17. Kedua Kalinya.
Apa Oha-asa meramalkan zodiak pisces sedang tidak beruntung? Mungkin saja begitu. Lihatlah gadis berambut panjang ini, pagi buta sudah dikejar-kejar orang gila yang membawa tongkat baseball.
30 detik sudah aksi kejar-kejaran itu berlangsung. Gadis itu semakin mempercepat langkahnya. (Name) sangat ngeri kalo sampai dipentung orang tidak waras itu.
Menoleh ke belakang, ternyata si orang gila sudah kelelahan dan terkapar ditengah jalan. (Name) bernapas lega, ia terduduk lemas pada bangku yang kebetulan bersebelahan dengan vending machine. Haus, (Name) segera membeli softdrink mangga favoritnya.
"Natsuki-chan?"
(Name) menoleh saat ada orang yang mencolek bahunya. "Maaf Nek, saya bukan Natsuki," ucapnya dengan sopan.
Nenek itu tersenyum canggung.
"Ah, iya, bukan. Dadamu sedikit lebih besar dari Satsuki. Rambut kalian juga beda."
(Name) hanya membalas dengan senyuman simpul. Sedikit bingung juga, tadi Natsuki, sekarang Satsuki.
Nenek itu memegang pundak (Name) dengan sorot mata penuh harap. "Nak. Bisa kau antarkan aku ke rumahku? Aku tidak ingat di mana rumahku."
"Maaf, Nek. Bukannya saya menolak. Tapi kalau nenek sendiri tidak ingat alamatnya, bagaimana saya bisa mengantar Anda?"
Si nenek terkekeh renyah. Ia melepas pegangannya pada pundak gadis itu dan mengambilkam sesuatu yang terkalung di lehernya; sebuah ID card.
"Ini. Ada alamat kediaman kami di sini. Aku tidak bisa membacanya, tulisannya kecil sekali." Nenek itu berujar seraya menyodorkan kartu identitas dan segera diterima dengan senang hati oleh (Name).
(Name) membatin;
Keluarga Momoi.
Momoi? Seperti pernah mendengar nama ini, tapi di mana? Apa salahsatu karakter juga, ya?
Ah, ya! Ini pasti neneknya Momoi Satsuki. Manajer Touo itu.
"Oh, baik Nek. Ayo."
(Name) menuntun nenek itu dengan hati-hati. Karena tidak tahu seluk beluk jalanan Tokyo, (Name) bertanya pada orang-orang yang nongkrong di kedai.
Usai sepuluh menit mencari alamat yang untungnya bukan alamat palsu, akhirnya mereka sampai pada rumah dua tingkat bernuansa merah muda. Tertera papan bertulis keluarga Momoi di pagar.
Karena pagar itu terbuka. Mereka segera masuk ke dalam dan si nenek memencet bel. Selang beberapa detik, gadis berambut gulali membuka pintu.
"Nenek!" seru Momoi yang langsung menghambur dipelukan tubuh renta itu.
"Sesak Itsuki," keluh si nenek dengan salah menyebut nama. Intinya, ia memberi kode keras agar cucunya berhenti.
"Aku Satsuki, Nek. Satsuki," ralat Momoi yang gemas namanya selalu salah disebut.
"Ah, iya. Satsuki-chan, cucuku, tolong lepaslah." Sang nenek sudah tak kuat lagi.
Momoi pun melepas pelukannya dan menoleh pada (Name). "Terima kasih banyak, ya. Maaf kalau merepotkanmu, nenekku memang sering kabur dan berjalan-jalan."
(Name) tersenyum tulus. "Sama-sama. Tidak apa-apa Momoi-san."
Momoi melihat sesuatu di punggung (Name). "Ano ... kau sedang memakai ransel, pasti kau sibuk, 'kan? Duh. Aku jadi tambah tak enak, lho."
(Name) menggeleng. "Tidak, kok. Aku cuma mau ke penginapanku, aku datang dari Kyoto."
"Kyoto itu di mana ya Yutsuki-chan? Jauh tidak dari sini?"
"Aku Satsuki, Nek. Kyoto itu jauh. Kalau nak bus, kurang lebih perjalanannya 7 jam. Kalau naik shinkansen, kira-kira setengahnya."
Nenek Momoi mengangguk.
"Jauh sekali. Pasti kau lelah dan belum sarapan. Sarapan di sini saja, Nak," ujar si nenek yang juga disetujui oleh sang cucu.
