52. Perjodohannya
Serangkaian kegiatan di kamp pelatihan sudah usai. Para atlet Rakuzan pun pulang menaiki bus dengan angka undian yang berbeda lagi. Kali ini, (Name) kedapatan duduk dengan Katsuki Kintaro di barisan paling belakang. Mayuzumi duduk di depan bersama Haruto, rekan lamanya di klub basket divisi tiga. Sedangkan Akashi sudah pulang lebih awal sejak semalam.
"Ehm." Katsuki berdeham, memancing (Name) untuk mengobrol. Dari tadi gadis itu hanya memakan irisan mangga sambil bermain game.
Katsuki yang memata-matai pergerakan Akashi sore itu masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Akashi mencium (Name) di bawah naungan langit senja.
Oleh karena itulah, Katsuki ingin membahasnya.
"Apa?" sahut (Name) dengan tidak santai. Dia tahu. Apa pun yang keluar dari mulut Katsuki, pastilah tidak berfaedah.
Katsuki menyengir ala kuda. "Bagaimana rasanya, (Name)-san?"
"Manis, manis sekali." (Name) mengira Katsuki menyinggung mangga yang dimakannya. Padahal bukan itu konteksnya.
"Apa kau mau lagi?"
"Iyaaa."
"Oh ... jadi, (Name)-san mau kissu dengan Akashi--"
"Diam kau." (Name) menatap tajam Katsuki dengan alis yang hampir menyatu, seolah hewan buas yang siap menerkam mangsanya kapan saja. "Atau aku akan membunuhmu. Lagi pula, kau tau dari mana, Bakatsuki?'
"Aku lihat, bahkan sempat kufoto." Katsuki mengaku dengan wajah tanpa dosa.
"HAAAHH???" (Name) terpekik kaget, hingga semua orang yang ada di bus menoleh padanya dengan tatapan sinis. (Name) pun merasa bersalah dan kontan meminta maaf. "G-gomen Minna-san. Hontou ni gomennasai."
(Name) berdecak kesal, Katsuki malah cekikikan tanpa rasa bersalah.
"Bodoh! Sini ponselmu! Kau terlaluan." Kali ini (Name) bicara dengan nada yang sangat pelan.
"Tidak."
(Name) menggelitiki perut Katsuki sampai cowok itu merasa tak berdaya. Katsuki menyerahkan ponselnya dan langsung disambar oleh (Name).
Kendati begitu, Katsuki tidak sebodoh ini. Dia sudah menyalin foto itu di tempat lain.
"Dasar, menyebalkan. Aku tak mau bicara denganmu lagi." (Name) mengembalikan ponsel itu dan cemberut sepanjang jalan. Suasana hatinya sudah buruk karena jaga jarak dengan Mayuzumi. Katsuki malah menambah-nambabi.
Adegan yang disinggung Katsuki itu kembali terlintas di kepala (Name).
"Sekarang, kau bisa simpulkan sendiri jawabannya."
Setelah mengucap itu, Akashi pun pergi, menyisakan (Name) yang masih melongo tak percaya.
Gadis itu menyimpulkan: Akashi melakukan ini karena menyukainya. Akan tetapi, apa itu valid? Mengapa bisa begini? Mengapa laki-laki yang selalu menolaknya mentah-mentah itu menyukainya? Apa yang sebenarnya terjadi?
(Name) mengembuskan napas panjang, lalu tertidur pulas.
Sementara di bangku Mayuzumi, pemuda itu hanya diam tanpa melakukan apa pun. Matanya terpejam, tapi sebenarnya ia tak tertidur.
Sama seperti (Name), hatinya tengah porak-poranda. Keputusan untuk menjaga jarak dengan (Name) sudah sangat menyakitkan. Sore harinya, ia malah menyaksikan apa yang dilakukan Akashi pada (Name) di pantai itu.
Sakit yang itu belumlah mereda, ada lagi tancapan tombak yang lain.
Pagi tadi ayahnya menelpon perihal pertemuan dengan keluarga Akashi. Mayuzumi berkilah tidak bisa hadir lantaran ada les untuk tes masuk kampus. Alasan sebenarnya sudah jelas karena ia sangat enggan pergi.
