23. Aku Yang Memilihnya.
Daku tambahin scene AkaNem lebih dramatis. (OreNem lebih tepatnya.)
Dan scene MayuNem juga ada yang kurevisi di akhir.
✨⭐✨
Sepulang dari Kaijo, (Name) langsung bergegas mencari makan. Mahkota bunga itu sudah dilepas, tapi dirinya sudah mengabadikan momen itu dengan Kise.
(Name) memasuki minimarket untuk membeli onogiri dan beberapa makanan lain. Saat ingin membayar, ia melihat pemuda bersurai hitam yang mengenakan jaket SMA Yosen.
"Himuro-san?" sapa (Name) pada pemuda itu. (Name) tak menyangka akan dipertemukan di sini.
Himuro menerima plastiknya dan menoleh, "Eh, (Name) ya?" sahutnya ramah.
(Name) mengangguk sebagai jawaban lalu menaruh keranjang belanjaannya di meja kasir.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Himuro diselipkan senyum manisnya.
"Aku baik. Kalau Himuro-san?" (Name) balik bertanya.
"Aku juga baik. Hei, jauh sekali orang Kyoto ke Kanagawa?" ucap Himuro saat menyadari jaket yang dikenakan (Name).
"Hehe. Aku ke sini menonton Seirin melawan Kaijo. Dan apa Yosen latih tanding dengan salah satu sekolah disini?"
"Iya."
Himuro sebenarnya bingung, mengapa (Name) harus jauh-jauh hanya untuk melihat latih tanding? Padahal yang bertanding bukan sekolahnya.
Belanjaan sudah dibungkusi.(Name) mengeluarkan sejumlah uang dan menerima plastik itu. Ia mengajak Himuro segera keluar agar tidak mengganggu antrean.
Mereka duduk di bangku depan minimarket. (Name) mencari-cari sosok Murasakibara. Biasanya, dimana ada Himuro disitu ada Murasakibara. Kecuali kalau memang hilang seperti waktu itu.
Himuro menyadari pencarian (Name) dan menjelaskannya. "Atsushi sedang ke toilet umum, sebentar lagi dia kesini."
"Oh. Dan di mana tim Yosen yang lain?" (Name) membuka bungkus nasi kepalnya dan mulai menyantap makanan itu. Himuro juga menyantap burger yang dibawanya.
"Yang lain masih makan di restoran. Atsushi cepat sekali menghabiskan makanannya, jadi aku menemaninya kesini untuk beli camilan," terang Himuro.
"Berarti Himuro-san belum sempat menghabiskan makanan disana?" terka (Name).
"Iya. Tapi ini sudah dibungkuskan." Himuro menunjuk kotak burgernya.
"Himuro-san benar-benar orang yang sabar," puji (Name) yang dibalas senyuman manis Himuro.
Sosok Himuro benar-benar lembut, penyabar dan juga dewasa. Pemuda itu sama sekali tak menunjukkan rasa kesal meskipun seringkali direpotkan Murasakibara.
Makan sambil memandangi ketampanan Himuro membuat wajah (Name) jadi celemotan. Himuro yang melihat nasi di sudut bibir (Name) jadi gemas, itu mengingatkannya dengan Murasakibara dan Kagami kecil.
Apa kabar Taiga sekarang?
Himuro mengarahkan tangannya ke sudut bibir (Name), membersihkan nasi yang menempel. (Name) terkesiap dan pipinya memanas.
"Maaf terlalu lancang, ada nasi yang menempel."
"Terima kasih."
Tak ada lagi obrolan, mereka mulai khusyuk menyantap makanan masing-masing. Tak lama kemudian, datanglah pemuda tinggi bersurai ungu.
Merasa familier dengan perempuan yang tengah makan bersama Himuro. Murasakibara melihat gadis itu lebih dekat. "Aree. (Name)-chin?"
(Name) segera menelan makanannya, lalu berseru, "Mu-kun! Kita bertemu lagi."
Murasakibara gemas dan mengacak-acak rambut (Name) hingga kusut. Si pemilik ramhut hanya tersenyum.
