37
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
₪ ₪ ₪ ₪ ₪
Di tengah-tengah bunyi nafas dan decakan yang ramai, Yuraq dapat mendengar suara melolong dari kejauhan. Suara itu begitu pelan, dan gadis-gadis yang lalu-lalang ini semakin membuatnya samar-samar. Meskipun demikian, lolongan itu semakin lama semakin terdengar jelas. Gadis itu menoleh ke seluruh sudut ruangan, namun dia tidak menemukan adanya sesuatu yang janggal di antara kerumunan orang yang sama tinggi ini. Sebenarnya dari mana suara itu berasal?
Sementara itu, badannya semakin terasa dingin. Dia masih memiliki dua lapis selimut di badannya, namun dingin itu tetap menusuk tulangnya. Membungkus badannya erat-erat dalam kain-kain wol itu tidak melindunginya.
Suara melolong itu sekarang sudah begitu jelas, sampai-sampai dia menyadari bahwa lolongan itu bukanlah bebunyian sembarangan.
“Yuraq!”
.Gadis itu terkejut dengan panggilan pelan itu. Seseorang sedang memanggil namanya. Suara itu terdengar semakin jelas dan dekat, namun dia tak dapat menentukan dari mana asalnya. Seketika itu juga, rasa takut yang tadinya tidur dalam hatinya terbangun. Dia mulai merasakan rasa takut yang luar biasa. Dia ingin segera berlari.
“Yuraq!”
Namun entah mengapa, badannya membeku di titik ini — di depan dinding lorong. Kakinya tidak bisa diayunkan Tangannya tidak mau lepas dari selimut. Dingin yang luar biasa ini membuat situasi ini menjadi lebih buruk.
“Siapa kamu!?” serunya terhadap suara tak berwujud itu.
“Yuraq!” Suara itu tidak menjawabnya, namun tetap mendekat dan menjadi semakin jelas tanpa menampakkan wujudnya. Takut bertemu dengan sosok itu, Yuraq mengumpulkan seluruh tenaga dalam tubuhnya untuk menggerakkan satu jari saja. Akhirnya, dia dapat merasakan sedikit gerakan di bahu, lengan, dan badannya, namun suara itu seakan sudah berada beberapa rikra saja darinya.
“YURAQ!”
Lebih buruk lagi — setelah seruan keras tersebut — panggilan itu berakhir dan digantikan oleh bunyi langkah yang cepat namun lembab. Bunyinya seperti langkah kaki yang menginjak salju yang tebal. Sosok itu sedang berlari menuju diri Yuraq saat ini!
Yuraq menjadi semakin panik. Dia pun semakin memaksa tubuhnya untuk bergerak. Sendi-sendi itu sudah berputar, sekarang tinggal dirinya yang mulai melangkah pergi dari sana. Namun sayang, semuanya sudah terlambat. Saat dia sudah dapat memutar kepalanya, dia menoleh ke belakang, hanya untuk mendapati bahwa sosok yang tidak jelas wujudnya sudah hampir menyergapnya dari belakang.
Setelah membuka mata, gadis itu pun mendapati dirinya dalam kegelapan, yang perlahan-lahan menunjukkan wujudnya yang samar-samar terlihat berbatu-batu.
Lorong itu dan penghuni-penghuninya yang aneh telah sirna. Semua itu hanyalah mimpi, ternyata. Meskipun demikian, sensasi dingin itu masih terasa, badannya masih tidak bisa digerakkan, dan dari kejauhan ada suara yang memanggil namanya.
Tidak butuh waktu lama bagi gadis itu untuk menyadari kenapa. Saat dia memutar dan mengangkat kepalanya sedikit, barulah dia menyadari bahwa salju telah menutupi sekujur tubuhnya. Langsung saja dia beranjak berdiri dari posisi berbaringnya. Putih-putih itu jatuh dari badannya yang terlindungi oleh selimut, layaknya salju yang lengser dari puncak gunung.
Kemudian, Yuraq menoleh ke arah panggilan itu, yang berada di luar mulut gua. Badai salju itu sudah reda — kini digantikan oleh hujan salju yang pelan dan jarang. Di antara salju-salju yang berjatuhan itu, terlihat ada beberapa sosok kelabu. Yang paling jelas di antara mereka berwujud seorang wanita dengan tunik dan lliklla¹ yang sama putihnya dengan salju dan chullo hitam di kepalanya. Kakinya nampak terpotong kurang dari sejengkal di bawah lututnya, menandakan betapa tebalnya lapisan salju itu.