Rasanya Mayuzumi ingin menghilang saja dari dunia ini.
Bus pun terhenti di parkiran Rakuzan. Katsuki membangunkan (Name). Mereka meninggalkan bus dengan tertib dan pulang ke rumah masing-masing.
(Name) mengedarkan pandangannya untuk mencari Mayuzumi. Namun, saat ia teringat pagi tadi Mayuzumi sudah mengirim pesan tak bisa pulang bersama, (Name) segera melangkah keluar area sekolah sambil menggeret kopernya.
Setibanya di gerbang, ada seorang berpakaian serba hitam yang menghampiri (Name). Pria itupun membungkuk dan menyapa, "Selamat siang, (Name)-sama."
"Selamat siang. Maaf, tapi siapa, ya?" tanya (Name) bingung.
"Saya diutus Tuan Besar untuk menjemput Nona," jelas pria itu.
"Hah? A-ano, tapi Tuan Besar itu siapa? Dan aku mau dibawa ke mana? Aku mau pulang."
"Akashi Masaomi-sama. Kita akan ke mansionnya untuk melangsungkan perjodohan Anda, Nona. Biar saya bantu membawa koper Anda."
"APAAA???" (Name) terpekik kaget. Lagi-lagi ia mendapat plot twist tak terduga di kehidupannya. (Name) tahu Akashi Masaomi adalah ayah dari orang yang sangat dekat dengannya, yakni Akashi Seijuro.
"Jangan khawatir. Sebelum ke mansion, kita bisa ke salom dulu untuk mengantarmu berdandan. Mari, Nona." Pria itu mengambil koper (Name) untuk ditaruh ke belakang.
(Name) masih bergeming. Kebingungan ini membuat syaraf tubuhnya seakan berhenti bekerja. Gadis itu hanya diam membatu dengan tatapan kosong. Bahkan ia mengabaikan sopir yang membukakan pintu untuknya.
Apa-apaan ini?
Apa yang terjadi pada kehidupanku?
Ada gadis aneh yang menerorku,
Chihiro-kun menjauhiku, lalu aku diundang ke mansion oleh ayahnya Akashi untuk dijodohkan. Apa ini? Kenapa semuanya membingungkan?
"Ada apa, Nona? Anda terlihat ketakutan. Jangan takut, saya benar-benar sopir suruhan Akashi-sama dan bukan penculik. Bila perlu, saya bisa menelpon—"
(Name) tersadar dari lamunannya, gadis itu menggelengkan kepala. "Bukan begitu, aku percaya padamu. Hanya saja, aku masih belum menerima ini. Dan jangan terlalu formal begitu, aku tak terbiasa mendengarnya."
"Apa ... kamu tidak mau dijodohkan?"
"Entah, ini semua terlalu tiba-tiba. Aku ... belum mengerti kenapa bisa begini."
(Name) tidak menolak, ia hanya tidak siap untuk menerima ini. Andai kata pertemuannya dengan Akashi tak sebrutal itu dan alur hidupnya tidak serumit ini, tentu saja (Name) akan terima dengan sepenuh hati.
Namun, sekarang keadaannya telah berubah. Perasannya tak seperti dulu. Sosok Akashi bukan lagi tujuan utamanya. (Name) enggan dijodohkan dengan perasaan terpaksa.
"Keluargamu pasti sangat istimewa dan berperan penting dalam kehidupan Tuan Besar, hingga dia ingin hubungan itu terus terjalin."
Keluarganya? Bahkan (Name) tidak tahu seperti apa wujud orang tuanya di dunia ini. Gadis itu hanya menjawab, "Ya. Mungkin saja ...."
Mereka pun masuk ke mobil. Kendaraan roda empat itu melaju dengan kecepatan rata-rata, membawa (Name) ke salon ternama di Kyoto.
