24. Diskusi Bersamanya.
Setelah pelajaran usai, (Name) tidak latihan lari seperti biasa, dikarenakan dirinya harus berdiskusi dengan Akashi.
Mereka melakukan diskusi itu di kelas 1-A yang kosong melompong (karena penghuninya sibuk dengan kegiatan klub masing-masing). Jadi, mereka benar-benar hanya berdua.
"Duduklah di sini," titah Akashi (yang masih diisi Oreshi) sambil menepuk bangku di sebelahnya. Dan (Name) mendudukkan dirinya di sana.
Akashi menunjukkan layar monitor laptopnya, tertera jelas tajuk tulisan 'VISI MISI' di sana. Akashi menjelaskan setiap poin yang tertulis secara terperinci. Penjelasan pemuda itu sangat mudah dipahami oleh (Name).
Setelah itu, ia menyuruh (Name) membaca ulang dengan saksama, memahami lagi tiap poin yang ada. Selang beberapa saat, Akashi pun bertanya, "Apa ada yang tidak kau mengerti? Jangan ragu untuk bertanya."
Oreshi itu tegas namun lembut di saat bersamaan.
"Umm. Aku sudah paham, penjelasanmu tadi sangat mudah kupahami. Mungkin, kau bisa mengujiku?"
"Baiklah. Berdasarkan misi nomor dua kalian. Upaya seperti apa yang akan dilakukan untuk mengembangkan ekstrakulikuler sekolah secara maksimal?" tanya Akashi, seolah-olah debatnya tengah berlangsung.
"Baik, terima kasih atas pertanyaannya saudara Akashi. Untuk itu, paslon kami akan melakukan berbagai upaya, yakni:
Satu; sering mengikutsertakan semua klub dalam berbagai kompetisi.
Dua; mengadakan kompetisi internal dan eksternal.
Tiga; memberi aprsesiasi murid yang juara disaat upacara agar memberi dorongan semangat, baik untuk si pemenang dan murid lain ...."
Akashi sangat terkesan, ia tak menyangka (Name) cepat sekali menangkap penjelasannya.
Pada dasarnya memang otak Nisha ini tidak terlalu bodoh. Ia hanya lemah di pelajaran yang menurutnya memusingkan seperti matematika, fisika dan sejarah juga termasuk.
"Lalu, apa gunanya mengadakan kompetisi eksternal?" Akashi bertanya lagi. Kali ini, ia sengaja memberikan pertanyaan secara acak untuk mengukur sejauh mana (Name) paham.
(Name) mengetukkan telunjuknya di bibir, memikirkan jawabannya untuk beberapa saat. (Name) agak bingung karena ini tidak dijelaskan. Lalu, ia memberikan jawaban versinya sendiri. "Mengadakan kompetisi eksternal berguna untuk melihat tolok ukur prestasi ekstrakulikuler SMA Rakuzan."
Akashi tersenyum puas. (Name) bisa menjawab itu dengan memuaskan. Kalau begini, Akashi yakin 100% paslon nomor satu akan menang.
Bokushi tak asal-asalan memilih.
Akashi dan (Name) melakukan tos karena berhasil memahami visi misi mereka dengan baik.
"Sekarang aku ingin memberimu tips—"
Ucapan Akashi terpotong karena terdengar bunyi perut keroncongan. Wajah (Name) memerah seperti lobster rebus. Gadis itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil memamerkan cengiran bodoh.
Ayolah....
Ini—
—Sangat.
Memalukan!
"G-go-gomennasai." (Name) tak habis pikir, ia sangat kesal perutnya rewel disaat yang tak tepat begini.
Padahal, ia sudah makan banyak, 'kan?
"Kau lapar? Mau ke kafetaria dulu?" Akashi khawatir. Jangan sampai (Name) menahan lapar gara-gara diskusi ini.
"Ehehe. Tidak perlu. Aku punya makanan, kok."
"Baiklah. Kau makan saja. Sembari menunggumu, aku baca buku."
(Name) membuka ranselnya dan mengambil bakpao daging ekstra jumbo yang dibelinya.
Sementara Akashi membaca buku tebal tentang ekonomi bisnis. Sesekali pemuda itu memijat pelipisnya yang berdenyut, pusing. Alangkah banyaknya pekerjaan yang harus dia tangani. Ditambah lagi, semalam dia begadang karena membantu tugas ayahnya.