"Duduk sini, Atsushi." Himuro menepuk bangku di sampingnya.
Murasakibara menurut dan mendudukkan diri di sebelah Himuro. Lalu membuka plastik putih yang terisi puluhan bungkus jajanan.
"(Name)-chin satu sekolah dengan Aka-chin ya? Maksudku, Akashi Seijuro." Murasakibara membuka bungkus keripik kentangnya dan mulai memakan satu per satu.
(Name) mengiyakan. Ia jadi geram sendiri, kenapa setiap orang yang dijumpainya selalu mengaitkan Rakuzan dengan Akashi? Asal mereka tahu saja, di Rakuzan itu ada hal yang lebih menarik selain Akashi. Salah satunya bakpao daging dan roti melon ekstra jumbo, mana ada makanan itu di sekolah lain.
"Aka-chin orang yang seperti apa di sekolah?" Murasakibara penasaran. Apa kepribadian Akashi yang ramah itu kembali atau tidak di sekolah baru?
Bagaimana, ya? Seperti raja iblis?
"Dia orang yang tegas dan berwibawa," jelas (Name). Nasi kepalnya sudah habis. Ia langsung minum air mineral, lalu menyantap donat toping kacang.
Murasakibara belum mendapat jawaban jelas. Kedua kepribadian Akashi itu sama-sama tegas dan berwibawa, bedanya Bokushi yang lebih kejam. Murasakibara pun bertanya lagi, "Matanya berwarna apa?"
Himuro mengerutkan dahinya, untuk apa Murasakibara menanyakan warna mata Akashi? Padahal, mereka sudah tiga tahun satu sekolah.
"Merah-emas," jawab (Name).
"Ternyata belum berubah, ya," batin Murasakibara. Masih tersimpan rasa sesal di dalam dirinya sewaktu hampir mengalahkan Akashi di Teiko. Akibatnya, ia kehilangan sosok Akashi yang ramah.
Dan tidak tahu kapan akan kembali.
Mereka kembali makan dengan hening. Setelah semuanya habis, ketiganya membuang sampah-sampah makanan ke tong. Sedangkan makanan sisanya segera (Name) masukkan dalam ransel.
Ponsel Himuro pun berdering, pemuda bersurai hitam itu segera mengangkat telpon dari kontak bernama 'Fukui Kensuke'.
"Moshi moshi?"
"Kalian masih di konbini?"
"Iya."
"Pelatih ingin mengunjungi rumah kerabatnya sebentar, dan kami titip beberapa minuman dan camilan untuk bekal pulang."
"Baiklah. Kalian masih berkumpul di resto tadi kan?"
"Iya."
"Oke. Nanti kabari aku kalau mau berangkat."
Telepon ditutup. Himuro pun masuk lagi dan membeli yang disuruh. Setelah itu, ia kembali menghampiri (Name) dan Murasakibara. (Name) tengah mengencangkan tali sepatu, sedangkan Murasakibara tengab memangku dagunya.
"Muro-chin. Masih ada waktu, 'kan? Aku ingin jalan-jalan mencari makanan manis. Kata Kise-chin, disini murah-murah," pinta Murasakibara.
"Baiklah. Dan (Name)? Kau mau ikut kami?" tawar Himuro.
(Name) pun berdiri dan melihat jam tangannya. Setengah jam lagi keretanya akan berangkat.
"Aku mau, tapi aku harus pulang ke Kyoto."
"Bagaimana kalau kita cari makanannya ke arah stasiun? Sekalian mengantar (Name)," usul Himuro.
"Ide Muro-chin selalu terbaik," tanggap Murasakibara. Pemuda itu juga bangkit dari tempat duduknya.
Ketiga orang itu mulai menjelajahi kuliner manis di Kanagawa. Mereka berjalan beriringan dengan posisi dari kiri ke kanan; Himuro-(Name)-Murasakibara.
Himuro melirik ransel di punggung (Name) yang besar dan menggembung. Dia tak tega gadis itu akan keberatan sepanjang jalan.
"Ranselmu besar sekali (Name), biar aku yang bawakan," tawar Himuro.