✨⭐✨
Gerbang langsung dibuka lebar ketika mobil telah tiba di depan mansion yang megah. (Name) menarik dan mengembuskan napasnya, mempersiapkan diri menjalani agenda yang mencengangkan ini. Keluarga Akashi adalah keluarga terhormat. Entah di sana ada siapa saja, yang pasti (Name) harus bersikap elegan. Walau sebenarnya ... ia gugup bertemu Akashi lagi.
Gaun merah muda pastel yang memeluk tubuh gadis itu begitu indah karena mempresentasikan warna bunga Sakura. Kepalanya dipakaikan bando permata. Wajahnya sudah dipoles cantik. (Name) pasrah saja walau rasanya tidak enak. Biar bagaimanapun, ia akan bertemu Ayahnya Akashi.
Saat turun dari mobil, dirinya langsung disambut ramah oleh empat maid sekaligus. Seiring langkah, (Name) gugup setengah mati.
(Name) pun tiba di ruang tamu mansion Akashi. Di sana sudah terduduk empat orang, yakni kedua orang tua angkatnya, serta Akashi Seijuro dan ayahnya. (Name) pun membungkuk hormat.
Masaomi pun bertitah, "Duduklah."
Gadis itu mengambil posisi duduk di sebelah Chizuru sekaligus berseberangan langsung dengan Akashi muda. (Name) tambah gugup sekali.
"Kau sangat cantik," puji Masaomi.
"T-terima kasih," balas (Name) dengan tergagap. Akashi yang muda saja sudah seperti iblis, bagaimana versi tuanya? (Name) benar-benar tak punya nyali untuk menatap wajah pria itu.
"Kenapa kau begitu gugup? Santai saja. Aku dan Ayahmu teman baik."
(Name) menegakkan kepala, memberanikan diri menatap pria paruh baya dengan rambut merah dan kedua mata oranye yang persis seperti milik Bokushi. (Name) pun memberikan senyuman terbaiknya pada Masaomi.
Untuk beberapa saat, Masaomi fokus mengamati (Name) dengan seksama. Suasananya jadi sangat hening. Bahkan Akihiro yang periang tak berkutik karena segan. Hubungannya dengan Masaomi tidak bisa dikatakan akrab lantaran bekerja di bidang yang berbeda. Kebetulan mereka sama-sama teman dekat ayah (Name) yang dititipkan wasiat.
Mayuzumi Akihiro diberi wasiat: "Andai suatu saat aku tiada, aku ingin Aki-kun yang menjadi orang tua kedua putriku. Aku sangat percaya padamu."
Sedangkan wasiat ke Masaomi adalah:
"Jika aku tiada, aku percayakan Masaomi-kun yang memegang perusahaanku. Kalau bisa, nikahkan saja anak-anak kita. Lagi pula, anak kita seumuran, kan?"
Setelah beberapa saat, akhirnya Masaomi bersuara lagi.
"Kau sangat bersinar, ya? Persis sekali seperti Ayahmu. Kudengar, kau sampai di final Sprinter Cup."
"Mohon dukungannya T-tuan Ak-."
"Panggil saja Otou-sama." Masaomi tak ingin calon menantunya itu malah memanggilnya dengan sebutan Tuan Akashi-sama. "Tentu saja, aku akan mendukungmu."
(Name) mengangguk. "Terima kasih. Semoga Anda selalu sehat, Otou-sama."
Seketika Masaomi merasa tersentuh mendengarnya. Dia pun membalas, "Semoga kau juga."
Sopan, tulus dan bersinar. Semula aku ragu anak ini pantas menjadi menantuku, tapi aku rasa ini sudah benar. Maaf kalau aku sempat meragukan wasiatmu, Hikaru-kun.
"Mau makan dan mengobrol berdua dengan Seijuro?" tawar Masaomi pada (Name).
Jantung Akashi Seijuro berdegup tiga kali lebih kencang. Sejujurnya, ia menyesal karena bertindak secara impulsif mencium (Name) di sore itu. Akashi takut (Name) akan menganggapnya laki-laki mesum yang tidak bermartabat. Ya, Akashi tetaplah Akashi. Dirinya selalu mengutamakan gengsi.