"Hehe. Tidak usah repot-repot begitu, Nek, Momoi-san." (Name) menolak halus. Walau sebenarnya gadis itu memang belum sempat sarapan. Saat ingin singgah di kedai udon, dirinya malah dikejar orang gila tadi.
"Tidak repot, kok. Ayolah. Anggaplah sebagai ucapan terima kasih." Momoi berusaha meyakinkan, akhirnya gadis yang ditawari mau juga. Ketiga perempuan itu memasuki rumah.
Momoi mengarahkan (Name) ke meja makan dan sang nenek sudah masuk ke kamarnya. Setelah keduanya terduduk berhadapan di meja makan, mereka mengambil makanan berupa roti tawar dan sereal coklat.
"Ittadakimasu."
Di tengah heningnya sesi sarapan pagi, Momoi membuka suara.
"Kita belum berkenalan. Siapa namamu?" tanya Momoi dengan nada bicara ceria khasnya.
"Aku (Full Name) desu. Senang mengenalmu Momoi-san," jawab (Name) dengan ceria pula. Sepertinya dua gadis ini memang satu frekuensi.
"Senang juga mengenalmu (Name)-chan! Hei jangan pakai suffix 'san' dong, pakai 'chan' saja biar lebih akrab!" protes Momoi.
"Bolehkah Sa-chan saja?"
"Boleh boleh."
Momoi mendadak cemburut karena kedatangan tamu yang tak permisi dahulu. Sekonyong-konyong, Aomine menarik kursi dan duduk di sebelah (Name).
Aomine dan (Name) saling menoleh.
"Kau?!"
"Ahomine?!"
"Eh? Kalian saling kenal?" pekik Momoi kaget.
"Iya. Kau mau tahu Sa-chan? Waktu pertama kali kami bertemu, Ahomine dikejar waria sampai sekarat!" (Name) sangat bersemangat menistakan pemuda bersurai navy blue itu.
Tawa menggelegar keluar dari mulut Momoi. (Name) ikut tertular.
Hahahaha!!!
Hahahaha!!!
"Urusai!" bentak Aomine yang geram mendengar tawa dua gadis berisik itu. Untuk mengalihkan amarah, pemuda itu mencomot roti tawar di hadapannya dan mengoles si roti dengan selai madu.
"Dan apa kau tahu Sa-chan? Waria itu bilang; Ahomine suami idamannya!" lanjut (Name), tawa Momoi meledak.
Hahahaha!!
Hahahaha!!
"Teme!!!" Aomine mulai naik darah, tapi menahan diri untuk tidak menghajar dua gadis itu. "Satsuki, mengapa ibumu tidak masak?" tanyanya. Aomine memang seringkali numpang makan di rumah Momoi karena masakan ibunya enak.
Aomine sangat heran, mengapa bakat sang ihu tidak menurun pada anak gadisnya. Momoi sangat buruk dalam memasak.
"Ibuku semalam berangkat ke Nagasaki, besok baru pulang," jawab Momoi.
"Dan mengapa kau bisa ada di rumah Satsuki, aho?" Aomine bertanya pada (Name) yang tengah mengunyah roti.
Karena mulut gadis itu penuh, Momoi yang menjelaskan. "(Name)-chan mengantar nenek pulang."
Aomine ber-oh. Tiga detik kemudian, ia menagih janji pada gadis Kyoto itu. "Mana oleh-olehku?"
"Tanding denganku dulu!" tantang (Name).
Aomine menyeringai remeh. Menurutnya, tantangan gadis itu tidak masuk akal. "Tch. Tanding basket? Mana mungkin kau menang,"
"Bukan, tapi tanding sprint 400 meter," putus (Name) pada akhirnya. Gadis itu tahu, ia tak mungkin bisa mengalahkan Aomine dalam basket.
"Memangnya kau bisa lari sprint?"
Si maniak mangga itu meenggapi pertanyaan Aomine dengan senyum sumringah.
"Kau tahu Sprinter Cup? Aku perwakilan dari Kyoto."
"Sugoii!" puji Momoi.
Aomine tak gentar dengan pengakuan (Name), ia justru semakin tertantang.
"Ayo! Karena yang bisa mengalahkanku hanyalah aku."
(Name) mengenduskan napas malas. Ia risi ketika Aomine seperti ini, membangga-banggakan dirinya seolah yang paling hebat.
Padahal ... mereka sama saja.
"Jangan terlalu percaya diri Ahomine. Larilah dengan waktu dibawah 45 detik kalau mau mengalahkanku."
"HEEHHH?" Momoi terlonjak kaget. Itu catatan waktu yang luar biasa untuk jarak 400 meter.