"Tidak usah. Himuro-san kan sudah menenteng banyak bawaan," tolak (Name) yang tak ingin Himuro kerepotan. Kedua tangannya sudah memegamg dua plastik besar.
"Kalau begitu biar aku saja, aku tidak terlalu membawa banyak," ujar Murasakibara yang hanya memegang satu plastik berisi sisa makanan tadi.
Lagi-lagi (Name) menolak.
"Tidak usah Mu-kun. Mu-kun pasti lelah habis latih tanding."
Tangan besar Murasakibara memegang pundak (Name), alhasil gadis itu terhenti.
"Tidak lelah, kok, karena menang. Berikan padaku (Name)-chin."
(Name) sangat tak enak hati, tapi mau tidak mau ia harus memberikannya. Sebab, Murasakibara sudah bersikeras begitu.
Murasakibara kini menggendong ransel milik (Name). Himuro tersenyum karena sobatnya itu sudah berguyur dewasa.
Sepanjang perjalanan, ketiganya saling bertukar obrolan. Murasakibara gencar membahas makanan, Himuro membicarakan basket dan (Name) menanggapi dengan senang hati semua yang mereka bahas. Baru dua kali bertemu, Murasakibara dan Himuro sudah ada rasa nyaman dengan (Name).
"Kyaaa. Lihat itu!" tunjuk (Name) pada kios kue di seberang. "Kuenya lucu-lucu, berbentuk hewan."
Mereka pun menyebrangi jalan dan menuju ke toko itu. Murasakibara dan (Name) sangat semangat berburu kue mini yang berbentuk hewan. Selain kue, toko itu ternyata menjual jelly dan permen dengan bentuk serupa.
(Name) membeli kue, juga banyak permen coklat. Gadis ini memang selalu enggan berpikir dulu sebelum bertindak, ia bahkan lupa janjinya dengan Akashi dan diri sendiri.
Mau bagaimana lagi? Gadis ini terlalu bebal.
Murasakibara melepas ransel (Name) saat telah tiba di stasiun.
"(Name)-chin?" panggilnya.
"Iya?"
Murasakibara mengacak rambut panjang (Name) seperti saat mereka akan berpisah tempo hari. "Semoga kita cepat dipertemukan lagi. Aku merindukanmu, (Name)-chin."
⭐⭐⭐
Tiga hari tak bertemu, (Name) tak bisa lepas dari kucing kelabu kesayangannya, Mayuu.
Kini mereka tengah berkumpul di kamar Mayuzumi, si empunya sedang sibuk menulis di laptop. Dan (Name) sedang rebahan sambil mengelus kucingnya yang tertidur di atas perut.
Netra (Name) menangkap Mayuzumi merentangkan tangan lalu meneguk kopi. Menulis cerita fiksi memang perlu tenaga ekstra, apalagi untuk keperluan lomba seperti ini.
"Hiro-kun tidak terbebani?" tanya (Name) tiba-tiba.
Mayuzumi meletakkan cangkirmya dan menengok (Name). "Apanya yang beban?" tanyanya.
"Maksudku. Kau itu sudah kelas tiga, tapi kau banyak sekali kesibukan. Maaf. Waktu itu aku terlalu bersemangat sampai tak memikirkan ini, harusnya kau fokus dengan ujian dan klub basket saja," jelas (Name) dengan rasa bersalah.
"Tidak masalah. Lagi pula, ini mimpiku sejak lama."
Mendengar jawaban Mayuzumi membuatnya sedikit lega, ya, hanya sedikit saja. (Name) tahu Mayuzumi pasti sangat penat dan repot membagi fokusnya ke banyak hal.
"Jadi, olahraga apa yang kau ambil Hiro-kun?"
"Sprint."
"Hee~ Kau terinspirasi dari aku ya?" tebak (Name) asal.
Yap!
"Boleh aku lihat sinopsis lengkapnya?"
Mayuzumi pun menyuruh gadis itu mendekat. (Name) langsung meletakkan kucingnya dengan hati-hati, lalu berjalan menuju layar monitor.