(Name) juga merasakan gugup yang sama. Gadis itu canggung berduaan dengan Akashi karena berpotensi terjadi hal-hal yang tidak terduga, contohnya seperti sore itu.
" ... I-iya."
Walau begitu, (Name) tetap menjawab mau. Mana mungkin kan kalau ia menolak?
"Harusnya kau tidak malu begitu. Dia sudah dekat denganmu, 'kan?" goda Masaomi.
"Itu benar."
"Bagaimana dia memperlakukanmu selama ini?" Masaomi menginterogasi.
"Dia baik dan perhatian," jawab (Name) seadanya.
"Aku yakin tak cuma itu." Masaomi tahu putranya itu seperti apa. Apa lagi dengan versi yang 'sekarang'.
(Name) bingung harus merangkai kata seperti apa. (Name) tak mungkin jujur: dia iblis yang sangat sadis, pernah mencekikku, pernah mendorongku sampai terpental dari tempat tidur, pernah menghukumku lari keliling Rakuzan. Rasanya, kalau dekat dengan anakmu itu, aku dekat dengan kematian.
"Dia juga ... sangat tegas."
Masaomi tak puas dengan jawaban itu. Namun biarlah, (Name) pasti tak enak mengatakannya.
"Bagaimana kalau kalian dijodohkan?"
Pertanyaan ini yang (Name) pikirkan jawabannya dari tadi. (Name) pribadi tidak menolak mentah-mentah, tapi tidak juga ingin setuju dengan cepat. (Name) butuh waktu, setidaknya sampai perasaannya mantap.
Peka dengan kebisuan (Name), Chizuru pun angkat bicara. "Maaf kalau menyela, tapi ini terlalu tiba-tiba untuknya."
Akihiro pun mendukung pernyataan istrinya yang berani itu.
"Aku hanya berbasa-basi. Lagi pula, mereka masih anak-anak. Aku ingin lebih mendekatkan mereka dan juga denganku biar lebih terbiasa." Masaomi membalas Chizuru.
Kedatangan satu pelayan pun menginterupsi percakapan.
"Sudah saya siapkan, Tuan."
Masaomi mengangguk, lalu kembali berbicara pada (Name) dan anaknya. "Pergilah, pelayan sudah menyiapkan semuanya. (Name) sangat suka buah mangga, kan?"
"Benar. Terima kasih atas sambutan dan jamuannya. Aku sangat senang."
Masaomi tersenyum tipis.
Kedua remaja itu sama-sama beranjak dari sofa. Akashi muda mengulurkan tangannya. Selama beberapa detik (Name) cengo, tapi uluran itu segera disambut. Mereka berjalan bergandengan untuk menuju ke lift. Masaomi dan Akihiro tersenyum, tidak dengan Chizuru. Entah mengapa Chizuru tak suka.
Sesampainya di balkon lantai paling atas, mereka pun duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Meja makan mereka menghadap langsung dengan pemandangan luar yang indah. Keduanya mengucap ittadakimasu, lalu menyantap makan siang empat sehat lima sempurna yang tersaji.
Mata (Name) berbinar-binar ketika melihat banyak hidangan berbahan dasar mangga. Selalu seperti itu.
Seusai itu, Akashi mengajak (Name) ke dalam ruangan. Entah ruangan luas itu namanya apa. Di sana seperti gudang karena banyak sekali barang random, tapi terlalu elit untuk dikatakan begitu. Ada beberapa alat musik, meja shogi, bola basket, rak buku dan alat panahan. (Name) pun menyimpulkan ini ruang pribadi Akashi untuk bersantai.
Akashi duduk di maja shogi, lalu menyuruh (Name) ikut duduk bersamanya. Pemuda berambut merah itu bertanya, "Bisa main ini?"
"Tidak."
"Sudah kuduga." Akashi menjalankan bidaknya seorang diri. (Name) cemberut. Kalau sudah menduga, untuk apa ditanya?
Akashi pun menanyakan pertanyaan baru. "Apa tanggapanmu tentang undangan dari Ayahku?"
"Aku ... masih bingung harus bereaksi seperti apa," ungkap (Name) sejujurnya.