Akashi yang semula fokus membaca kini teralihkan oleh harum aroma terapi roll yang diulurkan (Name).
"M-maaf kalau lancang mengganggumu, aku merasa kau pusing," ucap (Name) dengan gugup. Sungguh, tindakan baik gadis ini tidak ada motif terselubungnya. Ia hanya melakukan apa yang menurutnya benar, dan membantu orang lain tentu saja bukan kesalahan.
Sekalipun itu untuk seorang Akashi—lelaki yang pernah melukai hatinya.
Akashi menerima roll itu dan menghirup aroma harumnya dalam-dalam. Lalu, menempatkan benda itu di pelipis. "Aku memang sedikit pusing."
"Aku bisa memijat kepala."
(Name) menyesal mengatakannya tanpa mikir dulu, Ia bahkan lupa, kapan terakhir kali menggunakan tangannya untuk memijat kepala? Orang yang biasa (Name) pijat adalah ayahnya saat pulang bekerja. Dan itu ... sudah lama, mungkin sudah satu setengah tahun lalu.
"Benarkah? Kalau begitu, bisakah aku minta tolong pijat kepalaku sebentar? Nanti, sehabis kau makan."
(Name) cemas, bagaimana ini? Ia merasa terkena bumerang. Dirinya takut kalau pijatannya itu tak enak dan membuat Akashi tambah pusing.
"Ya, tentu saja." (Name) segera menghabiskan makanannya dan minum agar pemuda itu tak menunggu lama.
Akashi meletakkan buku itu, lalu menyandarkan diri di bangku. Kalau sudah begini, mau tidak mau (Name) harus melakukannya.
(Name) sedikit merapat agar posisinya nyaman saat memijat Akashi. Kedua tangan gadis itu mulai memijat kepala merahnya si kaisar dengan lembut.
Akashi memejamkan mata, setiap sentuhan yang diberikan amat sangat membuatnya lega. Perlahan-lahan, rasa pusingnya hilang.
(Name) membaluri bagian pelipis dengan roll tadi, lalu memberikan pijatan lembut di titik itu. Akashi tak bisa menampik. Sensasi aroma terapi dipadukan dengan pijatan (Name) benar-benar membutnya hanyut dalam rasa nyaman. Sebab, ia merasakan tangan sang Ibu disana. Ibumya juga sering melakukan ini kalau Akashi kecil sangat pusing menerima banyak tugas.
"(Name)?"
(Name) menyahut, "Iya?" Tangannya masih memijat kepala pemuda itu.
"Terima kasih," ucap Akashi dengan tulus.
"Sama-sama."
Seandainya aku yang lebih sering bertemu denganmu.
⭐⭐⭐
Kencan; janji untuk bertemu di suatu tempat pada waktu yang telah ditentukan bersama (antara teman, muda-mudi, kekasih).
Begitulah definisi 'kencan' yang tertera dalam kamus. Tidak ada ketentuan kencan itu harus dilaksanakan di tempat seperti kafe atau bioskop. Jadi, kalaupun Mayuzumi dan (Name) nanti berkencan hanya di atap rumah mereka, itu sah-sah saja, 'kan?
Mereka sama-sama malas berpergian keluar.
Lagi pula, atap itu sudah di dekorasi dengan oleh mereka sendiri agar terlihat seperti kencan sungguhan; meja dilapisi dengan taplak putih, ada lilin ditengah-tengah lalu ada alunan lagu dari radio.
Saat ini, keduanya tengah mempersiapkan hidangan untuk kencan mereka sendiri. Mereka membuat sup ayam dan pancake mangga kesukaan (Name).
Yang mereka kerjakan di dapur 50% memasak dan 50% lagi adu mulut. (Name) dan Mayuzumi sering memperdebatkan hal-hal sepele seperti contohnya ini;
"Garam yang kau masukkan itu kurang, bodoh."
Mayuzumi memang lebih suka masakan yang lebih asin.
"Ini sudah pas tau! Memangnya kau ini vampir, ya? Kau tidak merasakan garamnya sama sekali?!"
Dan (Name) tidak terlalu suka jika kebanyakan garam.
"Kurang, bodoh."
(Name) menghela napas berat, "Kan bisa kau tambahi sendiri garamnya di mangkukmu! Yang bodoh itu kau atau aku, sih?"