Sinopsis.
Mizuhara Keiko, gadis periang ini punya harapan untuk menjadi pelari sprint terbaik di Jepang. Ia sampai rela merantau ke kota Tokyo dan hidup mandiri.
Karena biaya hidup yang mahal, ia harus bekerja paruh waktu di kafe. Ternyata kafe itu milik teman sekelasnya yang Otaku dan anti sosial, Ryuzaki Izumi.
Awalnya mereka selalu bertengkar. Perlahan tapi pasti, merekapun menjadi akrab. Keiko sering menemani Izumi memasak di dapur serta menemaninya membaca di atap sekolah. Pun, sebaliknya, pemuda itu selalu hadir memberi dukungan disaat Keiko latihan maupun bertanding.
Karena sudah terbiasa satu sama lain, mereka jadi saling suka. Keiko pun menyatakan perasaannya terlebih dulu. Itu karena Izumi terlalu pemalu untuk menyatakannya.
Mereka pun berpacaran.
Namun, satu hari menjelang babak final. Keiko mengalami suatu insiden yang membuat putusnya hubungan dengan Izumi.
"Kyaaa keren sekali! Please. Kasih tahu aku kenapa mereka putus, aku penasaran!" pinta (Name) sambil mengguncang-guncang Mayuzumi. Ia sangat penasaran.
Namun Mayuzumi menolak mentah-mentah. "Tidak."
"Ayolah!" (Name) masih bersikeras.
"Tidak. Itu namanya spoiler, tidak boleh."
(Name) pun menyerah, ia menempatkan kedua tangannya di pundak pemuda itu.
"Hmm. Ya sudah. Aku tidak bisa melakukan apa pun selain memberikanmu semangat. Berjuanglah Chihiro-kun, aku selalu mendukungmu karena aku menyayangimu."
"Arigatou."
Mayuzumi menahan diri untuk tidak berkata, "Aku juga menyanyangimu, sangat."
"Jadi, kapan kita pacarannya?"
Mendengar pertanyaan gamblang (Name) itu, seperti muncul kupu-kupu menggelitiki perutnya. Namun, pemuda itu tersadar kalau itu hanya pura-pura.
Ah, sial.
"Nanti aku kasih tahu adegan mana yang ingin kurasakan langsung," jelas Mayuzumi.
"Dan juga Hiro-kun, kita harus sering masak berdua, kau harus selalu menemani aku latihan dan pokoknya kita harus sering berdua biar kemistrinya bagus! Aku benar, 'kan?"
Mayuzumi mengangguk.
"Tunggu. Tidak ada hentainya, kan?!"
Mayuzumi menyentil dahi (Name). "Kau itu masih kecil tapi berpikiran kotor."
"Justru karena umurmu sudah legal pasti suka menulis yang hentai."
"Tidak ada, bodoh." Jeda beberapa detik sebelum Mayuzumi berucap lagi, "Tapi."
"Tapi apa?" Perasaan (Name) mulai tak enak.
"Nanti ... ada 'kissu'nya."
"HEEEEEH?!"
⭐⭐⭐
Karena perintah dari pelatihnya, (Name) harus berangkat dari rumah ke sekolah dengan jogging. (Name) sudah memperkirakan waktu tempuhnya adalah ±30 menit. Alhasil, ia berangkat lebih pagi.
Sementara (Name) jogging, Mayuzumi mengiringinya dengan sepeda. (Name) mendengarkan radio lewat headphone bluetooth agar lebih semangat, sesekali gadis itu ikut bernyanyi lagu yang dia tahu.
Mayuzumi tersenyum samar. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain melihat (Name) bersemangat seperti sekarang.
Setengah perjalanan, peluh mulai membasahi wajah ayu milik gadis itu. Mayuzumi menghentikan sepedanya dan menepuk pundak (Name).
(Name) menoleh pada Mayuzumi dan bertanya kenapa, pemuda itu mengambil handuk di keranjang dan mengelapi wajah (Name) dengan itu.
Setelah selesai, Mayuzumi mengalungkannya pada leher (Name).
"Arigatou."