"Tentu saja kau keberatan karena kau punya banyak koleksi pacar. Banyak laki-laki yang minta titip salam denganmu. Aku tahu semuanya, (Name)."
(Name) menepis tuduhan itu.
"Aku bahkan tidak punya satu pacar, apa lagi mengoleksi."
"Tapi kau memang senang mempermainkan semua orang."
"Perkataanmu terlalu kejam." (Name) menatap nanar Akashi. "Kau bersikap padaku seolah-olah kau lupa dengan apa yang kau lakukan."
Akashi balas menatap gadis itu dengan sengit. "Lalu kenapa? Apa pun kesimpulannya, aku hanya salah satu dari koleksimu, kan, (Name)?"
(Name) tak bisa berkata-kata lagi.
"Kutegaskan padamu kalau aku tidak ingin memaksa dan tidak menjeratmu, aku hanya mengikuti alur Otou-sama. Silakan kalau kau mau dekati laki-laki mana pun. Aku tak peduli." Akashi menyapu kasar bidak-bidak shoginya dengan satu tangan hingga tercecer di lantai. Mata (Name) terbelalak, ia menggigit bibirnya karena takut.
Akashi pun berdiri.
"Tapi, perlu kau ingat (Name). Semakin kau bertindak sesukamu, kau hanya akan menyakiti banyak orang. Ujung-ujungnya, akhir dari semua itu adalah keputusan Otou-sama dan wasiat Ayahmu sendiri. Ayahmulah yang awalnya menginginkan ini."
✨⭐✨
Karena mendapat undangan dari Aida Riko untuk ke kamp pelatihan, (Name) berangkat ke Tokyo lebih awal dari rencananya. Setibanya di pantai bersama dengan rombongan Seirin, (Name) merentangkan tangannya lebar-lebar dan berteriak, "Pantaaaiii!!! Kali ini aku hanya akan bersenang-senang tanpa beban!!!"
Meski beberapa hari lalu ia sudah memijakkan kaki di pantai, tapi kali ini jelas suasananya berbeda. (Name) datang untuk liburan. Ini jelas lebih menyenangkan dibanding latihan neraka bersama Rakuzan.
Sebuah mobil terhenti di depan mereka. Kaca jendela terbuka, menampilkan seorang pria dengan kacamata. Dia Aida Kagetora. Ayah dari Riko.
"Jangan menyentuh putriku dan pelari Rakuzan itu, atau aku akan membunuhmu." Peringatannya merujuk pada Riko dan juga (Name).
"Ha'i!" sahut para lelaki di sana.
Mobil Kagetora pun pergi. (Name) melihat dua ring basket yang ditempatkan di atas pasir pantai, mengingatkannya pada pelatihan basket Rakuzan tempo hari yang seperti ini juga. (Name) dapat menyimpulkan kalau Riko pasti punya visi misi yang sama dengan Eiji Shirogane, yakni meningkatkan kemampuan individu dengan bermain di medan yang sulit. Riko memang bukan pelatih sembarangan.
Sesuai dugaan, Riko menjelaskan alasan mengapa ring itu dibawa oleh ayahnya, persis seperti yang (Name) pikirkan.
"Kita akan latihan tiga kali lipat." Gadis berambut cokelat itu melepas seragamnya, menyisakan kaos pantai berwarna hitam. Raut wajah para pebasket Seirin tampak kecewa.
"Bagaimana dengan baju pantaimu, (Name)-chan?" tanya Izuki, berharap tidak kecewa lagi.
Hyuga langsung memukul kepala temannya itu. "Izuki AHOO!!!"
(Name) melepas bajunya dan menyisakan kaos seperti yang Riko kenakan. Bedanya, (Name) mengenakan warna kuning pastel bergambar pokemon. Bagi para lelaki jelalatan di sana, setidaknya itu sudah cukup untuk membayar rasa kecewa.
"Tch. Itu tidak cocok untukmu. Harusnya kau pakai yang gambar monyet," ledek Kagami.
Tentu saja (Name) langsung naik pitam.