"Jangan bercanda!" Aomine tak percaya dengan pernyataan (Name).
"Tapi begitulah catatan waktuku di penyisihan kemarin."
Aomine jadi bungkam. Beberapa detik hening, (Name) pun bertanya, "Jadi tidak?"
"Ayo!" seru Aomine yang kepalang tertantang. Lagi pula, mana mau Aomine menyerah begitu saja sebelum mencoba. Terlebih lagi pada seorang gadis, kemana harga dirinya?
"Chotto! jangan lari sehabis makan, setidaknya tunggu setengah jam lagi." Momoi berusaha mencegah dua manusia itu.
"Hah ... tidak seru." (Name) mendengkus kesal, padahal dia penasaran pemuda bersurai navy itu bisa melampauinya atau tidak.
Aomine mengambil lima buah roti dan mengolesinya dengan selai. Ia meletakkan roti-roti itu di piring (Name).
"Oi—"
"Tanding makan denganku!" potong Aomine sebelum (Name) protes dan bertanya-tanya.
"Huh. Siapa takut?! Ayo!" seru (Name).
Momoi hanya tersenyum. Tak masalah rotinya ludes, ia senang kalau sahabat kecilnya bisa akrab dengan gadis lain. Barangkali (Name) adalah sosok yang bisa mengikis sifat buruk Aomine.
Momoi pun bertindak sebagai wasit. "Satu, dua, tiga!"
Aomine dan (Name) langsung menyantap roti-roti itu. Mulut keduanya menggembung besar, mengunyah roti dengan terburu-buru.
Keduanya menghabiskan dalam waktu bersamaan. Tak puas. Aomine menuangkan sereal. Mereka pun duel makan lagi.
Hasilnya sama saja, Aomine dan (Name) menghabiskan dalam waktu bersamaan. Gara-gara duel itu, semua sarapan Momoi sudah ludes, yang tersisa hanyalah susu.
Apa yang terjadi?
Tentu saja. Mereka berduel menghabisi susu itu.
Dan hasilnya? Sama saja!
Geram. (Name) membuka ranselnya, mengambil pisau kecil nan tajam. Ia meletakkan pisau itu di piringnya.
"OI!!!" pekik Aomine yang kaget (Name) mengajaknya duel dengan benda tajam.
"Jangan (Name)-chan...," lirih Momoi yang cemas akan ada pertumpahan darah di rumahnya.
(Name) pun mengeluarkan dua buah mangga muda yang masih mentah, Aomine pasti tidak sanggup memakan itu. "Ayo duel makan mangga denganku!" Tangannya langsung mengupas buah itu dengan cekatan.
Aomine bernapas lega. "Astaga, kukira kau psikopat."
"Ya ampun." Momoi menepuk jidatnya. "Mengapa semua makanan kalian jadikan bahan duel, sih."
Setelah sudah siap. (Name) dan Aomine kembali berduel.
"Hueek. Teme!!! Mengapa rasanya kecut!" keluh Aomine dengan wajah masam. Cepat-cepat ia mengolesi mangga itu dengan selai madu untuk mengganti rasanya.
Tak peduli dengan Aomine. (Name) terus memakan buah kesukaannya itu dengan lahap. Setelah tersisa satu, ia baru buka suara. "Karena memang belum matang. Sudahlah Ahomine, lebih baik kau menyerah saja."
"Tidak! Yang bisa mengalahkanku—"
"—Hanyalah aku." (Name) menyuap irisan terakhir. "Aku menang!"
"Oi! Bagaimana bisa kau menghabiskan buah masam itu! Jangan-jangan punyamu manis, dan punyaku masam!?" tuding Aomine yang tak terima dikalahkan.
"Kurasa tidak. Justru punya (Name)-chan warnanya maaih hijau, dan punyamu kuning," bela Momoi.
"Lagi! Dan jangan yang masam!" Aomine sangat tak puas dengan hasil ini dan menantang gadis itu lagi.
"Tch. Sudah kalah, tapi masih menantang." (Name) mengeluarkan plastik berwarna navy dan memberinya pada Aomine. "Ini, tapi kau harus membaginya dengan Sa-chan."
Aomine segera mengembat plastik itu. "Enak saja!"
"Eh? Tidak usah, kau, 'kan membawanya untuk Dai-chan," tolak Momoi.
"Nah, Satsuki saja tidak mau. Untuk apa aku membaginya."
(Name) menatap tajam Aomine dan memukuli punggung pemuda itu dengan liarnya. Terdengar bunyi bugh bugh bugh yang berulang-ulang.
