutar kamera sebelum foto itu terlihat.
"Um ...?"
"Boleh aku memastikan sesuatu, Arie?"
Tersenyum, "Tentu saja, apa itu?"
"Apakah kamu mengenal Rei?"
"Eh? Tidak ...," wajahnya terlihat aneh.
"Kalau Shina?"
"... aku seperti pernah mendengar namanya."
"Oh, begitu."
Ren mengurungkan niat untuk memperlihatkan isi kameranya kepada Arie.
"Hei, tunggu. Apa yang tadi ingin kamu perlihatkan? Aku cukup penasaran ...."
"Itu ..., tidak jadi."
Ren berniat memperlihatkan foto ia bersama adiknya agar Arie tahu bahwa Ren adalah kenalan Alke. Jika ingatannya menghilang, wajar apabila Arie tidak mengingat Rei. Namun, Shi ... dari ucapannya, dia pernah bertemu tetapi melupakannya.
Jika sudah seperti ini, tidak perlu Ren memperlihatkan foto itu karena tujuannya selain mencari informasi tentang Rei adalah mempertemukan kembali Alke dengan Shi. Jika bukan karena itu, ia tidak perlu terlibat lebih jauh.
Arie pasti dalam perjalanan turun, sedangkan Ren baru saja naik. Ia tidak ingin membuat masalah dengan Arie sebab dari perkataan Shi waktu itu, Ren dapat menebak seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk meraih puncak gunung ini.
Tentu saja, beda jika kamu pergi menaiki helikopter atau jetpack, memikirkan itu membuat Ren merasa konyol.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi jika tidak memperlihatkan isinya," ucap Arie merentangkan tangan untuk menghalangi jalan Ren.
Itu tidak cukup untuk menghentikan Ren. Ia melesat melalui celah kaki Arie dan langsung pergi.
"Hei, awas!" Arie berlari ke arah Ren.
Salju membuat jalan menjadi licin. Ren mencapai ujung jurang, tetapi untung saja tangannya berhasil digenggam oleh Arie.
Tidak, sebaliknya. Tubuh Ren seketika mengayun berputar ke atas dan kini Arie yang hampir terjatuh.
"Jangan memaksa untuk melihatnya jika kamu ingin selamat."
"B-Baik."
Ren menarik tangan Arie. Ia membersihkan tubuhnya dari debu dan merasa untuk tidak macam-macam kepada Ren.
Mulai dari mengatakan tidak jadi, ingin pergi, meluncur, hampir jatuh, hingga balik mengancam, satu hal yang tidak dapat tidak dihiraukan. Matanya menatap datar.
Yah ... mulutnya awalnya cemberut, tetapi sedikit tersenyum saat berhasil mengancam. Arie bertanya-tanya apakah Ren-
"Jangan berpikir hal aneh tentangku. Itu hanya senyum kemenangan, kamu tahu?" ucapnya menatap tajam.
"I-Iya," aura tak biasa keluar dari tubuh Ren.
Kemudian mereka berpisah dan mengambil jalur berlawanan. Arie menunjukkan jalur yang mudah dan memberikan sisa makanan untuknya, sedangkan Ren memberikan sebuah kertas hitam yang tidak tahu untuk apa itu.
Singkat cerita, Arie sampai di bawah terlebih dahulu, sedangkan Ren baru setengah jalan menuju puncak.
Di sana, suhu sudah stabil. Lalu Arie melepas sweaternya sembari menaruh barang-barangnya. Di sana, dia juga mengambil sebuah sweater yang jatuh terbawa angin. Arie ingat itu miliknya yang hilang saat mendaki Gunung Jaya Wijaya.
Saat menaruh kertas yang diberikan oleh Ren, tiba-tiba sebuah gambar muncul di sana. Terlihat seorang anak dengan gadis yang sedang tersenyum ke arah kamera. Penasaran, Arie membalik kertasnya dan melihat sebuah tulisan bewarna merah, "Dia merindukanmu."
Sontak Arie tersentak, hatinya cukup merinding. Perasaan sedih dan rindu memenuhi pikirannya.