"Tentu saja orang yang sering dapat nol." Mayuzumi mematikan kompornya karena sudah matang.
"Dasar mahluk halus menyebalkan!"
Ah, Mayuzumi jadi dapat inspirasi dari perdebatan-perdebatan konyol ini. Menang ataupun tidak, ia berjanji akan memberi hadiah untuk (Name) setelah karyanya rampung.
(Name) sudah membuat hidupnya berwarna.
"Jadi, apa motif dari kencan ini?"
Kini mereka telah berkencan di atas balkon, juga di bawah naungan langit malam yang penuh bintang. Udara pukul dua puluh malam ini cukup dingin, oleh karena itulah (Name) memakai sweater putih yang berbahan tebal.
"Mendiskusikan light-novelku."
Mayuzumi tengah menulis idenya tadi di buku catatan kecil. Ia harus menulisnya dengan segera agar tidak hilang. Mayuzumi menerapkan tips yang didapat dari penulis favoritnya.
"Aku bukan editor tau."
Astaga, (Name) ini.
"Kau amnesia, ya?"
"Memang amnesia!"
Ya, Mayuzumi tahu (Name) ini amnesia dan melupakan ingatan 15 tahun ke belakang tentang hidupnya (entah karena apa). Tapi ... masa gadis itu lupa kejadian 2 hari lalu?
"Kau lupa dengan 'ide bodoh'mu sendiri?"
(Name) selalu mengetuk-ngetuk bibirnya saat berpikir, Mayuzumi paham betul kebiasaan gadis ini.
"Oh, iya. Kita, 'kan pacaran! Astaga! Gomen, gomen pacar pertamaku, aku lupa kalau aku yang jadi partner risetmu."
"Pacar pertamanu?" Mayuzumi tak yakin dengan pernyataan itu. Masa iya, gadis seperti (Name) ini tidak pernah pacaran.
"Iya! Aku tidak pernah pacaran."
"Omong kosong."
(Name) bingung harus meyakinkan Mayuzumi dengan cara apa.
"Aku serius, ih. Aku tidak pernah pacaran. Tapi ... cukup sering diajak kencan."
(Name) mau-mau saja karena ada kesempatan makan gratis.
"Ya, aku percaya."
Akhirnya...
"Jadi, apa yang mau kau diskusikan denganku?"
Sambil makan, mereka mulai berdiskusi panjang lebar mengenai olahraga lari sprint dan kehidupan remaja (masa-masa yang Mayuzumi 'hampir' lewatkan). Sebab, kalau (Name) tidak datang di kehidupannya, Mayuzumi mungkin tidak pernah merasakan pahit manisnya jatuh cinta di masa remaja.
Sehabis makan dan berdiskusi, (Name) dan Mayuzumi beranjak dari bangku dan berdiri ke dekat pagar pembatas. Agar lebih leluasa memandangi langit yang penuh bintang di atas sana.
"Boleh aku genggam tanganmu?" pinta Mayuzumi mrmbuat alis (Name) bertaut.
"Kenapa? Kita, 'kan tidak sedang menyebrang."
"Biar hangat."
(Name) mengulurkan tangan kirinya dan langsung digenggam oleh tangan besar Mayuzumi.
"Jadi, kalau musim dingin, kau mau menggengam tanganku sepanjang saat gitu?" goda (Name)..
"Iya." Mayuzumi menjawabnya dalam hati.
"Sebenarnya, untuk keperluan li-novel itu, aku ingin merasakan menggenggam tangan perempuan," ungkap Mayuzumi.
Rambut panjang (Name) yang tergerai berkibar-kibar dibawa angin. Mayuzumi terpana melihatnya. Ya ampun, sepertinya Tuhan sedang bahagia sekali saat menciptakan (Name). Mayuzumi berani bertaruh, kalau Akashi suatu saat nanti akan menyesal menolak perempuan ini.
"Jadi, apa yang kau rasakan saat ini?" (Name) bertanya dengan tatapan yang intens.
Astaga.
Apa Mayuzumi harus berterus terang perihal gejolak aneh dalam dirinya ini?
Terdengar suara dering ponsel dari celana Mayuzumi.
Mayuzumi mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk siapapun yang menelpon. Dan ternyata, tertera nama 'Otou-san' di layar.