"Dasar aho! Pelit! Mesum! Tidak tahu malu!!! Aku yang membawanya, mengapa kau tidak mau menurut hah?!"
"Hentikan! Ampun! Ampun! Iya ya, ya, aku akan membaginya.." Aomine sangat tersiksa dengan pukulan maut bertubi-tubi dari (Name).
Kasihan dengan Aomine yang mengaduh kesakitan, (Name) menghentikan pukulan liarnya itu. Aomine mengusap-usap punggungnya yang sakit.
"Kau itu perempuan atau laki-laki?! Tenagamu itu seperti kingkong mengamuk."
Momoi meneguk salivanya, Aomine seperti mengajukan perang lagi.
"Kau mengejekku kingkong mengamuk?!" (Name) kembali dibuat murka.
bugh bugh bugh!!
"Tidak, tidak. Kau gadis cantik yang sangat baikkk. Kau seperti peri yang datang dari kahyangan. Ampun, ampun."
(Name) berhenti memukuli Aomine dan menyeringai tanpa rasa bersalah. Menistakan Aomine seperti ini sungguh membuat moodnya meningkat drastis. Sementara Momoi terkikik gemas dengan interaksi dua orang itu.
Penasaran dengan buah tangan dari Kyoto, Aomine membuka plastik itu dengan antusias. Disana ada teh hijau, lima macam camilan dan sapu tangan khas dari Kyoto, Tenugui.
"Sapu tangan ini ... bagaimana membaginya?" tanya Aomine.
"Oh itu untukmu saja. Nanti aku bawakan untuk Sa-chan," ujar (Name).
Momoi mengulas senyum manis.
"Arigatou (Name)-chan. Aku senang sekali berteman denganmu."
"Sama-sama Sa-chan," balas (Name).
"Hump..." (Name) mengendus bau tak sedap. "Ahomine, apa badanku bau?"
"Bau sedikit," jawab Aonine secara gamblang.
"Kyaaa!!!" (Name) memeluk dirinya sendiri karena malu bau badannya mengganggu. "Maaf, maaf. Aku memang belum mandi sejak kemarin. Sepertinya aku harus segera ke penginapanku." Gadis itu merapikan ranselnya dan beranjak.
Melihat hari semakin terang dari jendala. Momoi menilik jam dinding.
"Astaga! Kita hampir telat Dai-chan. Pelatih pasti menghukum kita!" Momoi buru-buru bangkit dan menyambar tas miliknya.
Tak sedikitpun ada raut panik di wajah berkulit tan itu, Aomine malah santai sambil menyatap kue kering bawaan (Name).
"Aku tidak mau latihan," ucapnya dengan nada malas.
"Kau harus latihan Dai-chan. (Name)-chan lihat ini, Dai-chan tidak mau latihan, padahal latih tandingnya Senin." Momoi mengadu pada (Name), barangkali Aomine luluh.
"Oi aho! Mengapa kau tidak mau latihan hah? Apa kau mau ku hajar lagi?" ancam (Name) dengan berkacak pinggang.
"Yang bisa mengalahkanku hanyalah aku. Latihan hanya membuang waktu, aku yakin Touo menang. Krus ... Krus ..." Aomine menjawab (Name) malas seraya mengunyah kue kering itu.
(Name) lagi-lagi mendengkus kesal. Berinteraksi lama-lama dengan Aomine membuat tensi darahnya naik.
"Jangan terlalu sombong Ahomine. Kau harus banyak bersiap diri untuk menghadapi sekolahku di inter high."
Aomine menghentikan suapannya dan mulai serius.
"Memangnya sehebat apa sekolahmu?"
"Rakuzan."
Dua murid Touo itu bersweatdrop mendengar jawaban (Name). Rakuzan. Siapa gerangan yang tak mengenal kehebatan sekolah elit dari Kyoto itu?
"Sekolah itu...," ucap Aomine menggantung.
"Sekolahnya Akashi-kun," sambung Momoi.
(Name) tersenyum bangga, ia berhasil membuat Aomine mendadak tak berkutik.
"Karena tahun lalu sudah juara. Rakuzan sudah mengamankan tiket semi final Inter High tanpa kualifikasi. Semoga Touo menyusul ya." (Name) memberi penegasan agar Aomine tak memandang remeh tim basket sekolahnya.
Telinga Aomine memanas tatkala dipancing seperti itu. Rasa ingin mengalahkan Rakuzan mendadak membuncah di dalam diri. "Tentu saja aku akan mengalahkan Rakuzan! Karena yang bisa mengalahkanku hanyalah aku."