"Kagami kampret! Harusnya alismu buka cabang juga di ketiakmu!"
Izuki dan Kiyoshi yang punya selera humor receh tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
"Astaga, kalian ini." Kuroko gelemg-geleng kepala melihat kelakuan kedua temannya ini. Adu cekcok (Name) dan Kagami terus berlanjut.
"(Name)-chan mau main basket juga?" tawar Riko untuk menyudahi pertengkaran konyol mereka.
"Mau!!!" jawab gadis itu dengan semangat.
Riko meniup peliut merah jambunya dan memandu pemanasan. Setelah mereka selesai pemanasan, Riko membagi tim untuk bertanding. (Name) sengaja disatukan dengan Kagami agar mereka bekerja sama dan tak ribut.
Pertandingan di atas pasir pun dimulai. Nigou yang dibawa oleh Kuroko turut menonton dengan jersey kecilnya. (Name) berdecak kesal karena tubuhnya tak dapat bergerak bebas.
Setelah mendapat umpan dari Kiyoshi, Kuroko secara refleks memantulkan bolanya ke gundukan pasir. (Name) cemberut dan memarahi pemuda berambut biru itu.
"Tetsuya-kun, kau tidak bisa memantulkan bola di sini."
"Perhatikan tempatnya, Kuroko!" timpal Hyuga.
"Sumimasen." Kuroko merasa malu karena membuat kesalahan di depan (Name).
Pertandingan pun dilanjutkan. (Name) memberi operan pada Kagami. Cowok itu pun melakukan dunk, namun gagal total. Dirinya malah terjatuh dan mulutnya kemasukan pasir.
"HAHAHAHA!!! Dasar BAKAgami! BAKAgami!!!" ledek (Name) dengan puas.
"Temeee!!!"
Pertandingan yang sulit itu pun terus berlanjut hingga pukul 12. Setelah sesi latihan di pantai, mereka menuju ke penginapan untuk istrahat dan makan siang.
Riko dan (Name) menyiapkan makan siang bersama.
"(Name)-chan tampak bahagia sekali," ucap Riko sambil mencuci sayuran.
"Kalau aku boleh jujur, internal Rakuzan tidak seperti ini," balas (Name). Gadis itu tengah motong-motong tahu dengan pola seperti dadu.
Rakuzan sekolah yang sangat ambisius dalam setiap hal, pasti mereka banyak tekanan. Riko membatin.
"Dan sejujurnya, aku juga agak tidak enak dengan sifat kalian yang terlalu menerimaku."
"Eh? Kenapa?" Riko kaget dengan pernyataan (Name).
(Name) mengambil alih sayuran yang dicuci Riko lalu memotongnya.
"Walau aku hiatus, tapi aku masih manajer basket. Dengan ikut ke kamp pelatihan ini, Riko-chan seakan memberiku akses bebas untuk melihat semua strategimu. Kenapa kau sangat santai padaku? Kalau suatu saat aku menghadapi kalian, aku tidak bisa ...."
Riko tersenyum, lalu menyentil kepala (Name).
"Baka, (Name)-chan sama saja seperti Bakagami. Apa pun yang aku lakukan, pasti tidak ada apa-apanya dengan yang pelatihmu lakukan. Rakuzan pasti sampai kekurangan lemari untuk menaruh piala-piala mereka, hahaha." Riko pun merangkul gadis itu.
"Aku mengundang (Name)-chan sebagai teman, bukan sebagai lawan. Kuroko-kun, Kagami-kun dan semuanya senang denganmu. Mereka selalu merindukanmu. Tidak ada yang menganggapmu ancaman. Hyuga-kun yang selalu berpikir logis pun tidak kepikiran sampai sana."
"Riko-chan ...." Mata (Name) berkaca-kaca. Awalnya ia senang karena dapat akses mudah untuk memantau tim kuda hitam ini. Namun, lama kelamaan ia merasa tak enak hati.
"Selama kau bersama kami, pasti kau bisa melihat kami berkembang. Jangan lawan kami setengah-setengah karena kami juga punya peluang besar untuk mengalahkanmu di Winter Cup."