"Sebentar, Otou-san menelponku." Mayuzumi menjauh untuk mengangkat telpon.
(Name) mengangguk. Padahal, ia penasaran dengan jawaban Mayuzumi.
(Name) menelungkupkan wajahnya di pagar pembatas, menunggu Mayuzumi berbincang dengan orangtuanya di ponsel. (Name) penasaran, apa saja yang mereka bicarakan? Apa biaya hidup jadi tambah mahal karena kehadirannya yang rakus ini? (Name) jadi tak enak kalau begini. Ia berencana ingin kerja sambilan saja.
Mayuzumi selesai menelpon dan menghampiri (Name).
"Orangtuaku mau ke sini. Mereka sudah di jalan."
"Apa? Orangtuamu mau ke sini?" (Name) terlonjak kaget mendengarnya.
Mayuzumi mengiyakan.
Perasaan (Name) bercampur aduk antara senang, penasaran dan gelisah. Ia penasaran seperti apa sosok yang berbaik hati merawatnya; ia gelisah karena takut ditanyai ini itu. (Name) tidak tahu menahu tentang dunia ini. Yang ia tahu, ini latar anime Kuroko no Basket.
"Bukannya aku tak senang Chihiro-kun, tapi aku hanya takut ditanyai ini itu. Pasti aku tidak bisa menjawab."
"Aku sudah memberi tahu kalau kau amnesia."
(Name) bernapas lega. "Syukurlah."
(Name) kini bergelut dengan pikirannya sendiri.
Aku masih bingung.
Kalau pemilik tubuhku ini sudah lebih dulu hidup disini, kemana jiwa aslinya pergi?
Hmm. Aku jadi penasaran. Kepribadian dan kebiasaan diriku yang di sini seperti apa, ya?
Argh, pusing, pusing! Sampai sekarang pun aku masih tidak percaya kalau isekai itu ada.
Sampai sekarang ... aku merasa hidup dalam mimpi.
Semua ini nyata atau tidak, sih?
Tapi transmigrator bilang ini nyata. Ini hidup baruku, babak baru dari hidupku sebelumnya yang terlalu menyedihkan.
Dan aku masih penasaran; siapa 'takdir benang merah'ku itu?
Mereka membereskan kencan itu lalu menuju ke kamar orangtuanya Mayuzumi. Keduanya membersihkan tempat itu. (Name) sibuk menyapu, Mayuzumi mengganti seprai.
Setelah selesai, mereka turun ke bawah lalu berpencar. (Name) ke ruang tamu dan Mayuzumi ke toilet.
"Hee, jamnya mati, ya?" (Name) terheran-heran melihat jam dinding masih menunjuk angka tiga. Padahal, ini pukul setengah sepuluh malam.
Langsung saja (Name) mengambil kursi lalu menaikinya. Karena posisi jam itu sangat tinggi, ia terpaksa harus berjinjit.
(Name) kehilangan keseimbangan dan nyaris jatuh. Namun beruntungnya, Mayuzumi dengan timing yang pas menangkap tubuh (Name).
Dan aksi saling memandang pun terjadi.
"Tadaima, Chi—" ucap sepasang suami istri itu yang tiba-tiba terputus saat melihat (Name) dan Mayuzumi. Pintu rumah memang sedang terbuka untuk menyambut mereka.
Mayuzumi segera menurunkan (Name) dan wajah mereka sama-sama memerah.
"O-okaeri Otou-san, Okaa-san," sambut Mayuzumi muda gugup.
"O-okaeri Paman, Bibi." (Name) ikut menyambut dengan gugup pula.
Ayahnya Mayuzumi bersurai kelabu, fitur wajah pria itu seratus persen mirip Chihiro. Bedanya, manik kelabu itu memancar cerah dan tidak hampa seperti milik putranya.
Namanya Akihiro.
Sedangkan Ibunya berambut hitam panjang dan bermanik senada. Dia cantik tapi mimik wajahnya sangat datar. Dan nama wanita itu Chizuru.
Nama 'Chihiro' sendiri merupakan singkatan nama mereka.
"Hee. Kau sudah sangat akrab dengannya, ya, Chihiro. Kalian berpacaran? Kami tak keberatan menjodohkan kalian sekarang," goda Ayahnya Mayuzumi yang sukses membuat telinga putranya dan (Name) menanas bersamaan.