🏀🏀🏀
Usai pamit dari kediaman Momoi. (Name) melangkah cepat menuju penginapannya. Jalan yang dia lewati ini sangat jauh dari tujuan karena ulah orang gila tadi.
Bisa saja dia menyewa di tempat lain, tapi tempat kemarin sudah sangat nyaman dan murah kendati tidak semewah hotel bintang lima. Daripada menyewa tempat mahal, (Name) memilih beli jajan.
"Yahoo Midorima-kun!" sapa (Name) ramah saat berpapasan dengan pemuda jangkung bersurai hijau. Tangannya menenteng bola lampu, benda keberuntungannya hari ini. Midorima terlihat seperti jin botol, pikir (Name).
"Kau? Mengapa kau ada di sini nanodayo! Bukan berarti aku peduli," sahut Midorima yang terlihat kesal dengan pertemuan ini. Padahal, ada sedikit rasa senang di dalam diri yang sulit dia mengerti.
"Tentu saja untuk liburan nanodayo," jelas (Name) yang meniru aksen aneh Midorima.
Midorima membetulkam kacamatanya.
"Memangnya di Kyoto tidak ada destinasi wisata nanodayo?! Dan jangan tiru aksenku nodayo!"
"Aku sudah bosan melihat Kyoto yang isinya itu-itu saja. Dan aku kesini untuk semakin dekat dengan kalian!"
"Oh." Midorima berjalan pergi meninggalkan (Name), ia tak ingin pergi sejujurnya. Hanya saja, ia bingung berbuat apa. Midorima bukanlah Midorima jika mengajak berbasa-basi duluan.
(Name) menahan tangan Midorima. "Tunggu!"
Midorima menoleh, menampakkan raut wajah kesal.
"Kau mau apa?! Berhentilah menggangguku dan pergilah jauh-jauh nanodayo!" Midorima tak sadar menghempas tangan (Name) terlalu kasar.
Kalimat yang diucapkan Midorima memanglah seringkali berbanding terbalik dari kenyataan. Sebenarnya, ia tak ingin mengucap itu.
(Name) tecengang dengan sentakan Midorima. Ia tahu kalau Midorima itu tsundere, tapi kali ini pemuda itu sangat kasar.
Kembali lagi terulang, dia dibenci karakter favoritnya.
Gadis itu tak meminta banyak pada anggota kiseki no sedai-minus Akashi, ia hanya mengharap sebuah keakraban. Bukankah sia-sia saja tertransmigrasi ke dunia ini jika tidak bisa akrab dengan semua karakter favoritnya?
"Maaf." (Name) merogoh isi ranselnya dan memberikan plastik hijau pada Midorima. Pemuda itu menerimanya dengan raut bingung.
(Name) melepas kalung emerald yang diberi Midorima tempo hari. Menurutnya, benda itu sudah tak berguna lagi dan lebih baik dibuang saja.
"Ya. Aku tidak akan mengganggumu lagi Midorima-kun!"
(Name) berlari meninggalkan Midorima begitu saja.
Midorima kaget, ia tak menyangka perbuatannya tadi terlalu kasar hingga (Name) membuang pemberiannya.
"Tunggu."
Midorima memungut kalung yang dijatuhkan (Name) dan mengejarnya. Gadis yang sangat sensitif itu tau-tau sudah menangis karena diusir Midorima.
"Apalagi Midorima-kun, jangan buat aku bingung. Kau menyuruhku jangan mengganggu, tapi kau menyusulku."
Seperti ada rasa sakit yang menghantam dada Midorima, pemuda itu tak kuasa melihat (Name) menangis karena ulahnya. Seumur-umur, ia tak peenah membuat oranglain (kecuali adiknya) menangis.
"Ja-jangan menangis nanodayo, bukannya aku peduli. Tapi malu dilihat orang."
Sambil menghapus kasar airmatanya, gadis itu bersungut dalam hati. Mengapa lapisan bening ini seringkali keluar tanpa terkendali. Pantas saja, Akashi mengejeknya 'cengeng'.
Midorima menyodorkan kslung itu, berharap sang gadis menerimanya kembali. "Milikmu."
"Bukan. Itu milikmu. Untuk apa aku menerimanya?"
Midorima menarik pergelangan tangan (Name), meletakkan secara paksa kalung itu di telapak tangannya. "Milikmu."
(Name) menggenggam kalung itu, menatap Midorims dengan intens. Midorima Shintaro ini seperti rumus matematika, amat sangat sulit dia mengerti.
