44
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
Di sisi lain bukit itu, terdapat suatu dataran yang landai. Tempat itu cukup luas bagi orang-orang untuk berhenti di pinggir kanan jalan. Pada pinggir jalan itulah suara yang rombongan Yuraq dengar datang.
Di sana, ada seekor hewan berkaki empat yang badannya besar. Warnanya coklat kemerahan dengan bercak putih di muka panjangnya. Keberadaan makhluk itu menandakan bahwa orang-orang asing ada di sini.
Di dekat hewan tersebut, berdiri 3 pria yang berpakaian aneh. Baju mereka memiliki potongan kain yang panjang dan menyelubungi kedua lengan mereka, sedangkan kaki mereka masing-masing juga diselubungi oleh kain panjang. 2 dari antara mereka kulitnya sangat gelap, dan kain di kaki mereka nampak compang-camping dan terpotong tepat di bawah lutut. Sementara itu, 1 pria lagi berkulit pucat dan berjenggot tebal. Dia mengenakan baju putih — tidak seperti orang-orang hitam tersebut — dan kakinya tertutup oleh kain hitam sepenuhnya. Sepertinya si putih berstatus lebih tinggi dari pada 2 orang kulit hitam itu.
Ketiga orang itu sedang mengelilingi sesuatu, dengan 2 orang kulit hitam tersebut lebih di tengah. Pria-pria itu masing-masing memegang pentungan kayu sepanjang lengan, yang mereka ayunkan kepada sesuatu di tengah seakan sedang memukulnya. Di tengah mereka, seorang pria berbadan kecil meringkuk di tanah dengan muka menghadap ke bawah. Badannya yang lemas berusaha menahan hantaman kayu yang tiada henti. Dari mulutnya terdengar rintihan minta ampun.
Di dekat kejadian, ada belasan muka yang nampak pribumi. Orang-orang berbadan kurus itu adalah buruh angkut, terlihat dari tas besar yang mereka bawa di punggung. Raut muka mereka terlihat begitu prihatin dan takut.
Semua orang yang bersama Yuraq ngeri melihat ini. "Bangsat orang-orang itu," gumam Urma dengan amarah. Baginya, melihat orang sebangsanya ditindas oleh orang asing merupakan penghinaan. Otot-otot lengan dan kakinya menjadi tegang, siap untuk bertindak.
Namun, tidak ada yang lebih ngeri dari Yuraq sendiri. Melihat pria malang tersebut dipukul dengan benda tumpul seperti itu membuat dia teringat akan pengalaman pribadinya. Tragedi dan kengerian yang pernah terjadi pada ayah dan kampung halamannya.
Melihat hal itu, mukanya menjadi pucat. Kedua tangan gadis itu menutup mulutnya. Badannya membeku di tempat layaknya mumi. Pikirannya kosong, serasa sudah mati.
"Urma! Tunggu!" rombongan itu tiba-tiba berseru.
Di saat yang sama, seorang pria muda membanting angkutannya ke tanah, kemudian berjalan keluar dari rombongan mereka. Urma, dengan bahunya yang tegap, berjalan mendekati 3 pria asing tersebut dengan kedua tangan mengepal. Anggota-anggota rombongan lainnya pun mulai panik memanggilnya, dan beberapa dari mereka berusaha menariknya.
"Urma! Jangan!" Seru rekan-rekannya.
"Menjauh! Ini sudah keterlaluan!"
Pria dan wanita berusaha memegang tangan Urma, namun dia menariknya dengan kencang sehingga lepas. Langkahnya tidak dihentikannya sama sekali.
Keberanian konyol pria itu pun menarik perhatian orang-orang asing tersebut, terutama si kulit pucat yang nampaknya merupakan bosnya. Mereka berdua saling bertukar tatap dengki.
"¿Cuál es tu asunto?" tanya pria berjenggot tebal itu. Amarah begitu terasa dari nada bicaranya. Meskipun demikian, Urmi tidak nampak gentar sedikitpun. Langkahnya tidak goyah.