Mereka kembali meneruskan perjalanan.
Sesampainya di sekolah, (Name) berpisah dengan Mayuzumi. (Name) memasuki toilet, mengambil rok untuk mengganti training putih panjangnya dan menyimpan headphone ke dalam tas.
Satu hari libur, sudah ada saja yang berubah. Mading Rakuzan memuat foto tiga paslon ketua dan wakil OSIS. Tak hanya itu, banyak poster-poster serupa terpajang di tiap sudut sekolah.
Sebagai si empunya wajah, (Name) sangat risi potret dirinya dengan Akashi tersebar. Terlebih lagi jika paslonnya menang voting (dan sepertinya 100% menang karena Akashi absolut). (Name) sudah bersiap diri mengucap selamat tinggal pada hidupnya yang tenang.
Lagi-lagi ia menyesali hari pertamanya.
Kalau bisa, ia ingin mengulang waktu dan tidak melakukan hal bodoh itu. Hubungannya dengan Akashi pasti tidak akan serumit ini.
Tapi, mau dikata apa lagi? Bagai nasi yang sudah menjadi bubur, bagai kertas yang sudah menjadi abu serta gelas kaca yang sudah terpecah belah.
Itu sudah terlanjur rusak, tidak bisa diperbaiki lagi entah bagaimanapun caranya.
Ya. Ini memang isekai. Namun, (Name) tidak punya kuasa untuk bisa memutar waktu.
Empat orang gadis mengerubungi poster paslon OSIS di jendela kelas 1-B. Fokus mereka tertuju pada paslon nomor satu yang tak lain adalah Akashi dan (Name). Mereka menatapnya dengan sinis, iri dengki dan jengkel. Tak senang (Name) menjadi wakil dari Akashi.
Mereka mulai menggunjing (Name) dengan suara yang cukup keras. Hingga telinga sosok yang digunjing itu mendengarnya, kendati jarak mereka cukup jauh.
"Kenapa dia bisa jadi pasangannya Akashi-sama? Dia merayunya dengan cara apa?"
"Pasti dia menjual dirinya dengan Akashi-sama."
"Kurasa kau benar. Lihat saja wajah dan tubuhnya itu. Lelaki mana yang tak tergoda? Orang seperti dia ini pasti sudah banyak pengalamannya."
"Semua temannya saja laki-laki!"
"Kecentilan, ya?
"Apa dia bercita-cita jadi ratu harem setelah ditolak Akashi-sama?"
"Lebih cocok disebut murahan daripada ratu harem."
"Bagaimana kalau kita kasih dia pelajaran saja? Aku sudah sangat muak melihat si centil ini. Kita bisa rusaki wajahnya biar jadi jelek."
"Aku setuju."
"Kuso!" umpat (Name) dengan murka.
Aura hitam pekat mulai menyelimuti. (Name) mengeraskan rahangnya dan mengepal erat. Kerutan-kerutan muncul di dahi serta pandangan matanya menusuk tajam. Siapapun yang melihat gadis ini akan bergidik ngeri.
(Name) sudah tak tahan ingin melabrak penggosip itu.
Di hari sebelumnya, dia bisa sabar karena cibiran mereka biasa saja. Tapi tidak untuk hari ini, terutama saat mereka berspekulasi kalau dirinya perempuan murahan.
Ini adalah batas sabarnya.
Beberapa langkah, lengannya di cekal oleh seseorang. (Name) menoleh dan mendapati sosok bersurai merah di sampingnya.
"Terus jalan," perintahnya. Akashi menuntun (Name) mendekat ke tempat para penggosip itu.
(Name) bingung. Untuk apa Akashi tiba-tiba menuntunnya? Ayolah, ini koridor sekolah! Sudah pasti, mereka akan menjadi pusat perhatian. (Name) mulai gelisah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dan sampailah mereka pada kelas (Name), lebih tepatnya mereka menghampiri tempat penggosip itu berada.
"Seru sekali gosipnya? Kami boleh bergabung?"