"Apa ini?" Midorima menanyakan plastik itu.
"Oleh-oleh."
Sebenarnya Midorima ingin berkata. "Tidak, aku tidak butuh ini." Tapi pemuda tsundere itu enggan (Name) bersedih lagi.
"Terima kasih, bukan berarti aku senang nanodayo."
(Name) hanya mengulas senyum simpul. "Ya sudah. Aku pergi dulu, sampai jumpa."
"Ke mana?"
"Penginapanku," jawab (Name).
Midorima membetulkan kacamatanya. "Aku akan mengantarmu."
"Mengapa kau mau mengantarku?" selidik (Name) yang heran dengan tindakan Midorima.
"Bukan berarti aku mau. Tapi aku hanya bosan nanodayo," jelas si tsundere itu.
"Terserah Midorima-kun saja. Ayo." (Name) tak memikirkan lagi alasan Midoruma. Ia sudah tidak sabaran ingin mandi. Penciuman (Nane) itu sangat tajam seperti hewan, ia sadar betul badannya bau. Jaraknya dengan Midorima pun dua meter karena takut si tsundere itu kebauan.
Midorima bingung mengapa (Name) menjauh, tapi pemuda itu tak ingin bertanya. Midorima mengira, (Name) masih kesal, jadi wajar.
(Name) menoleh pada Midorima yang ada di belakang.
"Ne Midorima-kun. 29 Februari itu zodiak apa?" tanya (Name) basa-basi mengusir keheningan. Moodnya sudah berangsur membaik lagi.
"Itu pisces nanodayo. Pisces sedang di urutan keenam. Lucky item untuk hari ini; jam tangan," jelas si maniak horoskop itu.
(Name) mengangkat tangan kirinya dan tersenyum. "Untung saja aku punya ini."
Mendadak, gadis itu merindukan sang pemberi-Kise Ryouta. Kemungkinan untuk dipertemukan kembali disini sangat kecil, karena model sekaligus pebasket itu tinggal di Kanagawa.
"Dan, apa pisces coxok berteman dengan zodiakmu?" (Name) bertanya basa-basi lagi. Topik tentang horoskop memang sangat pas dibicarakan dengan Midorima.
"Sangat cocok nanodayo," jawab pemuda itu sambil menggosok bohlamnya.
"Benarkah?" (Name) memastikan dengan antusias.
"Hm. Cancer dan pisces sama-sama di elemen air-nodayo," papar Midorima.
(Name) mengangguk dan bertanya lagi. "Lalu, zodiak apa yang paling tidak cocok dengan pisces?"
Tak butuh waktu lama untuk penggila perbintangan itu menjawab. "Sagitarius."
(Name) kaget dengan jawaban Midorima. "Mengapa?"
"Karena sangat bertolak belakang nanodayo."
"Pantas saja...." (Name) membayangkan ketidakakurannya dengan Akashi. Memang benar, mereka sangat bertolak belakang seperti air dengan api.
Harusnya (Name) sadar itu sejak lama, tapi yang namanya terlanjur mencinta memang selalu membuat buta. Ia tak peduli akan perbedaan-perbedaan antara mereka. Yang dia tahu, (Name) sangat mencintai pemuda itu, dulu.
"Kalau sesama pisces, apa akan cocok?" tanya (Name) random.
"Cocok."
Jika Mayuzumi mendengar ini, jelas dia akan senang.
Sampailah mereka pada bangunan tiga tingkat bernuansa putih itu.
"Kita sampai. Kau mau mampir?"
"Bukan berarti aku mau nanodayo. Tapi aku harus mengantarmu sampai pintu."
"Dasar." (Name) dan Midorima menemui resepsionis dan meminta kunci kamar.
Resepsionis itu menilik dengan mata penuh selidik, pikirannya travelling kemana-mana. "Dasar anak muda," ucapnya dalam hati. Tapi ia berpikir sekali lagi, tinggi Midorima dan (Name) sangat jomplang bedanya.
"Mungkinkah dia pedofil? Mengerikan."
Midorima tak menyadari tatapan aneh resepsionis itu karena sibuk menggosok bohlamnya. (Name) lebih tak sadar karena hanya memikirkan satu hal yaitu; mandi!
Usai mendapatkan kunci di kamar nomor 30 yang terletak di lantai atas. (Name) dan Midorima menaiki satu persatu anak tangga, langkah kaki gadis itu sangat cepat karena tak sabar ingin mandi.
"Oi orang Kyoto! Pelan-pelan, nanti kau jatuh, bukannya aku peduli," peringat Midorima.