"Kau ini, mereka itu masih anak-anak," ujar Ibunya Mayuzumi tak setuju.
"Dan (Name), jangan panggil aku paman, panggil aku Otou-san karena Aku ini ayahmu. Benar, 'kan Chizuru?"
"Iya." Chizuru hanya menjawab singkat dan datar.
Kalau soal wajah, Mayuzumi muda mirip Ayahnya. Sedangkan sifatnya menurun dari sang Ibu.
Chihiro mengangkat bawaan kedua orangtuanya ke kamar atas, sementara (Name) ke dapur untuk menyiapkan teh dan kue kering. Tidak ada persiapan khusus karena kedatangan mereka yang terlalu mendadak.
(Name) sedang menuang air panas dari termos. Saat ingin meletakkan termos di tempat semula, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara seorang wanita.
"Kau anak yang rajin, ya?"
"Uwaaa!!!" pekik (Name) kaget. Untung saja kegiatan menuang air panas sudah selesai, atau tangannya akan melepuh saking kagetnya.
Ia bingung. Sejak kapan Ibunya Mayuzumi berada disampingnya?
(Name) pun membungkuk, merasa tak sopan teriak-teriak di depan orangtua. "Sumimasen Bibi. Aku tidak menyadari hawa keberadaanmu."
Tampaknya, ibu dan anak ini sama-sama meresahkan. Keberadaan mereka sangat sulit dideteksi. Bahkan, hidung tajam (Name) tidak mencium bau apa pun yang menjadi petunjuk ada manusia lain di sampingnya.
"Tidak apa. Ini sudah biasa," ujar Chizuru datar.
Chizuru membantu (Name) membawakan nampan berisi teh, sementara (Name) menbawakan beberapa camilan untuk dibawa ke depan.
"Bibi sudah makan malam?" tanya (Name) perhatian.
"Sudah."
Mereka meletakkan nampan bawaan masing-masing di meja ruang tamu. Di sana sudah terduduk dua lelaki berambut kelabu. Keduanya duduk berhadapan sambil berbincang singkat.
(Name) dan Chixuru ikut bergabung. (Name) duduk dengan Chihiro, sedangkan Chizuru duduk di sebelah suaminya. Dengan lincahnya, seekor kucing kecil melompat ke pangkuan (Name), ingin bergabung juga.
Mereka terlihat seperti keluarga yang harmonis.
"Bagaimana Chihiro selama ini? Kau tidak pernah dimarahinya, 'kan?" tanya Akihiro pada (Name).
Chizuru juga penasaran, ia tahu betul tabiat putranya itu suka bicara ketus. Bukan tidak mungkin (Name) sering menjadi korbannya.
Oke, sepertinya kata harmonis tadi harus diralat. Suasana sekarang tegang layaknya sidang. Chihiro yang menjadi tersangka utama gelisah, ia merasa sering sekali mengejek dan memarahi (Name).
Namun, tanggapan (Name) diluar ekspektasinya. Bukannya mengadu, gadis itu justru menjawab, "Tidak, Chihiro-kun itu sangat baik. Terlebih lagi kalian, terima kasih untuk semuanya. Dan maaf, karena kehadiranku jadi menambah beban kalian."
"Hei! Jangan bicara begitu sayang. Kau sudah kuanggap anakku sendiri, sama dengan Chihiro," tegur Akhiro.
"Benar." Chizuru ikut menimpali.
Sungguh. Badan (Name) jadi bergetar mendengarnya, ia sangat terharu.
"Apa ... aku boleh memeluk kalian?" pinta (Name) pada Akihiro dan Chizuru dengan mata berkaca-kaca. Sudah lama sekali ia tak merasakan pelukan hangat orangtua.
"Tentu saja. Kemarilah, (Name)."
(Name) meletakkan kucingnya dan menghampiri kedua orang itu. Mereka memeluk (Name) dengan hangat, mengelus punggung dan surai panjangnya dengan lembut.
Aku ingin menjadi orang yang sukses biar bisa membalas jasa orangtuanya Chihiro-kun.
Tapi bagaimana? Aku bahkan tidak punya cita-cita.
Cita-cita yang kuinginkan sudah hancur.