Mendengar suara bariton yang sepertinya tak asing, refleks keempat perempuan itu menoleh. Semua mata mereka membola ketika dugaan mereka benar, itu Akashi Seijuro.
"Aka-shi sa-ma?" Keempat perempuan itu melafalkan nama Akashi dengan gelagapan.
"Ini. Aku bawakan ratu harem yang ingin kalian kasih pelajaran. Aku juga sangat muak dengannya." Akashi melepaskan (Name) dan mendorongnya ke depan dengan pelan. (Name) hanya cengo, mengikuti alurnya Akashi.
Suasana di sana jadi tegang, keempat perempuan itu mengucurkan keringat dingin yang deras. Mereka semua sadar, tindakan Akashi itu hanya sindiran belaka. Mereka semua sadar kalau semua pembicaraan tadi telah sampai ke telinga Akashi dan (Name).
Dan mereka semua sadar, kalau ini adalah kesalahan fatal. Keempat perempuan itu lantas membungkuk.
"Maaf!"
"Maafkan aku!"
"Maaf, maaf, maaf."
"Ampuni aku! Maafkan aku."
(Name) berkacak pinggang dengan wajah yang masih kesal.
"Ah, sudahlah, tidak usah akting sok baik cuma di depan Akashi! Kalau aku sendiri yang melabrak kalian, belum tentu kalian sudi minta maaf. Dasar mulut sampah kurang ajar!" umpat (Name) habis-habisan dengan sekali tarikan napas.
(Name) tidak jadi masuk ke kelasnya. (Name) meninggalkan tempat itu dan berjalan cepat menuju kafetaria yang masih sepi. Ia langsung membeli nasi porsi kuli dengan lauk 4 sehat 5 sempurna sampai nampannya penuh. Uang sakunya habis tak tersisa.
Adegan mereka ini dari tadi menjadi pusat perhatian para siswa/i yang lewat di koridor. Termasuk Katsuki yang baru datang.
"Dan aku peringatkan. Jangan pernah menyentuh gadis itu walaupun seujung kukunya. Kalau sampai terjadi apa-apa, kalian adalah orang pertama yang kucari." Akashi memberi peringatan tegas pada empat perempuan yang masih membungkuk itu.
"Oh, iya. Dia sama sekali tidak merayuku dengan cara murahan, aku sendiri yang memilihnya karena dia layak," pungkas Akashi dengan penekanan di akhir kalimat.
"Astaga. Rasanya aku ingin jadi tim ship Akashi-san dan (Name)-san." ucap Katsuki dalam hati.
Sementara itu, (Name) memakan makanannya di pojokan sambil terisak. Ia sakit hati. Sakit hati saat salah satu penggosip tadi mengatakan (Name) menjual diri.
"Apa sebegitu buruknya aku di mata orang lain? Tidak disana, tidak disini, kenapa aku selalu dianggap murahan? Nande?!!"
Pipinya sudah banjir air mata. Matanya sampai memerah dan memburam. Raut wajah (Name) bettambah kesal saat pemuda berambut red pinkish duduk di depannya.
"Dan kenapa kau mengikutiku kesini?! Sudahlah, jauhi aku, kumohon ... jauhi aku. Aku tidak ingin berurusan denganmu lagi. Carilah saja wakil yang lain. Dan anggap saja kita tak pernah saling mengenal."
Akashi bungkam, berusaha memaklumi. Saat ini, (Name) sedang sensitif.
"Ku mohon ... biarkan aku pergi jauh dari hidupmu. Aku tidak tahan mendengarnya." (Name) mengatupkan tangan dengan mata yang berkaca-kaca. Masih tampak jelas jejak air mata disana.
Akashi masih diam. Membiarkan (Name) menunpahkan isi hatinya sampai puas. Sampai benar-benar lega.
"Kau sendiri mendengarnya, 'kan? Aku dituding menjual diriku. Mereka pikir aku ini barang? Hanya karena aku orang biasa dan pernah mencintaimu yang kaya raya, mereka menudingku seburuk itu." Dan setelah mengucap ini, tangis (Name) pecah.