Beberapa saat berlalu ... tersenyum, dia memakai topi dan mengangkat kopernya menuju stasiun kereta.
"Sudah lama aku tidak pulang ... sudah lama aku ingin melihatnya kembali."
Arie menaiki kereta menuju dermaga. Sembari menaruh barang-barangnya, terpikirkan sesuatu.
Berbalik menghadap ke gunung, "Ren, terima kasih telah mengingatkanku."
Tiba-tiba saja di tengah-tengah gunung, setitik cahaya mengkilap nan menyilaukan menyambar matanya. Sontak menutupi sebagian mata dengan telapak tangan, Arie merespon dengan senyum.
Satu hal lain terjadi lagi, bayangan seperti burung kecil di langit yang tinggi sedikit menyita perhatiannya. Dia hanya bisa tersenyum menggigil kali ini.
"Ren, ternyata kamu benar-benar tidak biasa."
Menarik ujung topinya, berlagak keren meninggalkan stasiun kereta. Menuju kampung halaman, tempat yang sebelumnya penuh kekacauan.
"Duh-duh!" topinya tersangkut dan dia kesulitan untuk melepas. Terlebih saking bersemangatnya, matanya ikut tertutupi.
"Ah!"
"Hei, hati-hati!"
Keributan dalam kereta tak bisa dihindari. Awal yang lucu, dari kesengsaraan menyapu padang pasir.
Di kejauhan, pertengahan gunung.
Ren menatap ke arah kereta. "Yah, semoga dia dapat membantu untuk membereskan kekacauan.
Pembasmianku menghancurkan sebagian pinggiran, sih."
***
Masih mendaki ke atas gunung, akhirnya terlihat setumpukan salju. Tempat yang cocok untuk Yeti tinggal.
"Woarghhh!"
"Eh? Ga pake lama?!"
Auman keras terdengar. Entah ini beruntung atau tidak, karena targetnya langsung ditemukan dan mendatangi Ren dengan sendirinya.
Justru Ren-lah yang menjauh. Tentu saja, siapa yang rela dimakan?
"Woahhh! Awasss!"
Teriakan orang gila-pemberani yang mencoba untuk bermain ski dari puncak Himalaya menuruni lereng hingga ke dasar.
Di hadapannya terdapat makhluk raksasa berbulu putih seperti gorilla bertanduk, Yeti, sejauh 100 meter. Jarak sejauh itu dengan kecepatan ini akan ditempuh olehnya hanya dalam 10 detik.
"Roarr!" yeti itu yang awalnya mengejar seorang gadis, berbalik untuk menatap pria itu.
"Terima kasih atas pengalihannya!" teriak si gadis keras saat pria itu hampir berada di hadapan sang yeti.
Tangan yeti mengayun, Cleck! Cairan merah mengalir ke salju.
"Aaah-eh, aku masih hidup?" ucap pria itu melihati kedua tangannya sambil terus meluncur.
"Woarghh!" yeti itu hanya berhasil mendapatkan selai stroberi yang kini toples kaca itu pecah dan beberapa terinjak olehnya.
"Yeyy! Aku masih hidup!" ucapnya berteriak bahagia, sesaat sebelum melayang di udara.
... pria itu terjungkang di salju. Untungnya, peralatan keamanan dan rindangnya pohon menyelamatkan nyawanya. Yah ... hanya patah tulang, lagi pula dia sampai di sebuah perkemahan.
"Hei! Kamu baik-baik saja?!"
***
Kembali ke Ren, dia mengamati yeti itu dari balik batu. Sepertinya beling yang terinjak tidak terlalu berpengaruh, tetapi ada hal lain yang menyita perhatiannya.
Yeti itu melihat ke arah tangannya, kemudian menjilatnya. "Woarh!" dia terlihat senang.
Ren mengangkat alis. "Selapar itu, kah?"
Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepalanya. Hm ... makanan apa yang jumlahnya banyak, kecil, tidak mengenyangkan dan sulit dimakan? Jawabannya adalah, kacang tanah!