⭐⭐⭐
Ini hari Kamis, hari di mana debat antar paslon OSIS dilangsungkan. Debatnya akan berlangsung di aula. Panggung dan jajaran kursi sudah dipersiapkan sejak Rabu kemarin.
Sejak Rabu kemarin pula, (Name) jadi berubah drastis. Gadis itu lebih banyak diamnya seperti orang linglung. Buah mangga tak cukup mempan memperbaiki suasana hatinya.
Karena ketidak fokusannya itu. Ia pun panen banyak teguran. Entah itu dari Mayuzumi, Akashi dan guru yang mengajar. Bahkan, Arata-sensei ingin mengurungnya dengan anjing karena geram catatan waktu (Name) menurun drastis.
Akashi dan (Name) kini berada di koridor yang sepi.
"Kau itu kenapa?! Aku tidak tahan lagi. Debatnya akan dimulai sebentar lagi, dan kondisimu kacau begini?!" omel Akashi dengan geram. Kemarin ia cukup sabar dan hanya memberi teguran singkat.
Tapi ini sudah kelewat batas, gadis itu tidak boleh kacau di momen krusial seperti ini.
"Gomennasai. Itu karena ada yang mengusik pikiranku," jelas (Name) dengan jujur. (Name) juga berusaha keras untuk mengenyahkan sejenak pikiran itu, tapi tidak bisa.
Akashi menghela napas berat.
"Apa pun masalahmu, segeralah tuntaskan. Dan kau pikir aku tidak tahu catatan waktumu memburuk? 49 detik? Apa-apaan itu? Seperti amatir."
(Name) bungkam, menunduk dalam dan memainkan jari jemarinya.
"Jawab. Memangnya, apa yang mengganggu pikiranmu? Kau dibully orang lagi?" Akashi bertanya lagi.
"Iie. Ini ... tentang masa depanku," ungkap (Name). Sejak malam itu, ia terus cemas memikirkan masa depannya akan menjadi apa.
Karena Akashi memaksa menceritakan detailnya. (Name) pun terpaksa mengatakan semuanya. Mulai dari kedatangan orangtua Mayuzumi hingga keinginannya jadi orang yang sukses, tapi terhalang sesuatu.
"Jadi, aku dulu sangat ingin jadi pramugari, tapi mimpiku itu hancur. Dan sepertinya kau sudah tahu alasannya."
Akashi merasa ngilu mendengarnya. Meskipun konteksnya berbeda, ia juga memahami apa itu definisi mimpi yang hancur.
Akashi ingin membahagiakan Ibunya, ingin menjadi sesuatu yang membanggakan, ingin menciptakan banyak momen berharga bersama sang Ibu. Namun naas. Wanita paling berharga dalam hidupnya itu pergi terlalu cepat.
"Karena tidak punya cita-cita. Aku takut kalau menjadi pengangguran." (Name) mengakhiri cerita panjang lebarnya.
"Dengar."
(Name) menyimak baik-baik apa yang ingin dikatakan Akashi.
"Hanya ada dua pilihan; berusaha lawan traumamu atau kembangkan potensimu yang lain. Kau pasti pernah dengar pepatah 'banyak jalan menuju Roma'." Akashi memberikan saran terbaiknya.
"Kau benar. Masalahnya, aku tidak tahu. Apa potensiku yang lain itu?" tanggap (Name) dengan bingung. Ia merasa tak punya keahlian khusus selain lari sprint dan Bahasa Inggris.
"Aku pasti akan membantumu. Sekarang jangan pikirkan itu dulu, persiapkan dirimu dengan baik untuk debat ini."
(Name) mengiyakan. Ia merasa lebih lega sekarang.
Saat kembali ke aula, suasana disana sudah sangat ramai. Guru dan siswa/i berduyun-duyun mengambil tempat duduk, panitia divisi perlengkapan wara-wiri mempersiapkan panggung dan kursi tambahan, tim dokumentasi gencar menjepret momen yang ada.
(Name), Akashi serta dua paslon lain mulai naik ke atas panggung dan menduduki tempat yang dipersiapkan.
"Kapten," panggil (Name) lirih, bahkan suaranya hampir tertelan kebisingan.
Namun Akashi masih bisa mendengarnya, pemuda itu menoleh dan memasang ekspresi ada apa?