“Yuraq?” panggil suara yang akrab itu.
Wanita itu berhenti sesaat di tempat — kelihatannya was-was — sebelum kembali berjalan, kini dengan langkah cepat.
Yuraq mengenal suara dan tampang yang kekakak-kakakan itu. Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengenali wanita itu.
“Samin!?” Selagi Yuraq menyahutnya, paras wanita itu sudah terlihat jelas. Tidak salah lagi, itu adalah kakaknya.
Samin pun memeluk dan mendekap gadis itu erat-erat. Dia dapat mendengar suara sang kakak yang terkesan merintih dan tersedu-sedu.
“Astaga… syukurlah…” kata Samin. “Kamu di sini ternyata!”
Samin menyudahi pelukannya. Sekarang kedua tangan wanita itu berada di bahu Yuraq. Gadis itu begitu terkejut melihat raut muka sang kakak yang terkesan hampir menangis. Belum pernah dia melihat mukanya seperti itu. Sebegitu khawatirkah Samin akan dirinya?
“Yang lain di mana Kak?” tanya Yuraq. Sementara itu, wujud-wujud kelabu yang berdiri di atas salju itu akhirnya memperlihatkan diri mereka — Pacha, Nina, dan Hakan. Hakan melambaikan tangannya pada Yuraq dan Samin berdua.
“Kalau sudah ayo buruan balik! Di sini gak aman!” seru pria itu.
“Ayo Yuraq, kita ke kemah,” ajak Samin.
“Hmm hmm,” Yuraq mengangguk.
Mereka berdua pun berjalan keluar dari gua tersebut, lalu bersama tiga orang lainnya pergi meninggalkan tempat itu. Sebelum gua tersebut lenyap di balik hujan salju, Yuraq menyempatkan diri untuk memandangnya untuk yang terakhir kali.
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ
Sejak kemarin malam, Yuraq mendapat demam dan seluruh tubuhnya nyeri. Dia tidak sanggup berbuat apa-apa selain meringkuk di dalam bungkusan selimut yang tebal di atas salju tipis. Hidungnya buntu — seakan ada benda keras yang menyumbatnya — dan penuh akan cairan yang seakan-akan berusaha keluar dari lubang hidungnya.
Sementara dia berbaring lemas, anggota rombongan lainnya sedang sibuk membereskan barang-barang bawaan. Peralatan makan dimasukkan ke dalam tas, mumi-mumi diikat ke atas punggung lama, semua orang selain dirinya sudah membawa beban di punggung. Meskipun demikian, mereka tidak lupa akan dirinya.
“Samin.” Hakan menghampiri Samin yang hendak menarik keempat sudut karung tasnya.
“Iya Pak?”
“Bisa bawain Yuraq? Nanti barangmu biar Nina yang bawa.”
“Oh, baik Pak.”
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ
Rombongan itu pun melanjutkan perjalanan mereka melalui lembah putih ini. Tidak seperti malam sebelumnya, langit telah menjadi cerah dengan sedikit awan. Mentari bersinar di atas cakrawala timur, menyilaukan pandangan mereka yang berjalan ke sana.
Di tengah rombongan itu ada Yuraq yang digendong oleh Samin. Selimut yang melindungi tubuhnya dari dingin kini juga berfungsi sebagai tas yang menahan badannya di punggung sang kakak. Badannya masih panas dan hidungnya masih mampet. Gadis itu sedang setengah tidur, dan kepalanya berbaring pada tengkuk Samin.
“Gimana Yuraq?” tanya Samin dengan ramah. “Sudah merasa baikan?”
“Hmm belum Kak,” jawab Yuraq setengah bergumam.
“Tidur saja Yuraq,” tanggap Samin. “Biar kamu cepat sembuh. Sekalian biar kamu cepat sampai, nanti bangun-bangun sudah di rumah kakaknya Puma.”
“Hmm iya…” Gadis itu menjawab dengan suara sengau. Sesudah itu, tidak ada lagi suara yang terdengar dari dirinya, selain hembusan nafas yang keluar dari mulut karena hidungnya tersumbat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com