Ren melempar sebuah balon tiup yang diisi oleh ratusan butir kacang tanah siap kupas. Balon itu memantul ke hadapan yeti itu.
"Uh?" dia mencoba menyentuh balon itu dengan cakar tajamnya.
Boom!
Balon itu meledak dan membuatnya terkejut, membuatnya waspada dan panik.
"Sial, berhasillah!" bisik Ren.
Yeti itu mulai mendekati kacang itu. Kewaspadaannya mulai berkurang.
"Aoooaaaa!" tetapi, datanglah sebuah pengganggu.
Satu peluncur gi-penantang lagi menuruni gunung, panik dan melakukan hal yang sama, lalu tersungkur di tempat yang sama.
Orang sebelumnya yang terduduk sambil diperban sebagian tubuhnya, menatapnya dalam diam sebelum mengangkat kedua tangan, "Kita sama!"
"Aduh-duh!" orang itu kesakitan.
Di tempat sebelumnya ...
"Argh! Sialan!" Ren berteriak sepelan mungkin.
"Hm?" yeti itu terdiam.
Mata Ren berbinar, ketika mulut yeti itu perlahan bergerak dan semakin cepat, lalu mengambil kacang yang berserakan di tanah untuk memakannya.
Hal yang tertancap di cakar yeti kali ini adalah kacang tanah! Tidak hanya itu, jumlah pengalihannya menjadi dua kali lipat!
Ren kini bersyukur. Mulai sekarang, semoga lebih banyak pendaki g-keren mulai sekarang. Semakin banyak, semakin baik!
Bergegas meninggalkannya, Ren berusaha mengeluarkan suara seminim mungkin, sementara makhluk itu sedang asyik menikmati makanannya.
"Selain itu, aku tidak tahu bahwa yeti itu omnivora."
***
Tengah malam. Kini Ren sudah berada di bagian salju paling tengah, atau setara dengan tempat tiga perempat gunung.
Ren dapat naik lebih cepat tentu saja karena Arie memberitahu rutenya, tetapi bukan hanya itu. Ini karena dorongan adrenalin yang menjadi-jadi semenjak tahu bahwa yeti itu masih tetap mengejarnya.
"Dari semua orang, kenapa harus aku? Apakah segitu berharganya diriku?!"
Ren tiba-tiba teringat ujung jarinya yang tergores untuk menulis dibalik foto itu menggunakan darah. Lukanya tidak tertutup.
Menepuk kepala, "Oh, benar. Ini tempat dingin ...."
"Sudahlah, lupakan itu."
Yeti itu terus mencari Ren. Dia berada 720 meter di bawah. Ren bisa melihatnya melalui sesuatu yang ia gunakan.
"Woarggghhh!" yeti itu berteriak ketika melihat sesuatu yang mengkilap di atas jurang.
Dia segera mengambil jalan memutar dan berlari sekuat tenaga. Matanya terlihat sangat haus darah.
sekejap mata dia sudah sampai di 400 meter, lalu terhenti pada jarak 100 meter karena sesuatu. Tampaknya wajahnya sangat senang ketika memakan kacang.
Tersenyum, "Ya, senanglah. Karena sebentar lagi, kamu akan tertidur."
Ren membidik tajam melalui scope 28RE ke arah yeti itu.
Ya, dia akan segera menembaknya.
Perlahan ... melihat arah mata angin. Menurut kejanggalan, yeti ini bukanlah penyebab kompas tidak dapat digunakan. Namun, sesuatu yang lain.
Akan tetapi, tembakan ini tak terelakan. Ren harus menembaknya sebelum ada orang yang menjadi korban.
Burst!
Tembakan 28RE bukanlah main-main. Berbeda dengan sniper lain, jarak 100 meter adalah angka stabil. Karena, 8 tembakan akan mengenai musuh sekaligus.
Ya, Sniper 28RE juga dikenal dengan Sniper Shotgun Sniper.
Yeti itu merasakan ada yang aneh, lalu melihat kembali ke arah cahaya sebelumnya. Namun, kini cahaya itu tengah melesat ke arahnya.