Akashi tidak tahu bagaimana caranya menenangkan orang menangis (lebih tepatnya Bokushi yang tak tahu). Kalau Oreshi, sih, sudah pasti bisa melakukannya.
Dan Bokushi berkata—
"Diam. Dan tenanglah."
—Karena baginya, perintahnya itu mutlak.
Suara yang memerintah itu bagai sihir, isakan (Name) langsung mereda. Akashi menyodorkan selembar tisu yang tersedia di meja, lalu (Name) menghapus habis airmatanya.
"Sekarang dengarkan aku."
(Name) mengangguk pelan, atau lebih tepatnya pasrah. Ia baru ingat kalau tadi meninggikan suaranya.
Dan Akashi tidak menyukai itu.
"Kau akan tetap jadi wakilku."
"Tapi maaf ... aku tidak mau," balas (Name) dengan takut-takut.
Akashi tidak pernah kalah, tapi baiklah, khusus kali ini ia mengalah. Saat ini (Name) benar-benar sedang dalam mode sensitif. Memaksanya dengan membentak atau berbuat kasar padanya hanya akan memperburuk keadaan gadis itu.
(Name) harus dibujuk baik-baik. Dan satu-satunya yang bisa melakukan ini adalah dirinya yang satu lagi, yakni Oreshi.
Merekapun bertukar tempat.
"(Name)?" panggil Akashi (yang sudah diisi oleh Oreshi) dengan lembut.
"K-kau?" (Name) kaget mereka tiba-tiba bertukar.
"Aku Oreshi. Dan yang tadi Bokushi."
(Name) mengangguk. "Hmm."
Akashi melirik arlojinya. "15 menit lagi kita masuk. Segera habiskan makananmu, (Name). "
"Ha'i." (Name) kembali memakan nasinya yang masih tersisa.
"Kau mirip sekali dengan Murasakibara. Saat marah, bukannya mogok makan, tapi malah memborong makanan," ujar Akashi saat makanan (Name) tandas.
"Dia ... pernah marah?" (Name) tak menyangka orang seperti Murasakibara pernah marah.
"Iya. Waktu itu, sewaktu jam kosong, Aomine menimjam laptop Murasakibara untuk menonton film. Murasakibara mau meminjamkannya karena disogok maibou." Akashi bercerita, (Name) antusias mendengarnya.
"Aomine menonton film itu dengan teman-temannya di pojokan. Tiba-tiba, kelas mereka dimasuki guru perempuan. Laptop itupun disita karena yang Aomine tonton ternyata film dewasa."
"Astaga." (Name) geleng-geleng kepala, tak habis pikir.
"Murasakibara sangat marah laptopnya akan disita sampai lulus. Dia frustrasi, lalu memborong makanan di kafetaria sampai mejanya penuh, persis sepertimu."
(Name) tersenyum canggung.
"Jadi, laptopnya benar-benar dikembalikan sampai lulus SMP?"
"Iie. Aku yang meminta untuk dikembalikan."
Apa sih yang tidak bisa Akashi lakukan?
(Name) menyeruput jus mangganya sampai tandas.
"Omong-omong, (Name). Aku sudah pernah memakan mangga Miyazaki."
Kedua kalinya (Name) dibuat antusias, "Honto?!"
"Ya. Dan rasanya memang sangat enak. Wajar kalau sangat mahal."
Sumpah! (Name) tambah penasaran. Ia memangku dagunya dengan kedua tangan, lalu bertanya lagi, "Rasanya ... seperti apa? Oshiete kudasai."
Oreshi tersenyum simpul, jadi gemas sendiri melihatnya. Amarah (Name) seketika enyah hanya karena membahas makanan.
"Manis. Lebih manis dari mangga impor yang biasa kau makan itu."
"Uwah ...." Netra (Name) membelalak kagum ditambah efek 'cling-cling'nya.
"Kau juga mau?"
(Name) mengangguk. "Huum."
"Bukankah 'dia' sudah menjanjikanmya? Kalau kalian tidak dekat lagi, kau akan kehilangan kesempatan makan mangga Miyazaki."
(Name) terdiam lalu membatin, "Iya juga, ya."