Sadar akan kesalahannya, (Name) segera menormalkan ritme langkah kakinya. Sebagai pelari, kaki adalah anggota tubuh yang paling haram dicederai.
Akhirnya mereka sampai di kamar 30.
(Name) bertanya, "Kau itu cuma mau mengantar atau mau jalan denganku juga?"
"Sudah kubilang aku bosan. Mungkin berjalan denganmu bisa mengatasinya. Itu bukan berarti aku mau nanodayo."
Sungguh. (Name) sangat gregetan dengan sifat tsunderenya Midorima itu.
"Ya sudah. Kau tunggu sepuluh menit, ya? Aku mau mandi," ucap (Name) sembari membuka pintu.
Midorima terduduk di bangku panjang depan pintu.
"Jadi daritadi kau..."
"...Bukan dari tadi, tapi dari sore kemarin aku belum mandi. Tunggu ya!" (Name) segera masuk ke dalam dan mengunci pintu. Midorima berhasil mendapat jawaban, ternyata (Name) menjauhinya karena belum mandi.
Si tsundere itu membetulkan kacamatanya. Karena penasaran dengan plastik oleh-oleh itu, Midorima membukanya. Isinya sama seperti milik Aomine, bedanya sapu tangan itu berwarna hijau, dan punya Aomine biru navy. Midorima tersenyum samar.
Di dalam sana. (Name) sudah mandi dan sedang berganti pakaian. Saat ingin mencari plastik untuk mewadahi pakaian kotor. (Name) melihat ada jaket hitam.
"Inikan jaketnya si aho, astaga! Lupa kukembalikan. Padahal tadi bertemu."
(Name) mengeluarkan jaket itu dan menyambar ponselnya. Niat hati ingin menghubungi Aomine, tapi ada notifikasi pesan.
From : Mayuzumi Chihiro.
Sudah sampai?
Sudah.
Makan?
Sudah juga. Ne, Hiro-kun, apa Mayuu merindukanku?
Tidak.
Huhu :(
From : Akashi Seijuro
Kau di mana?
Rumahmu kosong.
Cepat balas!
Di Tokyo. Memangnya kenapa?
Latihan.
Latihan apa?
Aku akan menyusulmu ke sana.
Eh???
"Demi pancake mangga. Mengapa si iblis merah ini selalu membuat hidupku tidak tenang. Arghhh!!" (Name) bersungut-sungut geram. Tidak bisakah Akashi sehari saja tak mengganggu hidupnya? Padahal (Name) sudah menjauh.
Dan Akashi kembali mengirimi pesan yang sukses membuat gadis itu tercengang.
Apa kau sedang menyumpah serapahi diriku karena merusak liburan indahmu?
Latihan ini untukmu sendiri.
Aku tidak mau tahu, sebagai perwakilan Rakuzan kau harus menang. Dan aku akan terus melatihmu sampai mencapai kemenangan itu.
Baiklah. Aku menunggumu.
"Astaga! Mati, mati, mati. Menu latihan Arata-sensei saja sudah seperti neraka, bagaimana dengannya?"
Mengesampingkan itu sejenak, (Name) mengetik pesan untuk Aomine.
To : Aomine Daiki
Oi aho. Jaketmu lupa ku kembalikan, kapan kau selesai latihan?
Sekitar jam 2.
Aku akan menghubungimu nanti.
Karena merasa Midorima sudah ditinggalkan terlalu lama. (Name) menyambar sisir dan tas kecilnya, ia lalu bergegas keluar. Midorima masih setia menunggu sambil mengelus bohlamnya.
"Midorima-kun, aku lama ya?" ucap (Name) seraya menyisir rambut panjangnya. Karena masih sangat basah, airnya memyiprat Midorima.
Midorima terpana melihat (Name) yang habis mandi. Gadis itu sangat menyegarkan matanya.
"Lama sekali. Oi! Basah nanodayo," keluh si mata empat itu.
"Ya, namanya juga mandi manusia. Kalau kering namanya mandi bebek, hahaha!" (Name) melontarkan lelucon garing yang sama sekali tidak lucu.
Selesai menyisir, (Name) melempar sisir itu ke kasur dan mengunci pintunya dari luar. "Ayo jalan-jalan!"
✨⭐✨
Dua manusia itu berjalan tanpa arah tujuan yang jelas. (Name) kembali membicarakan horoskop dan Midorima menanggapinya.
"Kau mau jajan?" tawar Midorima saat melihat kios yang menjual camilan.
"Ayo!" sahut (Name) dengan semangat.