"OWARGHH!"
8 tembakan mengenai masing-masing bagian vital. Kepala, jantung, kedua kaki dan kedua tangan, lalu kedua sisi paru-paru. Untungnya, setidaknya satu titik itu tidak terkena sama sekali.
Tubuh yeti itu dialiri listrik dan tidak bergerak.
Sniper Khusus 28RE, atau nama sebenarnya Special Sniper v.28 type Reaction Electro. Selain versi pengembangan sebelumnya, ada jenis lain seperti Sniper 4E atau Sniper v.4 type Electric. Versi biasa.
Ren menyimpan snipernya kembali, lalu berjalan mendekati yeti itu. Salah satu keunikan 28-RE sebagai senjata khusus, dapat dilipat dan disamarkan sebagai tongkat untuk tenda dengan baik. Meski ... mereka agak curiga karena Ren tidak membawa tenda.
Ketika Ren mendekatinya, dia masih dapat menatap Ren dengan tajam. "Maaf, tapi aku harus melakukan ini sebelum memakan korban."
Mengambil Pistol SR-14, Ren menembakkannya langsung ke dalam mulut yeti itu. Pelurunya tak terlihat dan kesadaran yeti itu telah menghilang.
"Kamu pikir aku akan mengatakan itu?" sambil tersenyum.
Kesadarannya iya, tetapi napas dan detak jantungnya masihlah ada. "Tenang saja, sisanya menelpon nomor darurat untuk mengevakuasi dirimu."
SR-14 atau yang lebih dikenal Special Gun Sleep Rush v.14, membuat lawannya langsung tertidur dengan peluru khusus.
Untuk apa Ren membawa senjata ini saat melawan cacing? Untuk menidurkan hewan ternak yang hampir dilahapnya agar pergi dengan tenang, sebab gigi bergerigi milik cacing itu sangat mengerikan.
Sungguh baik, bukan?
"Hm, kenapa?"
Ren mencoba untuk memencet tombol nyalakan pada Handphone miliknya, tetapi tidak bisa. Saat di cek, ternyata mati total.
"... bagaimana ini?"
Lalu, keajaiban terjadi. Orang super kembali meluncur dari atas bukit. Tentu, sambil berteriak.
"YeeEEETIIIiii!"
"Halo, halo, 911? Di sini ada yeeEEEETIIIiii!"
"Pfft," Ren menahan perut saking sakitnya karena tertawa. Tapi, kini hatinya dapat tenang. Sekarang dia sudah bebas untuk meninggalkan Yeti ini dan pergunungan ini.
Mengapa tidak mendakit sampai puncak, kamu bertanya?
"Untuk apa aku pergi ke puncak? Tujuanku sudah selesai sampai sini. Sisanya, tinggal memastikan apakah megalodon itu benar-benar ada."
Tepat setelah mengatakan itu, bayangan burung melewati bulan purnama. Terlihat kecil, tetapi ketika Ren mengukur ketinggiannya ....
"Mungkinkah?!"
***
Ren akhirnya berhasil mendaki sampai ke puncak. Tubuhnya gemetar karena ia tidak beristirahat semenjak melihat bayangan itu lusa.
Bagaimana pun, dia hanyalah manusia. Tidak memiliki kekuatan super, hanya manusia biasa dengan kelebihan.
Bahkan di jurang saat itu, jika Arie tidak menarik tangannya, ia sangat ketakutan dan dapat dipastikan akan mati. Alasan Ren dapat berbalik mengancam Arie adalah, sifatnya yang selalu mengambil kesempatan.
"Wusshhh!" tiba-tiba angin kencang berhembus.
Saat ini tengah malam, jam 12.05 tepat seperti saat ia melihat bayangan 2 hari lalu. Saat itu, angin juga berhembus tetapi tidak kencang.
"Apa kau ... selalu mengikutiku?" tanya Ren menatap mata merah di balik bayangan kegelapan.
Awan yang menutupi rembulan menyingkir. Bersamaan dengan mengangkat sayapnya, paruhnya terbuka mengeluarkan suara khas burung.