"Aku merasa gugup." (Name) mengelap keringat dingin di dahinya. Berdebat di depan umum adalah pengalaman baru baginya, wajar jika gugup.
"Apa perlu kuulang apa katanya?
Satu; Pastikan kau sudah memahami materi debatnya.
Dua; Singkirkan semua pikiran negatif dan berpikir positif.
Tiga; Fokus, fokus & fokus. Jangan sampai lawan debatmu nanti mengambil celah i—"
"Akashi! Manajer-chan! Sukses ya." Di bangkunya, Hayama melambai-lambai. Anggota tim basket duduk berjejer disebelahnya.
"Semoga sukses ya Sei-chan, manajer-chan." Giliran Mibuchi yang memberi semangat.
"Kalian berdua sudah makan, 'kan?" Yang lain memberi semangat, Nebuya malah menanyakan isi perut.
Mayuzumi hanya memandang datar (Name) dan Akashi tanpa berucap apa-apa.
Melihat tim basket memberi semangat, Katsuki yang duduk di sebelah timur juga tak mau kalah. "(Name)-san, Akashi-san, aku kawal kalian sampai menang!"
(Name) membalas satu persatu ucapan mereka dengan senyuman lebar dan acungan jempol. Sementara Akashi hanya membalas anggukan.
Para fangirl Akashi yang melihat (Name) tersenyum merasa jengkel. Mereka iri dengki dan merutuk; harusnya aku yang ada di sana!
Terlepas dari banyak yang kontra dengan (Name). Paslon nomor satu ini tetaplah banyak pendukungnya. Para perempuan tentu saja ingin mendukung Akashi dan yang laki-laki tertarik dengan (Name), terlebih lagi saat gadis itu menang di turnamen Kyoto.
Perempuan berumur 25 tahun yang bertugas sebagai MC pun memulai acaranya. Dilanjutkan dengan berbagai kata sambutan dari berbagai pihak yaitu; kepala sekolah, ketua&wakil OSIS periode ini serta dari guru pembimbing OSIS.
Seusai kata sambutan, MC menjelaskan tentang tata tertib debat secara rinci.
Dan tibalah saat yang ditunggu-tunggu.
Moderator debat mulai menaiki podium. Suasana jadi tegang mencekam saat sang moderator memandu jalannya debat.
• • •
Debat sudah usai. Ketiga paslon telah berusaha menjawab semua peetanyaan yang dilontarkan sebaik mungkin.
(Name) dan Akashi lega karena debat ini sudah tuntas. Paslon nomor satu adalah yang paling lancar menjawab pertanyaan tanpa cengo dan tergagap-gagap. Baik Akashi dan (Name) menjawab mereka dengan lugas-bahkan beberapa kali melakukan skakmat ke paslon lawan.
Ada satu kali (Name) kaget karena nyaris terkena skakmat, Akashi refleks menggenggam tangan gadis itu. Alhasil, (Name) tenang dan sukses membungkam paslon nomor tiga.
Mereka sudah membangun kemistri yang baik sebagai calon ketua dan wakil OSIS periode mendatang.
⭐✨⭐
Trivia Rewatch s/d Eps 24.
•First kiss tidak sengajanya dengan Akashi. Dan Akashi adalah orang yang sering membuat (Name) menangis.
•Sejauh ini. Mayuzumi adalah orang yang paling disayang (Name).
•Kuroko adalah teman pertamanya di Tokyo.
•Kagami dan (Name) punya banyak kesamaan. Yaitu; takut anjing&hantu, suka makan porsi banyak, sering mengamuk & Selalu menggebu-gebu ingin menang.
•Lelaki yang menjadi moodbooster terbaik (Name) adalah Kise.
•(Name) adalah gadis pertama yang Midorima berikan lucky itemnya.
•Scene Aomine dan (Name) selalu berisi baku hantam, keributan dan dipenuhi umpatan 'Aho!'
•(Name) tak bosan-bosan memandangi ketampanan Himuro.
•Dua scene (Name) dan Murasakibara selalu bertemu di minimarket.
•Momoi adalah teman perempuan pertamanya. Setelah itu Riko dan Hanako.
Ada yang mau ditanyain ke mereka?
Untuk (Name).
Akashi.
Mayuzumi.
Kuroko.
Kagami.
Kise.
Midorima.
Aomine.
Murasakibara.
Author?
Dll?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com