"Kapten?"
"Ya?" Akashi berani bertaruh kalau (Name) sudah berubah pikiran.
"Iya, aku tetap jadi wakilmu. Tapi aku mohon, kita sebaiknya jaga jarak saja. Dan kau jangan lagi tunjukkan kepedulianmu seperti tadi. Bersikaplah seolah-olah kau tidak peduli padaku biar semuanya baik-baik saja."
Akashi terpaksa menjawab.
"Baiklah."
Di satu sisi, (Name) harus selalu dekat dengan Mayuzumi.
Di sisi lain ... ia harus menjauhi Akashi.
✨⭐✨
Istirahat tanpa memakai ikat kepala merah bukan berarti (Name) aman. Dongkrak nilai yang Arata janjikan itu hanya berlaku di jam pelajaran biasa. (Name) harus berusaha dengan otaknya sendiri di ujian nanti.
Tapi (Name) tak terlalu ambil pusing. Gadis itu sudah memikirkan jalan ninjanya; ia akan menulis huruf ABCD di tiap sisi penghapus, lalu diguncang seperti dadu untuk mendapat jawabannya.
Pintar sekali, 'kan?
(Name) sedang berdiri di luar kelas senbari menunggui Katsuki. Sesuai kesepakatannya dengan Akashi, ia harus menbuat sup tofu satu minggu sekali jika ingin bertemu Oreshi di hari Selasa.
Dan guna menghindari gosip yang tidak-tidak lagi, (Name) meminta tolong Katsuki sebagai kurirnya.
"Tolong antarkan ini ke Akashi ya. Tapi jangan sebut namaku keras-keras," pinta (Name) dengan suara berbisik.
Katsuki menerima bungkusan itu dan tersenyum jahil. Terhitung dua kali ia mengantar bento ke Akashi. "Kalian ... pacaran?" selidiknya.
(Name) menggeleng cepat. "Tidak!"
Katsuki pun undur diti, (Name) juga pergi karena ingin makan di atap dengan Mayuzumi.
Katsuki menghampiri Akashi yang tengah mengetik di laptopnya.
"Akashi-san, ini dari (Name)-san."
"Taruh saja di sini."
Katsuki meletakkan bungkusan itu di meja. Pemuda bermanik biru ini kembali ke bangkunya.
Karena penasaran, Katsuki melirik ke bangku Akashi untuk melihat bagaimana ekspresi pemuda itu saat makan masakan (Name).
Dan ternyata terlihat sangat menikmati. Katsuki pun tersenyum puas.
Memang benar. Akashi menikmati setiap suapannya.
Seperti biasa di jam istirahat, (Name) dan Mayuzumi selalu menyantap bento di atap. Mereka ditemani semilir angin sejuk serta mentari yang tak terlalu terik.
Sejujurnya, (Name) masih agak canggung karena perkataan yang semalam. Mayuzumi sendiri sudah mengatakan kalau itu hanya bercanda dan tidak perlu dipraktekkan, ia akan mengikuti apa yang pernah dibaca dan ditonton saja.
(Name) tak bisa membayangkan kalau dirinya benar-benar harus ciuman dengan pemuda itu.
"Chihiro-kun?" panggil (Name) saat aktifitas makan mereka telah selesai. Mereka berdua saat ini tengah duduk bersandar di pagat pembatas atap. Mayuzumi membaca light-novel seperti biasa dan (Name) bersandar di pundaknya.
"Hm?"
"Uang sakuku sudah habis." (Name) mengadu sekaligus memberi kode.
"Lalu kenapa?"
"Ya aku minta uangmu lah! Masa kau tidak peka?! Dasar menyebalkan! Kau akan jomblo sampai tua kalau tidak peka begitu." (Namr) mencebikkan bibirnya, sebal untuk kesekian kalinya di hari ini.
"Dengan satu syarat."
"Um?"
"Berkencanlah denganku malam ini."
✨⭐✨
HEHEHE AKU GANTUNGIN🤣
BokuName / OreName?
Kalau aku Bokushi lah, mereka lebih greget hshshs. :v
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com