"Garuda ...."
Pupil merah dengan iris putih melambangkan sesuatu yang telah dikenal. Tubuhnya yang gagah dan jumlah bulu seperti disimbol membuat Ren terdiam kagum.
Makhluk perkasa itu membungkukkan tubuhnya di hadapan Ren.
"Aku ... kamu menyuruhku menaikimu?"
"...," jawabnya perlahan menutup mata.
"...."
Ren melangkah mendekati burung legenda itu. Mengelus bulunya, lalu menaiki punggungnya.
Seketika sayapnya kembali melebar, mengepak dan membawa mereka terbang. Rasanya seperti menaiki naga, tetapi berbeda.
"Ini luar biasa!"
Ekpresi kagum bercampur terharu terukir di wajahnya. Air matanya mengalir saat ia sedang tersenyum bahagia.
Pergunungan Himalaya, terlihat seperti sebuah bukit. Kota-kota di bawah, bahkan pesawat terlihat seperti sebuah titik.
Samudra pasifik ... dengan mudah dilewatinya melalui udara. Ren melihat seluruh belahan dunia yang pernah ia kunjungi dengan senyuman bangga.
Akhirnya dia bisa sampai ke sini, tempat yang tidak bisa digapai oleh siapapun tanpa alat bantu. Tempat di mana kamu bisa melihat satelit-satelit berukuran raksasa yang masih aktif melayang. Tempat di mana stasiun luar angkasa takjub melihat benda asing melayang di permukaan bumi.
Hati Ren bahagia, sangat bahagia. Jauh di Samudra Pasifik, ia melihat bayangan dua ekor makhluk raksasa.
Di Samudra Hindia, Ren melihat sebuah bayangan yang lebih kecil. Belum pasti itu megalodon, tetapi pasti ada sesuatu di sana.
Ia tertawa saat melihat Gurun Atacama seperti segenggam pasir, lalu sedikit terharu karena ternyata Indonesia cukup luas.
Permukaan peta datar dan globe sepertinya dijadikan alat politik, jadi melihat langsung adalah cara yang terbaik.
Usai melihat semua itu, Garuda merasa Ren sudah puas dan langsung menikung dengan tajam ke arah Indonesia. Menembus atmosfer, bukannya takut dan kepanasan, Ren justru terlihat semangat dan berkata, "Ini seru! Rasanya dingin sekali!"
Entah keajaiban apa, tetapi ini mematahkan realita. Jika benar begitu, mungkin suara yang Ren dengar sebelumnya itu benar-benar suara Leviathan?
***
"... sangat menyenangkan," Ren terbaring di atas Gunung Jaya Wijaya. Ternyata, hobi Garuda ke tempat dingin nan tinggi memang benar. Garuda sedang tertidur saat ini.
"Ren!"
Melihat ke arah datangnya suara, mata Ren berbinar, "Shi!"
"A-Apa itu?!"
Bangun, "Hehe, ini Garuda!"
"W-W-Woah ...." sepertinya Shi lebih takjub.
"Hebat, kan? Aku pergi ke Himalaya berhari-hari, tetapi dia mengantarku kembali hanya dalam beberapa menit!"
"Ap-beberapa menit? Kamu baik-baik saja?!" Shi terlihat cemas, menempuh jarak sejauh itu dalam beberapa menit ... terlalu luar biasa.
"Tenang saja, dia memiliki sesuatu yang spesial!"
Shi menatapu Burung Garuda yang tertidur, perlahan tersenyum, "Begitu, ya ...."
Garuda membuka matanya, memperlihatkan pupil merah dan iris putih miliknya.
"Luar biasa ...."
Tersenyum, "Benar, kan?"
***
Di sisi lain dunia, Gurun Atacama.
"Kak! Lihat itu!"
Waktu siang hari, memperlihatkan sebuah titik hitam di bawah matahari. Alke yang melihatnya menunjukkan itu kepada kakaknya, Arie.