Mereka lantas menuju kios itu.
"Ambilah. Aku akan mentraktirmu," kata Midorima.
"Wah~ Kau baik sekali. Apa aku boleh ambil banyak-banyak? Porsi makanku banyak, lho. Ehehe." (Name) bermaksud main-main saja. Tapi kalau Midorima menjawab 'iya', itu lebih bagus.
Ajimumpung.
"Dengar. Bukannya aku mau mentraktirmu, tapi Oha-asa menyarankan mentraktir seseorang. Ya, ambillah seberapapun yang kau mau nanodayo."
(Name) mengembangkan senyumannya. Ia langsung melihat kebawah, memilih jajanan yang tersedia.
"Aduh, Midorima-kun. Aku bingung mau beli apa. Semuanya enak, sih."
Midorima menghela napas. "Tapi uangku tak akan cukup kalau beli semuanya nodayo."
"Midorima-kun mau beli apa? Aku mengikutimu saja."
Midorima menunduk kebawah untuk memilih. "Aku juga bingung."
Karena ia jarang jajan.
Mereka meneliti lagi satu-persatu jajanan disana.
"Dorayaki?" ucap mereka kompak.
Pada akhirnya mereka membeli dorayaki, masing-masing 5. (Name) mengucap terimakasih setelah Midorima membayar.
Mereka makan di pinggir jalan. Kebetulan ada tempat duduk dibawah pohon Sakura.
"DORRR!!!"
Refleks (Name) dan Midorima menoleh ke belakang, sumber suara cempreng yang membuat mereka kaget.
"Cie. Shin-chan akhirnya berkencan!!!" seru pemuda bersurai hitam dengan girangnya.
Midorima menatap tajam ke arahnya. "Oi Bakao! Mengapa kau di sini nanodayo?"
"Ingin menguntitmu berkencan!" jawab Takao secara gamblang.
Telinga Midorima memerah mendengar itu. "Tidak ada yang kencan Takao, aku tidak mengenalnya nanodayo."
"Dasar tsundere," hardik Takao. Pemuda bersurai hitam itu tidak percaya dengan elakan Midorima.
Apalagi Takao sempat menangkap telinga Midorima memerah, sudah jelas si tsundere itu salah tingkah.
"Ehh ti-tidak kok. Benar kata Midorima-kun, kami tidak berkencan, aku juga tidak mengenalnya." (Name) ikut menimpali kebohongam Midorima. Ia tak sadar ada blunder di kalimatnya.
"Mengapa kau bisa tahu namanya Midorima?" tanya Takao dengan senyum jahilnya.
Ah, sial. (Name) itu memang agak payah dalam berbohong. Pasti ketahuan.
"Itu-itu-itu karena dia terkenal! Shooter Kiseki no Sedai, aku tahu Midorima dari basket." (Name) gelagapan menjawab Takao.
"Jangan panggil dia Midorima-kun, panggil Shin-chan saja!" hasut Takao.
"Oi Bakao, jangan mengajari yang aneh-aneh nanodayo." Midorima kesal dengan hasutan rekan setimnya itu.
"Shin-chan? Kyaa! Lucu sekali panggilan itu. Mulai sekarang aku memanggil Midorima-kun 'Shin-chan!'" (Name) jadi terhasut Takao.
Midorima menyorot tajam pada Takao. "Takao..."
Pemilik hawk eye itu malah tertawa geli. Mengerjai Midorima seperti ini adalah kesenangan tersendiri baginya.
"Hahahaha! Aku pergi ya, selamat berkencan!!!" Takao berlari menjauhi mereka.
"Shin-chan?" goda (Name).
"Jangan panggil aku begitu nanodayo," larang Midorima.
"Shintaro-kun?" (Name) mengajukan opsi lain untuk nama panggilan Midorima.
"Kita tidak sedekat itu nanodayo." Midorima lagi-lagi melarang.
"Hei, bukannya zodiak kita cocok? Ayolah, aku hanya ingin akrab denganmu, kau tahu, 'kan aku ini penggemarmu." Belum menyerah. (Name) masih memaksa pemuda itu memberi izin memanggil nama depannya.
"Tidak." Untuk ketiga kalinya gadis itu ditolak. Harusnya (Name) mendapat piring cantik saat ini juga.
"Ayolah...."
Midorima menghela napas panjang, jenuh.
"Ya sudah, terserah. Berdebat dengan orang cengeng sepertimu itu percuma, pasti ujung-ujungnya kau akan menangis kalau tak dituruti nanodayo."
✨⭐✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com