"Arigatou, Riko-chan. Tentu saja aku tak ragu-ragu."
Setelah percakapan dari hati ke hati itu, mereka lanjut menyiapkan santap siang. Dengan sabar (Name) membantu Riko yang sangat buruk dalam hal ini.
Setelah semuanya siap, mereka mengusung makanan ke ruang santai milik Seirin. (Name) duduk di antara Kuroko dan Kagami.
"Ittadakimasu!"
Mereka menyantap hidangan ala Riko dan (Name) dengan lahap. Berkat info dari Kagami yang mengatakan (Name) ahli memasak, jadi tak ada keraguan lagi.
Saat makanan di mangkuk telah habis, secara bersamaan, Kuroko dan Kagami menyodorkan (Name) mochi mangga, membuat semua orang di sana melongo.
"E-eh." (Name) bingung dengan situasi ini. Pada akhirnya, ia menerima keduanya. "Terima kasih."
"Tapi kenapa kau ikut-ikutan Kuroko???" gertak Kagami, jengkel.
"Aku hanya ingin melakukan sesuatu untuk menyenangkan (Name)-san," jawab Kuroko dengan apa adanya. "Kagami-kun sendiri kenapa? Padahal kau selalu membuatnya kesal."
Saat mengetahui (Name) akan diajak oleh Riko, secara naluriah ia ingin menyiapkan makanan yang pasti membuat (Name) senang.
"Ya, begitu juga," jawab Kagami. "Tapi bedanya, aku buat dengan tanganku sendiri. Bukan beli seperi yang kau bawakan."
Kuroko merasa tersinggung dengan ucapan Kagami. Meski ia beli, tapi itu juga usaha, kan? Uang yang Kuroko gunakan pun bukan dari orang tuanya, tapi dari hasil kerja sampingan bersama pamannya.
Sementara itu, tim Seirin yang lain terlihat antusias menonton sinetron ini.
"Sama saja kok, tidak ada bedanya. Kalian sama-sama ingin membuatku senang, dan aku menghargai itu," lerai (Name) agar tak semakin memanas.
Para penonton kecewa.
"Kalau kalian sama-sama menyukai (Name)-chan, kenapa kalian tidak bertarung saja?" celetuk Izuki, membuat Hyuga murka.
"Izuki jangan jadi kompor!"
Kiyoshi Teppei beranjak dari tempat duduknya. Dari yang semula duduk di sebelah Hyuga, kini berpindah di belakang (Name). Kiyoshi merentangkan tangan, lalu menepuk-nepuk kepala Kuroko dan Kagami.
"Yang Izuki katakan henar," ucap pemain Seirin nomor 7 yang baru kembali dari hiatus itu.
"Apa-apaan kau ini?!" Hyuga tak terima.
Kiyoshi tersenyum lebar, lalu menjelaskan maksud dari perkataan ambigunya itu.
"Bertarung tak selalu berarti berkelahi. Kita hermain basket juga bertarung meraih kemenangan, dan itu tanpa perkelahian, kan? Nah, begitulah. Kalau mau mendapatkan apa yang diinginkan, kita tak bisa hanya berdiam diri. Kita harus berjuang dulu."
Semua orang di sana mengangguk setuju.
"Kuroko, Kagami. Bertarunglah sebaik mungkin layaknya laki-laki sejati. Dan (Name)-chan. Di antara banyaknya pilihan, kuharap kau bisa memilih yang terbaik."
Kiyoshi memberi nasihat layaknya orang tua yang mengayomi anak-anaknya. Meski baru hari ini bertemu dengan (Name), tapi ia sudah mendengar banyak tentang gadis itu dari temannya. Semua ini bermula dari kabar yang mengatakan (Name) mirip dengannya karena sama-sama pantang menyerah dan sama-sama lawan dari Hanamiya di lapangan.
(Name) hanya mengangguk. Sejujurnya, ia canggung dan merasa tak enak jika dijadikan rebutan begini. Terlebih lagi semua mata tertuju padanya.
Tapi ... di mataku semuanya terlihat baik.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com