"Hm, itu terlalu menakjubkan. Padahal aku sudah melihat bayangannya kemarin, tetapi ini lebih hebat."
"Eh, kakak sudah melihatnya?!"
"Ya, lebih dekat. Sayangnya saat itu malam hari."
"Woah ... apa itu?!"
"Seekor burung legendaris. Kalau tidak salah, namanya burung garuda?"
"Kerenn!
"Jangan dengarkan kakakmu dan ayo bekerja! Lubang di sana masih terbuka!"
"Ah ... baik."
Mendengarnya Arie hanya menatap datar sambil tersenyum, "Huh ... dasar Ren, diam-diam memberiku hadiah kejutan ini," mengelap dahi.
"Omong-omong, sweater itu masih kakak simpan? Kukira sudah hilang karena kakak sering ceroboh."
"Heh, sembarangan! Kakak menjaga hadiahmu baik-baik!"
"Benarkah, baiklah kalau begitu. Aku senang," Alke tersenyum.
Dalam hati Arie senang, entah siapa yang membawanya hingga Himalaya, tetapi akhirnya sweater itu kembali kepadanya setelah hilang di Jaya Wijaya.
"Jaya Wihaya ... oh iya, aku tiba-tiba teringat dengan gadis itu ...."
"Gadis siapa, kak? Kekasih kakak?"
"Eh-enak saja!" pipinya seketika memerah.
"Hihihi, kakak punya pacar!" Alke berlari.
"Hei, tunggu!" Arie mengejarnya.
"Kalian! Cepat bekerja!"
Sambil berlari tersenyum, "Mungkin nanti aku akan mengunjunginya."
***
"Baiklah, aku pulang dulu!" ucap Ren di stasiun.
"Kamu yakin ingin pulang sekarang, tidak bisakah besok pagi?"
"Hehe, besok pagi aku ada kesibukan. Jika tidak turun sekolah terus, mungkin aku akan dikeluarkan."
"... kamu bolos 13 hari? Kalau besok juga, totalnya 2 minggu ...."
"Hehe," memukul kepalanya.
Menghela napas, "Huft, baiklah," tersenyum, "selamat jalan!"
"Dah!"
Ren melambai ketika menaiki bus. Sebelah kiri jalanan ada rel dan stasiun kereta. Ketika melambai, mata Ren melebar melihat dua sosok yang akrab di matanya.
"Alke dan Arie."
Hanya bisa tersenyum. Melihat Shi, Shina yang wajahnya kaget, senang dan berseri, ketika melihat panutannya datang menghampirinya.
"Kamu mengingatnya, ya...?"
Di sisi lain mereka tidak tahu Ren ada di sana dan telah pergi, Shina juga tidak tahu bahwa mereka sudah saling kenal, tetapi Arie segera menyadarinya ketika melihat bayangan di bawah rembulan mengikuti bus itu.
[End]
...
『
Melody5505 : ... kenangannya
ada, tapi mana Rei-nya?
Me : Tahanlah dahulu ;)
』
"Jauh, jauh, di suatu negeri.
Dunia yang sama sekali berbeda dari bumi.
Halaman terakhir telah ditutup.
Seorang pria memeluk buku tua, yang baru saja selesai ia baca.
Dia memeluk erat buku itu, seolah tidak mau melepaskannya. Seolah-olah buku itu adalah bagian dari dirinya.
"Aku merindukanmu, Ren."
Kemudian setelah beberapa saat, dia menaruh buku itu.
Di sampul buku bertuliskan, "Perjalanan Hidup Ren, Sahabatku di Bumi - 3."
...
Seseorang tersenyum kembali dengan sebuah buku baru. Berbeda dari yang sebelumnya, judul buku itu bertuliskan :
"Aku Menyayangimu hingga akhir," - Ren.
Pria itu memeluk buku itu dengan erat, karena sudah bertahun-tahun lamanya ia tidak bisa menemuinya.
Dia hanya bisa membaca buku-buku itu, sambil mengenang kisah hidup sahabatnya, yang tidak pernah ia temui dan tidak akan bisa,
Selamanya." -Rei.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com