Pria berkulit pucat itu segera menoleh ke kanannya sambil menunjuk ke arah Urmi. "¡Pedro! ¡ Ven aquí! ¡Dile que se vaya a la mierda!"
"¡Sí, Siñur!"
Dari antara buruh-buruh angkut itu keluar seorang pria berbadan kurus dan pendek. Dengan tergesa-gesa, dia berlari ke arah Urma. Simpati dengan pria bernama Pedro itu, Urma menyempatkan diri untuk berhenti dan mendengarkan.
"Permisi Pak," sapa Pedro dengan nada cemas. "Tolong jangan kelahi, Pak. Kasihan kita semua, nanti kita semua kena hajar mereka."
"Habisnya!" gertak Urma. "Kamu tahan dipermalukan begitu? Kamu tahan sengsara demi muas-muasin mereka?"
"Ng-nggak, Pak. Tapi kami mau bertahan hidup. Kami nggak mau penderitaan kami dilebih-lebihkan sama mereka."
Di tengah percakapan itu, tuan dari Pedro memanggil kedua bawahan kulit hitamnya sesuatu. Pria-pria itu pun berhenti mengayunkan pentungan mereka pada sang hamba malang. Sekarang dua orang itu memegang pentungan masing-masing di kedua tangan sambil memandangi Urma, seakan bersiap untuk menghajarnya.
"Sudah, sudah, Urma." Quri berjalan mendekati rekannya itu, lalu memegang pundaknya. "Pikirkan teman-teman kita juga. Kalau sampai terjadi baku hantam, kita nggak bakal selamat. Kita nggak punya apa-apa buat melawan mereka."
"Tapi kita banyak toh?" bantah Urma. "Mereka cuma bertiga–"
"Urma!" Quri menaikkan suaranya. "Sekalipun kita bisa menghajar mereka, kamu bisa apa sama keluarga mereka? Rekan-rekan mereka? Memangnya kamu tahu kamu berhadapan sama siapa?"
"Iya tahu ah!" Urma menggeser tangan Quri dari bahunya. Pria muda itu berjalan mundur beberapa langkah, sambil dilihat oleh orang-orang di sana. Amarahnya mereda saat dia melihat bahwa buruh yang dikeroyok tadi sudah ditinggal sendiri, meskipun masih meringkuk takut dan lemah. Pandangannya kemudian tertuju pada sang tuan berjenggot tebal. Mereka berdua saling bertukar tatap dingin untuk sesaat.
"Ayo kita lanjut jalan." Ajak Quri.
Akhirnya Urma menurutinya. Dia berjalan kembali ke dalam rombongan. Namun sebelum rombongan mereka kembali melanjutkan perjalanan, Quri mendekati Pedro untuk mengatakan beberapa patah kata padanya.
"Tolong bilang padanya ya," pinta Quri.
Sesudah itu, dia menghadap ke arah sang pria berkulit putih. Dia menundukkan badannya sambil merapatkan tangan di depan kepalanya untuk sesaat. Dari kejauhan, Urma nampak geram dengan apa yang Quri lakukan itu. Pedro kemudian menyampaikan pesan pada si kulit putih. "¡Siñur! ¡Ellus... si disculpan!"
"¡O, bien, me la suda!" balas tuannya itu.
Quri pun memimpin rombongannya melanjutkan perjalanan. Perlahan-lahan, rombongan lain yang dengannya mereka hampir berkelahi terlihat semakin jauh, sebelum akhirnya lenyap di balik lereng bukit. Para pejalan akhirnya dapat bernafas lega, kecuali satu orang.
"Yuraq?" Puma mencubit kain awayu gadis itu, berusaha membuatnya bereaksi. "Kamu nggak apa-apa kan?"
Lelaki itu prihatin dengan temannya itu. Sejak dari sisi bukit tadi, gadis itu membisu dengan tatapan kosong.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen4U.Com